Kamis, 11 Maret 2010

STRATEGI PROMOSI DALAM MENANAMKAN BRAND-POSITIONING
HOTEL ADHI JAYA KUTA

(Hasil penelitian Januari-Maret 2007)
I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si



Tingginya persaingan usaha perhotelan serta dampak dari krisis pariwisata Bali beberapa tahun belakangan ini, membuat Adhi Jaya Hotel perlu menganalisis aspek intenal dan eksternal hotelnya untuk menentukan strategi promosi yang tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keberadaan Adhi Jaya Hotel secara komprehensif dengan pendekatan studi action research, kemudian menentukan strategi promosi yang sesuai. Dengan analisis SWOT yang dilakukan dapat menjelaskan gambaran umum keberadaan Adhi Jaya Hotel yang berupa kelebihan, kelemahan, peluang dan juga tantangannya. Sebagai hotel dengan klasifikasi bintang tiga, Adhi Jaya Hotel terletak di lokasi yang strategis di jantung daerah wisata Kuta. Balinese Hospitality dan suasana kekeluargaan merupakan standar pelayanan yang diberikan Adhi Jaya Hotel kepada konsumen. Beragam pilihan tipe kamar seperti standard, superior, deluxe, dan family rooms dengan harga yang kompetitif akan memberikan alternatif yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran yang dimiliki konsumen. Sehingga brand-positioning Adhi Jaya Hotel adalah “Hotel *** with Strategic Place, Excellence Service and Competitive Price” yang selanjutnya diharapkan mampu menarik perhatian konsumen untuk menginap. Berdasarkan keadaan Adhi Jaya Hotel tersebut, maka strategi promosi yang semestinya dilakukan dalam menanamkan brand-positioning adalah dengan strategi promosi personal dan strategi promosi nonpersonal. Sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan hunian hotel menjadi lebih stabil.

PENDAHULUAN
Industri perhotelan dan akomodasi memiliki karakteristik khusus yang sangat berbeda dengan sifat-sifat industri produk atau bidang jasa lainnya. Sehingga dengan adanya sifat khusus dan khas ini, maka strategi promosi usaha perhotelan juga memerlukan kekhususan dan khas walaupun tidak terlepas dari prinsip dan konsep-konsep strategi promosi pelayanan jasa lainnya. Karakteristik khas ini seperti tampak pada penjualan dan penghidangan produk, dimana bukan hanya pada penyajian produk tetapi juga pada pelayanan produk. Dalam artian bahwa bentuk pelayanan jasa yang disajikan akan dinilai baik atau memuaskan jikalau pelayanan tersebut dilakukan dengan cepat, tepat, seksama dan selalu diiringi dengan keramah-tamahan. Sikap keramah-tamahan ini sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku dari pengusaha dan pemberi pelayanan seperti room boy misalnya. Sehingga usaha perhotelan ini sering disebut hospitality service. Selain itu hakikat dari usaha bisnis perhotelan ini adalah mengutamakan pemuasan keinginan dan kebutuhan konsumen atau wisatawan.
Adhi Jaya Hotel merupakan hotel bintang tiga yang keberadaannya ikut menjadi andil dalam memberikan fasilitas menginap bagi konsumen atau wisatawan yang berkunjung ke Bali, baik dalam rangka keperluan bisnis maupun hanya sekedar berlibur. Sebagai hotel bintang tiga, Adhi Jaya Hotel tentunya harus bersaing dengan hotel-hotel lainnya yang berada di objek wisata Kuta dalam menarik wisatawan yang datang ke Kuta untuk menginap. Terlebih lagi dengan adanya bom Bali pada tahun 2002 di Padi’s Club dimana lokasinya masih berdekatan dengan lokasi Adhi Jaya Hotel yaitu sekitar 500 meter ke utara, sebagaimana diketahui akibat ledakan bom tersebut menewaskan hampir 200 orang. Kemudian disusul adanya peledakan bom yang kedua pada tanggal 1 Oktober 2005 yang berjarak 200 meter dari lokasi Adhi Jaya Hotel dan menewaskan 23 orang (sumber: www.dephan.go.id). Adhi Jaya Hotel mengalami penurunan hunian sampai dengan 31,3 % pada bulan Oktober 2005, walaupun kemudian meningkat sampai 55,4 persen pada bulan Nopember dan total hunian selama tahun 2005 adalah sebesar 62,0 %. Sedangkan dalam kurun waktu bulan Januari 2006 sampai dengan Oktober 2006, terjadi ketidakstabilan hunian hotel, dimana prosentase hunian paling rendah terjadi pada bulan maret sebesar 49,7 % dan paling tinggi hanya mencapai 66,5 %, dan prosentase hunian ini dianggap belum memenuhi standard hunian Adhi Jaya Hotel yang mempunyai target hunian diatas 80 %.
Adhi Jaya Hotel merupakan salah satu hotel bintang tiga yang terletak di daerah wisata Kuta. Sebagai hotel dengan lokasi yang cukup representatif dan dekat dengan fasilitas publik lainnya Adhi Jaya Hotel layak dipertimbangkan sebagai tempat menginap. Untuk mendapatkan konsumen atau wisatawan agar menginap kembali setelah terpuruk karena adanya krisis pariwisata Bali, tentunya Adhi Jaya Hotel perlu merancang kembali strategi promosi yang tepat.
Perlunya kajian ulang mengenai strategi promosi yang sedang dilakukan, mengingat masih banyak kelebihan, keunggulan, kelemahan dan tantangan maupun keunikan yang dapat dikaji dengan menggunakan analisis secara mendalam. Dengan kajian yang mendalam keberadaan Adhi Jaya Hotel pada akhirnya dapat ditemukan strategi promosi yang tepat untuk menanamkan brand positioning pada benak konsumen. Sehingga judul dari penelitian ini adalah “Strategi Promosi Dalam Menanamkan Brand-Positioning (Studi Action Research tentang strategi promosi untuk meningkatkan hunian hotel di Adhi Jaya Hotel Kuta Badung, Provinsi Bali)”.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui fasilitas dan proses pelayanan jasa, aspek eksternal atau lingkungan Adhi Jaya Hotel, upaya strategi promosi yang telah dilaksanakan dan kemudian menentukan rancangan strategi promosi untuk Adhi Jaya Hotel dalam upaya menanamkan brand-positioning dalam benak konsumen.
Pemasaran jasa hotel oleh Ritherford dari Washington State University dalam bukunya, Hotel Management and Operation, dikutip dari Yoeti (2004:9) memberikan definisi tentang pemasaran jasa hotel, sebagai aktivitas yang menggunakan strategi dan taktik, yang direncanakan sedemikian rupa untuk menyampaikan ‘cerita’ tentang pelayanan yang dapat diberikan suatu hotel, dengan memberikan rangsangan yang bergairah pada tamu untuk mau memilih pesan yang disampaikan hotel untuk dibandingkan dengan pilihan lain dari hotel pesaing.
Dalam pemasaran jasa hotel terjadi penyampaian suatu informasi yang berhubungan dengan pelayanan hotel dan segala produk yang ada di dalamnya, dengan menceritakan produk-produk unggulan yang dimiliki daripada apa yang dimiliki hotel pesaing. Informasi tentang pelayanan hotel ini menggunakan taktik dan strategi tertentu, sehingga dapat membuat konsumen tertarik dan memperhatikannya, dengan harapan agar konsumen lebih memilih hotel yang dipromosikan daripada hotel pesaing.
Sebagai kesimpulan dari beberapa rumusan pemasaran hotel diatas, adalah bahwa pemasaran hotel selalu terdiri dari berbagai aktifitas yang bertujuan untuk menarik calon pelanggan dengan memberi motivasi agar tertarik untuk membeli produk dan jasa pelayanan hotel. Dalam hal ini, penekanannya adalah mengubah sikap orang atau konsumen yang tidak suka menjadi suka dan tertarik untuk menggunakan produk dan pelayanan jasa di hotel yang dipromosikan.
Dalam pemasaran hotel juga dianalisis tentang lokasi geografis, bentuk hotel, lingkungan dan fasilitas yang menyertainya. Sehingga dengan adanya analisis ini akan lebih mudah menginformasikan tentang fasilitas-fasilitas hotel dan pelayanannya. Mengenai letak geografis hotel sangat diperlukan adanya sebuah petunjuk jelas keberadaan sebuah hotel yang akan dipromosikan, karena dengan adanya petunjuk keberadaan hotel tersebut akan mampu manarik para tamu yang memerlukan jasa pelayanan hotel yang berkaitan dengan kebutuhan akan tempat yang strategis bagi para konsumen.
Pada hakikatnya promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran. Kegiatan promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program pemasaran, karena sebaik apapun kualitas sebuah produk atau pelayanan jasa bila konsumen belum pernah mendengarnya dan mereka tidak yakin bahwa produk dan pelayanan jasa itu akan berguna bagi mereka, maka mereka tidak akan membelinya.
Promosi terdapat bagian-bagian dari promosi yang lebih dikenal dengan bauran promosi (promotion mix). Kotler (2000:267) menyatakan, bahwa: “Bauran komunikasi pemasaran terdiri atas lima cara komunikasi utama berupa bauran promosi yaitu periklanan (advertising), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat dan publisitas (publicity & public relation), penjualan tatap muka (personal selling), serta pemasaran langsung (direct marketing)”.
Proses promosi merupakan hal mutlak yang diperlukan dalam setiap kegiatan pemasaran sebuah produk atau jasa, karena dalam proses promosi merupakan jembatan antara produsen dalam hal ini pengelola hotel dengan konsumen. Lebih jauh menurut Engel dan kawan-kawan (1995:13), menyatakan: “Promotion is a controled integrated program of communication methods and materials designed to present an organization and it’s product to prospective customers: to communicate need-satisfying attributes of products to facilitate sales and thus contribute to long-run profit performance”.
Promosi menurut Cravens (1994:77) merupakan kegiatan yang berupaya menyampaikan pesan dari pemasar kepada konsumen dengan berbagai strategi promosi, lebih lanjut diuraikan, bahwa: “Strategi promosi adalah perencanaan, implementasi dan pengendalian komunikasi dari suatu organisasi kepada para konsumen dan sasaran lainnya. Sehingga fungsi promosi dalam bauran pemasaran adalah untuk mencapai berbagai tujuan komunikasi dengan setiap konsumen. Tanggung jawab pemasaran yang penting adalah merencanakan dan mengkoordinasikan strategi promosi terpadu dan memilih strategi untuk komponen-komponen promosi”.
Uraian strategi ini merupakan usaha secara menyeluruh dalam membentuk citra yang positif dalam menanamkan brand positioning pada benak konsumen, dimana perlu adanya kerjasama antara seluruh manajemen hotel yang menyangkut misi dan visi didirikannya hotel. Inti strategi tersebut adalah bagaimana menginformasikan kepada khalayak atau konsumen agar dengan menggunakan pelayanan jasa hotel yang dipromosikan, konsumen akan mendapatkan kenyamanan dan kepuasan secara optimal.
Dalam Yoeti (2004:139) dinyatakan, adapun strategi promosi yang perlu diperhatikan dalam pemasaran hotel secara umum, antara lain:
a. Memperbaiki teknik pelayanan (in-reach sales techniques) atau cara melayani permintaan tamu yang mendesak (the handling of customer enguiies)
b. Memperbaiki presentasi penjualan kepada calon tamu potensial (out-reach selling techniques).
c. Menyusun kembali tactical mix sesuai dengan rencana yang akan dilakukan.
d. Memperkenalkan cara-cara promosi yang lebih menarik dan efektif.
e. Mencari atau mengubah design iklan dan pemilihan media yang lebih sesuai.
f. Mendesain ulang bahan-bahan promosi (promotion materials) dengan mencetak brochures, leaflets, dan booklets dengan kualitas yang lebih baik.
g. Meningkatkan anggaran promosi yang dianggap perlu dan mengurangi anggaran promosi yang kurang atau tidak efektif pelaksanaannya.
h. Mengaktifkan direct mail yang lebih terencana dan lebih efektif.
i. Meningkatkan kegiatan publikasi dengan mengundang travel writer atau wartawan khusus.
j. Mengubah logo, signs, plang nama dan karakter huruf logo-type yang digunakan.
k. Menciptakan motto yang sesuai dengan misi yang diemban

Membahas konsep positioning tentunya kita tidak boleh melupakan pencetus atau penemu konsep positioning pertama kali yaitu Al Ries dan Jack Trout. Al Ries dan Jack Trout mengungkapkan dalam Kartajaya dkk (2005:56), yaitu “... positioning is not what you do to a product. Positioning is what you do to the mind of the prospect. That is, you position the product in the mind of the prospect.” Atau dengan kata lainnya positioning adalah menempatkan produk dan merek kita di benak pelanggan. Hal ini memberikan argumen bahwa setiap produk, merek dan perusahaan yang sukses selalu memiliki posisi yang kokoh dan unik di benak pelanggannya.
Pendekatan mendasar dalam usaha dalam melakukan positioning bukan pada penciptaan sesuatu yang baru dan berbeda, tetapi dengan menggunakan apa yang telah ada dalam pikiran konsumen, mengingat kembali apa yang pernah dirasakan oleh pelanggan terhadap produk jasa yang pernah dinikmatinya. Jadi, dapat saja dilakukan penelitian dengan memberikan kesempatan kepada konsumen atau pelanggan mengungkapkan kesan dan tanggapan terhadap produk jasa yang pernah dirasakan setelah menikmati produk jasa perusahaan tersebut.
Positioning merupakan strategi yang dilakukan untuk menciptakan diferensiasi yang khas dan unik terhadap sebuah produk atau jasa dalam benak konsumen, sehingga nantinya akan tertanam suatu image atau citra yang khas, unik dan lebih unggul dari produk pesaing.
Jadi, brand positioning dapat diartikan sebagi usaha menempatkan atau menanamkan suatu image atau citra dalam persepsi orang. Image atau citra ini berkaitan dengan apa yang diketahui konsumen, apa yang pernah dirasakan, atau sejauh mana kepercayaan konsumen terhadap perusahaan atau penyedia jasa. Sehingga dalam hal melakukan positioning, faktor persepsi konsumen adalah satu hal yang sangat penting.
Lebih jauh dikatakan Yoeti (2004:166) diperlukannya information feeds untuk positioning, yang artinya melalui positioning pihak hotel harus memberi umpan dalam bentuk bermacam-macam informasi melalui komunikasi dua arah secara berkesinambungan. Adapun yang dimaksud information feeds adalah suatu pernyataan yang dapat membantu memposisikan suatu hotel, yaitu dengan cara: the phyisical presence of the place, the interior design layout, the recommendations, publicity, advertising, brochures, the attitudes and appearance of the staff, the price and value offered, the ambience, and the name, slogan, symbol or logo.
Jadi, secara teoritis bahwa tujuan promosi antara lain untuk memberi informasi tentang kelebihan, keunggulan, keunikan dan yang menjadi ciri khas hotel. Dengan kata lain bahwa semakin unggul, unik atau sesuai dengan pangsa pasar tertentu yang dituju manajemen hotel, maka cenderung akan menciptakan suatu perbedaan, keuntungan dan manfaat yang membuat konsumen selalu ingat tentang ciri khas dalam pelayanan yang diberikan dari hotel tersebut. Dengan adanya kesadaran dan informasi mengenai kelebihan, keunikan, ciri khas, dan juga add value dari sebuah hotel, maka brand positioning bisa dicapai. Adanya brand positioning yang telah terbentuk ini semakin memudahkan bagi konsumen dalam mengambil keputusan untuk menentukan pilihan jika akan memilih hotel dengan pelayanan dan tujuan tertentu.

METODE PENELITIAN
Subjek dari penelitian ini adalah staff manajemen Adhi Jaya Hotel terutama bagian Sales dan Marketing Division, dan para konsumen yang menginap di Adhi Jaya Hotel serta stakeholders yang ikut mendukung hunian Adhi Jaya Hotel. Sedangkan objek penelitian ini adalah aspek komunikasi pemasaran Adhi Jaya Hotel, khususnya mengenai strategi promosi hotel.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan studi action research. Menurut Cormack dalam Moleong (2005:238), bahwa penelitian tindakan adalah cara melakukan penelitian dan berupaya bekerja untuk memecahkan masalah pada saat yang bersamaan. Metode penelitian tindakan merupakan suatu penelitian yang dikembangkan bersama-sama antara peneliti dan peserta atau pembuat keputusan (decision maker) tentang variabel-variabel yang dapat dimanipulasi dan dapat segera digunakan untuk menentukan kebijakan dan strategi promosi.
Penentuan informan ditarik secara purposive, yang artinya bahwa informan dalam penelitian ini adalah berupa sampel bertujuan, yaitu pengambilan sampel pada populasi yang dilakukan bukan didasarkan atas strata, random atau bagian tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan melakukan wawancara mendalam (in-dept interview), observasi atau pengamatan dan studi dokumentasi. Waktu penelitian ini dilakukan dari tanggal 15 Februari 2007 sampai dengan 18 Mei 2007. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan di Adhi Jaya Hotel, Jalan Kartika Plaza, Kuta Badung Bali – Indonesia, dengan nomor telp. +62 361 753607, 756884; fax. +62 361 753607.
Berdasarkan tradisi penelitian kualitatif, pengajuan hipotesis jarang digunakan dan biasanya disarankan dengan mengacu pada pemikiran induktif. Dalam hal ini artinya bahwa hipotesis tersebut dapat terus berubah sepanjang penelitian tersebut dilakukan. Seperti dikemukakan oleh Moleong (2000:41), yang perlu ditekankan bahwa status hipotesis ialah sesuatu yang disarankan bukan sesuatu yang diuji diantara hubungan dan kawasannya, perlu pula dikemukakan bahwa hipotesis senantiasa diverifikasi sepanjang penelitian itu berlangsung.
Menurut Cutlip dan Center dalam Siswanto (1992:24) bahwa tahap-tahap atau proses komunikasi pemasaran yaitu; Fact Finding (pengumpulan data), Planning (perencanaan), Communication (komunikasi) dan Evaluation (Evaluasi atau penilaian). Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah pada penentuan rancangan strategi promosi, yang dimulai dari observasi lingkungan internal dan eksternal hotel serta wawancara dari pengelola atau staff manajemen Adhi Jaya Hotel serta wawancara dengan beberapa konsumen potensial, kemudian dilakukan analisis SWOT dan selanjutnya menentukan bagaimana sebuah promosi dikemas dalam usaha menanamkan brand positioning yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkat hunian Adhi Jaya Hotel.



HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan peneliti tentang kapasitas Adhi Jaya Hotel yang mempunyai kapasitas kamar sebanyak lima puluh satu kamar, maka Adhi Jaya Hotel termasuk hotel dengan kategori hotel sedang. Adhi Jaya Hotel merupakan hotel bintang tiga yang terletak sangat strategis di jantung daerah wisata Kuta Bali, dengan luas tanah termasuk bangunan kurang lebih tiga puluh lima are. Hal ini dipertegas dalam wawancara dengan Pak Sukman yaitu: “Lokasi yang strategis; dekat dengan airport, dekat dengan fasilitas atau sarana – prasarana wisata dan bisnis di jantung kuta seperti restaurant, shooping mall, pasar seni tradisional, aktivitas wisata unggulan seperti Waterbom yang bisa dijangkau hanya dengan jalan kaki serta dekat dengan Pantai Kuta yang merupakan salah satu ikon mujarap bagi Kuta & Bali serta Indonesia sebagai daerah tujuan wisata nasional dan international.”
Agar lebih jelas kedekatan letak lokasi Adhi Jaya Hotel dengan fasilitas publik lainnya dapat dilihat pada tabel 1. dibawah ini.
Pelayanan standard hotel (Balinese Hospitality) yang telah ditentukan staff Adhi Jaya Hotel memberikan pelayanan yang familier dan friendliner kepada para konsumen yang menginap. Sebagai ciri khas Balinese hospitality yaitu adanya pemakaian destar atau ikat kepala adat Bali dan juga kain kemben khas Bali sebagai pakaian bawahnya. Pelayanan yang bercirikan Balinese hospitality ini sebagai standard pelayanan Adhi Jaya Hotel, seperti yang diungkapkan oleh Pak Sigit dalam wawancaranya, yaitu: “Ini dilihat dari uniformnya, karena dari pakaian disini kelihatan pelayanan yang Bali, seperti pada sisi bangunannya, dari bangunannya kita masih memakai style Bali, disini terlihat semi kan!.... Kemudian dari segi orang-orangnya, pakainnya itu, kalau pakainan Jawa kan beda tuh, kalau disini ada pakaian khas Bali, seperti di front office disana menggunakan pakaian Bali, seperti destar atau ikat kepala dan yang lainnya. Terus lagi dari faktor lainya, seperti adanya patung-patung itu tadi dan ada tempat persembahyangannya. Kemudian secara umum kembali ke manajemen, dimana mengetengahkan sikap dan perhatian kepada tamu...”

Pelayanan yang diberikan secara paripurna mengacu pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan tamu yang ingin menginap, seperti pilihan berbagai kamar, mulai dari family, deluxe, superior, sampai stantard rooms yang tersedia di Adhi Jaya Hotel. Sedangkan kisaran harga kamar yang disediakan yaitu mulai dari standard room dengan rate US $ 60.00, superior rooms dengan rate US $ 80.00, deluxe rooms dengan rate US $ 95.00 sampai dengan family room dengan rate US $ 125.00. Untuk lebih jelas pada tabel 2. diuraikan type kamar yang disediakan oleh Adhi Jaya Hotel.

Ungkapan lokasi strategis Adhi Jaya Hotel juga dikatakan oleh Mr. John (repeater guest) “For me... it’s not far away from the airport, very close to the beach, shopping mall like Matahari and easy to get a restaurant like Warung Made... I’m just walk a way to get it all. Not to noise, when I need to relax just at the hotel swimming pool and many local traditional shops.” Dengan ini pula membuat para tamu sangat memperhatikan tempat lokasi Adhi Jaya Hotel sebagai tempat menginap, agar tidak susah-susah lagi jika mau ke tempat-tempat layanan publik lainnya di sekitar Adhi Jaya Hotel
Secara sederhana segmen pasar dari Adhi Jaya Hotel dapat dibagi menjadi dua, yaitu tourist and local atau foreign dan domestic. Tetapi yang lebih difokuskan adalah pasar domestik, dengan alasan dalam masa recovery Bali secara umum, kunjungan wisatawan luar negeri masih belum pulih. Sebagai catatan bahwa setelah ada bom Bali, pasar domestiklah yang masih mensupport hunian Adhi Jaya Hotel.
Analisis SWOT merupakan salah satu bentuk analisis yang biasa digunakan dalam analisis pemasaran untuk mendapatkan suatu gambaran suatu produk atau jasa yang akan dipromosikan. Karena dalam penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka analisis SWOT yang peneliti lakukan bersifat sederhana dalam artian tidak sedetail seperti dalam analisis SWOT dengan tabel matriks pada penelitian kuantitatif. Sifat analisis SWOT yang dilakukan peneliti sangat situasional, karena sangat tergantung pada waktu analisis. Untuk analisis selanjutnya dapat saja analisis berubah. Lebih lanjut, peneliti akan menguraikan analisis yang di dapat dari data baik berupa keadaan internal maupun eksternal dari Adhi Jaya Hotel.
a. Kekuatan (Strenghts)
1). Adhi Jaya Hotel beroperasi di jantung daerah wisata Kuta, dengan lokasi yang strategis dekat dengan fasilitas publik, seperti waterbom, Discovery Mall, pantai Kuta termasuk ke Bandara Internasional Ngurah Rai dengan waktu tempuh lima menit dari Adhi Jaya Hotel.
2). Diketahui tamu yang menginap kebanyakan adalah langganan (repeaters), business man, holiday and goverment guest.
3). Pelayanan tamu dengan pendekatan kekeluargaan, yang dibuktikan bahwa setiap staff hotel wajib melakukan interaksi dengan keramahtamahan seperti mengajak ngobrol dan bertegur sapa dengan memanggil nama tamu yang menginap.
4). Suasana humanity Adhi Jaya Hotel yang bersahabat dan kekeluargaan, dengan service Balinese Hospitality.
5). Adanyat berbagai pilihan fasilitas kamar yang beragam, mulai kelas standard room sampai deluxe rooms dan ada juga family rooms dengan jaminan kebersihan yang tinggi, sehingga konsumen dapat menyesuaikan dengan anggaran dana yang dimiliki.
6). Suasana di dalam hotel dengan kesan sejuk, seperti adanya green garden yang alami, nyaman, tidak terlalu bising, dan tenang.
7). Pemandangan kolam renang yang asri dengan akses langsung ke bar and restaurant, sehingga tamu lebih betah untuk menyantap breakfast, lunch ataupun untuk dinner.
8). Jaringan kerjasama dengan travel agent yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri.
b. Kelemahan (Weaknesses)
1). Tampilan pintu masuk hotel masih kurang menandakan keberadaan sebuah hotel, dengan tulisan kecil dan kurang terlihat dari jarak 50 meter.
2). Manajemen sumber daya manusia masih belum menggunakan manajemen modern (ada staff yang mempunyai latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan tugas-tugasnya di hotel).
3). Tata letak front office yang menghadap ke dalam, sehingga kurang strategis dalam menyongsong tamu yang datang.
4). Kesan keberadaan hotel dengan papan nama atau billboard di depan hotel belum ada, karena yang terlihat dari depan (terutama dari posisi Discovery Mall) hanya jejeran ruko yang menutupi hampir sebagian besar bangunan hotel.
5). Promosi menu makanan yang disediakan belum maksimal, sehingga masih ada beberapa tamu yang breakfast, lunch dan dinner di luar hotel
c. Peluang (Oppurtunities)
1). Dengan meningkatnya kunjungan para pebisnis yang memiliki investasi di Discovery Mall, dan juga kunjungan wisatawan ke mall tersebut, maka perlu dipertimbangkan untuk memasang bilboard di atap bangunan hotel, agar pengunjung Discovery mall dapat melihat keberadaan Adhi Jaya Hotel yang berada di depan mall.
2). Banyaknya investor luar daerah yang melakukan bisnis di Kuta, seperti pebisnis di Discovery mall perlu dipertimbangkan untuk menjalin kerjasama dengan pebisnis-pebisnis tersebut untuk mau menggunakan fasilitas akomodasi Adhi Jaya Hotel, tentunya dengan kemudahan-kemudahan tertentu.
3). Dengan semakin cepatnya arus informasi melalui penggunaan teknologi canggih, perlu dilakukan jalinan kerjasama dengan agent-agent travel atau event organizer, serta lembaga-lembaga tertentu yang memerlukan paket-paket khusus seperti paket-paket hari raya libur nasional, dan event-event yang bertaraf nasional maupun internasional.
d. Tantangan (Threats)
1). Issu keamanan secara umum daerah Bali, perlu diwaspadai seperti tindakan teroris yang sewaktu-waktu bisa bereaksi, sehingga mempengaruhi kunjungan wisatawan ke Kuta khususnya.
2). Semakin maraknya pembangunan villages dengan pergeseran minat wisatawan ke daerah pedesaan yang lebih nyaman jauh dari keramaian.
3). Manajemen yang masih cenderung kekeluargaan, sehingga kinerja staff dalam tugas-tugasnya perlu dilakukan penataan SDM secara keseluruhan.
4). Semakin dinamisnya mobilisasi wisatawan dan konsumen, memerlukan penanganan cara-cara reservasi yang lebih profesional dan cepat.
Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan ada pada Adhi Jaya Hotel, maka brand-positioning yang sesuai dengan keadaan Adhi Jaya Hotel adalah “Hotel *** with Strategic Place, Excellence Service and Competitive Price”. Secara lebih jelas mengenai brand-positioning-differentiation Adhi Jaya Hotel dapat digambarkan dalam bentuk diagram 1 Untuk selanjutnya dapat ditentukan strategi promosi yang dapat dilakukan oleh Adhi Jaya Hotel, yang terbagi menjadi dua, yaitu strategi promosi personal dan strategi promosi nonpersonal. Lebih jelas ditunjukkan dengan tabel dibawah ini.

No. Strategi Promosi Information Feeds Keterangan
1. Strategi Promosi Personal --> Word of mouth atau the recomendations, The price and value offered --> Dilakukan dengan perbaikan pelayanan yang lebih profesional lagi, dan Meningkatkan profesionalitas pelayanan
2. Strategi Promosi Nonpersonal -->The physical presence of the place, The interior design layout, The name (slogan, symbol or logo),Brochure, Package program, Publicity, Advertising, Internet

Usaha lanjutan yang perlu dilakukan, seperti:

a. Dilakukan dengan pertimbangan anggaran dan profit yang akan didapat
b. Dilakukan dengan pertimbangan anggaran yang ada
c. Sudah cukup bagus, tinggal mempertahankan image yang ada
d. Ditekankan pada phrase positioning yang sudah didapatkan dan usaha pendistribusian brosur yang lebih luas
e. Diperlukan penyebaran informasi paket yang lebih agresif
f. Meningkatkan relasi dan interaksi dengan media lokal dan nasional
g. Dipertimbangkan sesuai dengan anggaran yang ada
h. Diperlukan database konsumen atau paling tidak email konsumen untuk membangun loyalitas


SIMPULAN DAN SARAN
Lokasi Adhi Jaya Hotel sebagai hotel bintang tiga sangat strategis di daerah wisata Kuta. Dekatnya akses ke fasilitas publik lainnya, memberikan nilai tambah bagi konsumen yang menginap. Strategi promosi yang telah dilakukan selama ini sudah solid dalam mempromosikan keberadaan Adhi Jaya Hotel kepada konsumen, namun perlu ditingkatkan lagi mengingat tingginya persaingan usaha perhotelan dan dampak krisis pariwisata yang sempat menurunkan hunian Adhi Jaya Hotel.
Sebagai rancangan strategi untuk menanamkan brand-positioning dalam benak konsumen, peneliti menganjurkan dua strategi promosi yang sesuai dengan keadaan Adhi Jaya Hotel yaitu strategi promosi personal dan strategi promosi nonpersonal. Pertimbangan yang mendasari rancangan strategi promosi tersebut adalah kapasitas kamar yang dimiliki Adhi Jaya Hotel. Sedangkan brand-positioning yang sesuai dengan Adhi Jaya Hotel, adalah “Adhi Jaya Hotel is Hotel *** with Strategic Place, Excellence Service and Competitive Price”.


DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Cravens, David W. 1994. Strategic Marketing. Texas: Christian University.
Engel, James F. 1995. Promotional Strategy. Boston: Homewood.
Kartajaya, Hermawan. 2005. Hermawan Kartajaya on Positioning Diferensiasi Brand. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kotler, Philip and Gary Armstrong. 2000. Marketing Management. New Jersey: Prantice Hall Inc.
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Siswanto. 1992. Humas: Hubungan Masyarakat, Teori dan Praktek, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Yoeti, Oka A. 2004. Strategi Pemasaran Hotel. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.


Referensi lain-lain:
www.dephan.go.id. Diakses tanggal 30 nopember 2006
Brosur Adhi Jaya Hotel 2005

Sabtu, 06 Maret 2010

BEGITU TERGANTUNGKAH KITA DENGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI??

BEGITU TERGANTUNGKAH KITA DENGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI??

(sebuah renungan penulis melihat perkembangan teknologi komunikasi saat ini)

I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si




Kemajuan teknologi yang pesat saat ini membawa perubahan yang sangat drastis pada tatanan kehidupan masyarakat. Semakin mudahnya akses informasi melalui media yang tanpa batas, seperti: media cetak, elektronik dan internet membuat masyarakat semakin cerdas dan mampu memilih mana informasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Terlepas dari itu, ternyata ketergantungan masyarakat akan teknologi media komunikasi sangat tinggi, coba anda bayangkan bisakah kita semenit saja jauh dari yang namanya ponsel?? Kalau jawabannya tidak berarti anda adalah salah satu manusia modern yang disebut masyarakat informasi. Fenomena ketergantungan ini, mengutip pendapat Marshall Mcluhan, dalam bukunya “Understanding of Media: The Extensions of Man“ (1964), bahwa media kini telah ikut mempengaruhi perubahan bentuk masyarakat. Media dianggap bentuk perluasan kapasitas fisik dan psikis manusia. Media massa tidak hanya memenuhi kebutuhan informasi atau hiburan, tetapi juga fantasi dan ilusi yang belum terpenuhi lewat saluran komunikasi tradisional. Apapun motifnya, media massa merupakan keniscayaan masyarakat modern.

Nah... kalau sudah begini, ada pertanyaan lain yang dilihat dari sudut kemanusiaan yang telah merubah kondisi psikologis masyarakat, yaitu semakin rendahnya ekspresi humanistik seperti rendahnya kualitas hubungan antar manusia, dimana terjadi penurunan kontak fisik, eye contact dan mimik wajah ketika seseorang berhadapan dengan orang lain. Apa efeknya, hubungan menjadi kurang hangat, karena banyak waktu dihabiskan untuk bergumul dengan teknologi media komunikasi. Sebuah cerita menyertai dalam kehidupan kita sehari-hari, sebagai contoh dalam keadaan belajar di dalam kelas, seringkali saya amati beberapa mahasiswa malah asyik memainkan ponselnya ketimbang mendengarkan dosennya menyampaikan materi kuliah (terlepas dari gaya dosen yang tidak menarik). Apakah anda salah satunya atau pernah mengalaminya??


Terdapat fakta lain terkait ketergantungan kita pada yang namanya media komunikasi, bahwa ada sebagian masyarakat sekarang ini yang malah tidak memperdulikan keselamatannya karena ketergantungan teknologi media komunikasi, seperti sering saya amati di jalanan seseorang mengendarai sepeda motor sambil menelepon, atau bahkan sambil mengetik sms... apa tidak takut jatuh ya!! Sebegitu pentingkah sebuah perjalanan atau hubungan komunikasi melalui ponsel tersebut, sehingga orang tersebut tidak mau berhenti sejenak untuk mengobrol di telepon atau mengetik sms, daripada mengambil resiko melakukan percakapan melalui ponsel sambil berkendara...!? sungguh kegiatan yang bisa berakibat fatal yaitu kecelakaan, jangan anda bayangkan kecelakaannya tapi mari ikut mengantisipasinya.

Masih menyangkut ketergantungan masyarakat pada media komunikasi ada sebuah teori komunikasi yang mengetengahkan tentang betapa masyarakat saat ini sudah menjadi sangat terikat dengan media komunikasi; seperti televisi, sehingga hampir seluruh aktivitas kegiatannya sehari-hari dipengaruhi oleh apa yang ditayangkan televisi. Teori kultivasi (cultivation theory), menjelaskan efek media televisi terhadap penontonnya. Teori kultivasi ini di awal perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi televisi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi dalam perkembangannya, ia juga bisa digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan. Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).


Sebuah pengalaman, saya pernah mendapatkan keluhan tetangga saya di kampung yang menceritakan tentang perilaku anaknya yang suka berkelahi dengan teman-temannya menirukan gaya berkelahi tokoh-tokoh idola yang ada dalam film yang ditontonnya. Tidak terbayangkan jika si anak tersebut juga menggunakan senjata beneran seperti apa yang ditontonnya dala film, bagaimana akibatnya.. tentu kita semua tidak mau membayangkannya terjadi.

Teori ini sangat relevan kalau kita mendiskusikan efek media televisi terhadap penontonnya. Gerbner bersama beberapa rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengan memfokuskan pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal. Salah satu temuan terpenting adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewers) mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan ditelevisi menanamkan ketakutan sosial (sosial paranoia) yang membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengiktannya bersama-sama pula. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu menyakininya. Jadi, para pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap yang sama satu sama lain.


Satu pesan kepada masyarakat informasi adalah bagaimana agar selalu bijak dalam menyikapi dan memanfaatkan teknologi media komunikasi. Perlunya filter diri yang kuat terhadap diri sendiri dan keluarga agar segala pengaruh buruk efek teknologi tersebut tidak malah membuat hidup kita menjadi tidak nikmat dan tidak menyenangkan. Salah satu caranya mungkin dengan meyakini dan menanamkan kepada anak cucu sebagai generasi penerus kita, bahwa secanggih-canggihnya teknologi komunikasi tetaplah kita pandang sebagai sebuah alat... ya hanya alat yang dibuat untuk mempermudah kehidupan kita semua, bukan malah menjadikannya alat perusak kehidupan. (tulisan ini sebagai renungan penulis melihat perkembangan teknologi komunikasi saat ini).

Rabu, 30 Desember 2009

Happy New Year 2010

HAPPY NEW YEAR 2010

Harapannya adalah:
1. Bencana alam berkurang dan tidak terus menghantui daerah yang rawan bencana, seperti: gempa bumi, longsor, banjir, dan lumpur yang menenggelamkan tanah Ibu pertiwi
2. Terciptanya pemerintahan Indonesia yang bersih dan bebas dari yang namanya KKN (terutama Korupsi) -->lanjutkan pak SBY-Budiono dan KPK
3. Semakin terbukanya kesempatan kerja bagi berjuta-juta masyarakat Indonesia yang masih menganggur yang akhirnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum
4. Suasana kondusif dari segala ancaman keamanan di seluruh penjuru Negara Indonesia dari yang namanya TERORIS, yang pernah menjadi hantu atau apalah namanya, yang membuat setiap orang menjadi takut bepergian kemana-mana karena tidak mau menjadi korban ledakan bom
5. Global warming dapat ditekan seminimal mungkin, dengan tindakan seperti: penggunaan rumah kaca dikurangi, penebangan hutan secara liar dikurangi, penggunaan energy alam secara hemat dan efisien (air, listrik dll), semua orang berperilaku sayang kepada alam, peraturan safety riding (menyalakan lampu sepeda motor di siang hari) dibatalkan karena secara logika akan menambah pemanasan global (cb anda pikirkan???), dan masih banyak cara lainnya lagi untuk mengurangi global warming
6. Semua umat manusia bersatu dan saling menyayangi satu sama lain demi kedamaian dan keutuhan Bola dunia ini.... --> sebelum kiamat itu benar datang!!!!!!!!!!???

Semoga..... Pikiran Baik Datang Dari Segala Penjuru...

Minggu, 15 November 2009

Manajemen Komunikasi

MANAJEMEN KOMUNIKASI
*I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si

1. Mengapa “konstruksi makna” lebih penting dari hanya “pertukaran pesan” untuk menjelaskan Manajemen Komunikasi?
Jawaban: Konstruksi makna mengacu pada sejauh mana kita menangkap sebuah makna yang mengenai panca indera kita. Peran panca indera sangat penting dsini disamping pengalaman dan sistem persyarafan yang selalu mengolah informasi yang masuk ke dalam otak manusia. Pembentukan makna disini terjadi karena adanya objek kata atau bentuk tertentu dari lingkungan dimana kita berada.
Seperti dikatakan Michael Kaye dengan ungkapan “What we must realize is that the heart of communication is not in the surface but in the meanings or interpretations that we ascribe to the message” (Kaye, 1994:8). Dari sini dapat dijelaskan bahwa sebuah arti dalam bentuk permukaan sebuah pesan tidak akan berarti tanpa disertai dengan adanya penyampaian makna yang sebenarnya ada pada pesan tersebut. Dalam interaksi antar individu terjadi berbagai pertukaran makna, yang sebelumnya telah disepakati bersama. Misalnya adanya pernyataan bahwa yang seorang bercirikan tubuh ”tinggi” dan atau bertubuh ”pendek”. Sebelumnya antara mereka telah memiliki persamaan makna dalam pikiran mereka apa yang dinamakan ”tinggi” dan apa yang dinamakan ”pendek”. Sehingga walaupun cuma kata ”tinggi” maupun ”pendek” yang ada dalam komunikasi antara dua orang tersebut, tetapi dalam benak masing-masing telah saling memahami apa makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut.
Dalam menajemen komunikasi, ”konstruksi makna” ini lebih penting daripada hanya ”pertukaran pesan”, karena dalam manajemen komunikasi terjadi uraian komunikasi yang lebih mendetail, yang menyangkut baik penjelasan konseptual sampai rencana operasional, termasuk monitoring, evaluasi atau audit komunikasi. Jadi penyampaian pesan harus dapat dimaknai secara mendalam, sehingga dapat menanamkan pengertian yang konperensif pada benak penerima berbagai hal yang menyangkut isi pesan yang disampaikan tersebut.

2. Apa pendapat Anda tentang pernyataan bahwa Manajemen Komunikasi merupakan bidang kajian dalam Ilmu Komunikasi yang terlalu teoritis?
Jawaban: Manajemen komunikasi adalah bidang kajian dari ilmu komunikasi yang bersifat teoritis? Tentu tidak seratus persen benar, karena pada manajemen komunikasi memberikan kita pemahaman tentang terjadinya makna yang terkandung dalam setiap isi pesan yang disampaikan kepada orang lain dengan lebih mengutamakan terjadinya ”konstruksi makna”. Artinya bahwa, pesan yang disampaikan tidak hanya apa yang terlihat di permukaan, tetapi lebih daripada itu. Sehingga dalam penyampaiannya diperlukan uraian yang lebih mendetail sehingga penerima pesan memahami apa maksud dan tujuan yang ingin disampaikannya kepada penerima tersebut. Lebih jauh pada manajemen komunikasi lebih cenderung menekankan pada proses komunikasi yang terjadi. Karena menekankan pada proses komunikasi yang terjadi, bukan pada hasil akhir yang diinginkan. Maksudnya bahwa, dalam komunikasi yang terjadi ada semacam berbagai proses yang harus dilalui untuk kemudian sampai pada hasil komunikasi yang diinginkan. Lebih jauh Michael kaye menguraikan, “how people manage their communication processes through constructing meaning about their relationships with others in various settings (Kaye, 1994: xii)”. Jadi jelas, bahwa manajemen komunikasi adalah bagaimana seseorang mengelola proses komunikasinya melalui konstruksi makna yang terjadi dalam hubungannya dengan orang lain dengan berbagai situasi atau keadaan. Jadi, manajemen komunikasi memungkinkan seseorang melakukan proses komunikasi dengan caranya sendiri, dalam proses yang dikelolanya agar orang lain mendapatkan makna dari komunikasi yang terjadi secara lebih mendalam. Karena pada manajemen komunikasi harus dilalui dari proses perencanaan, tinjauan konseptual, implementasi, evaluasinya sampai dengan monitoring yang nantinya dilakukan.
3. Apa yang Anda ketahui tentang ”Self” seperti yang dijelaskan Michael Kaye?
Jawaban: ”Self” seperti yang dijelaskan oleh Michael Kaye, lebih menekankan pada kebaradaan ”self” sebagai agen perubahan. Maksudnya, bahwa ”self” dengan segala aspek yang dimilikinya baik itu, persepsinya, pengalamannya, ide atau pandapatnya, emosionalnya, nilai-nilai spriritualnya, keunikan pribadinya serta yang lainnya dalam interaksi komunikasi lebih tertuju pada adanya perubahan yang terjadi. Dalam bukunya Michael Kaye, mengetengahkan bahwa ”self” atau yang kalau kita persepsikan dalam bahasa Indonesia sebagai ”diri” sering diposisikan sebagai makna yang dengan sendirinya hadir dalam setiap interaksi, walau mungkin tanpa disertai dengan bahasa verbal. Sebagai contoh, jika pada suatu perkuliahan seseorang hadir di dalam kelas dengan memakai baju warna merah, tentunya kehadiran seseorang tersebut dalam kelas ikut memberikan suasana kelas yang semakin beragam dengan warna baju yang dikenakannya tersebut. Karena mungkin teman-teman yang lainnya juga menggunakan baju yang berbeda-beda, sehingga tampak berwarna-warni, dan ini terjadi karena kehadiran ”diri” tersebut. Coba kalau tidak ada yang menggunakan baju merah, mungkin keadaan kelas tidak akan kelihatan berwarna-warni. terlebih lagi jika disertai dengan bahasa non verbal, mungkin saja keadaan kelas menjadi kelas yang ramai dengan suara percakapan ataupun suara berbisik-bisik karena setiap ”diri” tadi berbicara tidak keras.

Tipologi Teori Komunikasi Massa

Tipologi Teori Komunikasi Massa
* I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si

1. Menurut Ilmu yang melatarbelakangi
a. Ilmu Psikologi: Hypodermic Needle Theory, Media Equation Theory, Uses and Gratification Theory, dan Media Critical Theory
b. Ilmu Antropologi: Cultivation Theory, Cultural Imperialism Theory
c. Ilmu Sosiologi: Spiral of Silence Theory, Diffusion of Innovation Theory, Agenda setting Theory
d. Ilmu Fisika : Technological Determinism Theory

2. Menurut salurannya
a. Langsung kepada sasaran atau audiens khusus: Spiral of Silence Theory
b. Menggunakan media tertentu: Hypodermic Needle Theory, Cultivation Theory, Cultural Imperialism Theory, Media Equation Theory, Technological Determinism Theory, Uses and Gratification Theory, Agenda setting Theory, Media Critical Theory, dan Diffusion of Innovation Theory

3. Menurut partisipasi audiens
a. Partisipasi aktif: Diffusion of Innovation Theory, dan Uses and Gratification Theory
b. Partisipasi pasif: Hypodermic Needle Theory,Cultivation Theory, Cultural Imperialism Theory, Media Equation Theory, Spiral of Silence Theory, Technological Determinism Theory, Agenda setting Theory, dan Media Critical Theory


3. Komunikasi massa menurut bentuknya
a. Surat kabar
b. Majalah
c. Radio siaran
d. Televisi
e. Film
f. Komputer dan Internet

4. Komunikasi Massa menurut Fungsinya
a. Informasi
b. Hiburan
c. Persuasi
d. Transmisi Budaya
e. Mendorong Kohesi Sosial
f. Pengawasan
g. Korelasi
h. Pewarisan sosial

5. Komunikasi massa menurut modelnya
a. Model aliran dua tahap
b. Model aliran banyak tahap
c. Model Melvin DeFleur
d. Model Michael W Gamble
e. Model HUB
f. Model Bruce Westley dan Malcon McLean
g. Model Malezke
h. Model Bryant dan Wallace

6. Komunikasi Massa menurut efeknya
a. Efek primer
b. Efek sekunder
c. Efek tidak terbatas
d. Efek terbatas
e. Efek moderat

NB: Dari berbagai sumber

Jumat, 13 November 2009

MEMAHAMI BAHASA TUBUH CALON PENUMPANG
ANGKUTAN KOTA DI JALAN RAYA BANDUNG
(Analisis Pendekatan Interaksi Simbolik)
* I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si


I. Pendahuluan
Setiap hari kita hampir selalu melewati jalan raya, apakah untuk kepentingan pergi ke kampus, ke pusat perbelanjaan atau sekedar berkunjung ke tempat keluarga dan teman. Terkecuali bagi mereka yang mempunyai kendaraan sendiri dan menggunakan kendaraan orang lain mungkin tidak begitu menyadari akan sebuah permasalahan tentang bahasa simbolik calon penumpang yang akan naik kendaraan umum atau yang biasa disebut angkot (angkutan kota).
Bagi para sopir angkot mungkin ini adalah keterampilan tambahan selain kemampuan menyetir mobil, yang sangat mendukung kelancaran dan pendapatan mereka, karena dengan memahami bahasa tubuh calon penumpang ini, para sopir angkot akan semakin banyak mendapat penumpang yang berarti semakin banyak setorannya. Sopir angkot sepertinya telah terbiasa dengan bahasa tubuh calon penumpang, karena mau tidak mau dalam menjalankan profesinya mereka semestinya sudah paham betul bagaimana mengetahui penumpang yang mau naik angkot dan penumpang mana yang tidak mau naik ke angkotnya.
Mungkin adalah suatu kesalahan besar bagi sopir angkot bila mereka tidak paham betul bagaimana menerima tanda atau bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh calon penumpang sebagai penumpangnya. Ada berbagai gaya dan ciri khas bagi bahasa tubuh calon penumpang yang kalau dicermati lebih jauh akan didapatkan beberapa kategori yang sangat layak untuk dianalisis, sehingga akan memberikan pemahaman yang mendalam bagi kita semua tentang bagaimana interaksi ini terjadi antara para sopir angkot dan para calon penumpangnya.
Untuk mengetahui hal ini peneliti berusaha melakukan wawancara terhadap para sopir angkot dan pengamatan pada para calon penumpang yang mungkin akan naik angkot di jalur jalan Dago Bandung menuju terminal Kebon Kelapa. Penelitian ini dilakukan pada saat peneliti naik angkot dan seraya ikut mempraktekkan bahasa tubuh dan bagaimana respon sopir angkot dalam menanti para calon penumpang agar naik ke angkotnya. Dan ini tentunya yang sesuai dengan arah tujuan bagi para calon penumpang angkot.

II. Kajian Teori dan Pendekatan
Dalam menganalisis tentang tanda dan simbol bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal ini, tak akan pernah terlepas dari analisis interaksi simbolik yang pertama kali diperkenalkan oleh George Herbert Mead, yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya. Adalah interaksi simbolik dengan tokohnya George Herbert Mead, yang mengakui bahwa interaksi adalah suatu proses interpretif dua-arah.
[1] Jika dianalisis dengan salah satu prinsip perspektif teori interaksi simbolik dari George Ritzer (dalam Mulyana, 2002) sangat relevan, bahwa orang mampu mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Interaksionisme simbolik mengandaikan suatu interaksi yang menggunakan bahasa, isyarat, dan berbagai simbol lain. Melalui simbol-simbol itu pula manusia bisa mendefenisikan, meredefenisikan, menginterpretasikan, menganalisis, dan memperlakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya.
Simbol adalah lingkungan sosial yang diterjemahkan oleh individu yang ada di dalamnya, termasuk dalam memberi makna dan menterjemahkannya ke dalam arti dan makna yang disepakati bersama. Bahasa tubuh seseorang adalah sebuah tanda yang memberikan banyak arti makna dalam artian sejauh mana seseorang dapat menterjemahkan bahasa tubuh tersebut sehingga mendapatkan maksud yang diinginkan untuk memenuhi tujuan individu tersebut.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka.
[2]
Dalam pandangan interaksi simbolik, seperti ditegaskan oleh Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Hal ini berlaku bagi komunitas pengguna angkutan umum, yang terbiasa dengan interaksi simboliknya dalam perjalanan naik angkot. Dengan penggunaan simbol ini, setidaknya setiap orang menjadi terbiasa dengan sikap yang ditunjukkan untuk mendapat perhatian para sopir angkot untuk menghampirinya sehingga tujuan naik angkotpun terpenuhi.
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Ketertarikan mereka pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan oleh penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Dalam pandangan interaksi simbolik, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari intepretasi mereka atas dunia di sekililing mereka.
Adapun ringkasnya, interaksionisme simbolik dapat didasarkan pada premis-premis berikut
[3]:
1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Jadi, individulah yang dianggap aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menanami segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak. Melalui penggunaan simbol itulah manusai dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia. Jadi makna bersifat subjektif dan sangat cair.
3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Peruaban interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Oleh George Ritzer, meringkas teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip,
[4] yaitu manusia tidak seperti hewan lainnya karena manusia dibekali kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi sosial, dan dalam interaksi sosialnya manusia mulai belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia. Setiap orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Manusia mampu melakukan modiffikasi dan perubahan ini karena, antara lain; kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif dan kemudian memilih salah satunya. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.
Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), karena isyarat vokallah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Tetapi isyarat verbal saja tidak cukup menggambarkan sebuah makna dalam diri manusia, karena komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan di dengar, tetapi juga proses nonverbal. Proses nonverbal disini seperti isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, temporalitas dan paralinguistik.
[5] Jadi komunikasi nonverbal mempunyai peran yang cukup besar dalam pembentukan makna dalam lingkungan sosial, terlebih lagi menentukan makna dengan tujuan yang terselubung dari perilaku individu.
Interaksi simbolik mengandung pokok-pokok tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer
[6], mengatakan ada tujuh dasar dan proposisi dalam interaksi simbolik, yaitu:
1. Manusia memahami sesuatu dengan menandai makna pada pengalaman mereka
2. Pemaknaan adalah belajar dari proses interaksi antara manusia
3. Semua struktur dan institusi sosial dihasilkan oleh interaksi manusia dengan yang lainnya
4. Perilaku individu tidak ditentukan dengan kejadian-kejadian yang telah terjadi, melainkan dengan keralaan
5. Pikiran terdiri dari ucapan yang tersembunyi, merefleksi interaksi satu sama lain
6. Perilaku diciptakan atau dihasilkan dari interaksi kelompok sosial
7. Seseorang tidak dapat memahami pengalaman manusia dengan mengamati perilaku yang tersembunyi.
Pada hakekatnya komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia, yang dinyatakan dalam pikiran atau perasaan dengan menggunakan bahasa (verbal) atau isyarat (nonverbal) sebagai alat perwujudannya. Berdasarkan pemahaman hakekat komunikasi tersebut, Effendy
[7] mengkategorikan proses komunikasi menajdi dua kategori, yaitu; pertama, proses komunikasi dalam perspektif psikologis. Dalam perspektif ini, proses komunikasi terjadi pada diri peserta komunikasi (komunikator dan komunikan); kedua, proses komunikasi dalam perspektif mekanistis. Dalam perspektif ini, proses komunikasi terjadi ketika peserta komunikasi melemparkan pesan dengan bibir kalau lisan, tangan jika tulisan, sampai pesan ditangkap oleh peserta lainnya. Selanjutnya proses perspektif mekanistik ini dapat dikelompokkan lagi menjadi beberapa, yaitu proses komunikasi secara primer, proses komunikasi secara sekunder, proses komunikasi secara linier, dan proses komunikasi secara sirkuler.
Dalam proses komunikasi antara sopir dengan calon penumpang dapat dikategorikan ke dalam proses komunikasi secara primer yaitu menekankan pada penggunaan bahasa verbal dan nonverbal. Secara verbal dapat saja seorang calon penumpang memanggil atau berteriak dengan memanggil sopir angkot yang sedang melintas di jalan raya, seraya berharap mendekat kepadanya. Sedangkan secara nonverbal, seorang calon penumpang menggunakan bahasa tubuhnya untuk menarik perhatian sopir angkot agar menghampirinya dan memberikan kesempatan naik ke angkotnya.
Bahasa nonverbal atau kita lebih spesifikan lagi menjadi pesan kinesik atau pesan yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: pesan fasial, pesan gestural dan pesan postural. Diantara berbagai petunjuk nonverbal, petunjuk fasial adalah yang paling penting dalam mengenali perasaan persona stimuli. Ahli komunikasi nonverbal, Dale G. Leathers (1976:21),
[8] menulis:
”Wajah sudah lama menjadi sumber informasi dalam komunikasi interpersonal. Inilah alat yang sangat penting dalam menyampaikan makna. Dalam beberapa detik ungkapan wajah dapat menggerakkan kita ke puncak keputusasaan. Kita menelaah wajah rekan dan sahabat kita untuk perubahan-perubahan halus dan nuansa makna dan mereka. Pada gilirannya menelaah kita.”
Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway
[9], pesan gestural kita gunakan untuk mengungkapkan: (1) mendorong atau membatasi, (2) menyesuaikan atau mempertentangkan, (3) responsif atau tak responsif, (4) perasaan positif atau negatif, (5) memperhatikan atau tidak memperhatikan, (6) melancarkan atau tidak tidak reseptif, (7) menyetujui atau menolak.
Calon penumpang yang bertujuan naik angkot ke tujuan tertentu yang setidaknya sudah berdiri di pinggir jalan, tentunya akan menunjukkan komunikasi nonverbal yang kurang lebih sama, secara umum. Dan bahasa tubuh yang dipergunakan merupakan bentuk komunikasi yang sudah menjadi komunikasi nonverbal yang dipahami oleh sopir angkot.
Setelah uraian beberapa kajian teori diatas maka pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan interaksi simbolik, dimana bahwa penelitian dilakukan dengan wawancara terhadap sopir angkot sebagai salah satu komponen penerima terjadinya komunikasi nonverbal dalam penelitian ini. Dimana bahwa sopir angkot sebagai subjek kunci penelitian, karena sopir angkot yang paling memahami penggunaan bahasa nonverbal calon penumpang di jalan raya. Dan sopir angkot dianggap yang kompeten dengan pemahaman yang mendalam tentang komunikasi nonverbal penumpang, dimana sangat mempengaruhi kesuksesannya dalam menambah pendapatan sebagai penyedia jasa angkutan. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap para calon penumpang yang sedang berada di pinggir jalan raya, yang sedang menunggu angkot untuk mengantarnya ke tempat tujuan.
Pengamatan dilakukan di sepanjang jalan Juanda atau yang lebih dikenal dengan jalan Dago sampai terminal Kebun Kelapa. Karena menurut peneliti di jalan tersebut cukup representatif sebagai lokasi penelitian ini. Dimana dapat dibedakan dengan jelas para calon penumpang yang akan naik angkot, karena ruas jalannya cukup lebar dan trotoarnya juga kelihatan. Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu mulai awal bulan Mei 2006 sampai dengan petengahan bulan Juni 2006.

III. Analisis dan Pembahasan
III.1 Hasil Wawancara Dengan Sopir Angkot
Wawancara yang telah dilakukan terhadap tiga sopir yang ditemui peneliti masing-masing menyatakan pemahaman mereka pada komunikasi nonverbal calon penumpang adalah sebagai berikut.
a. Sopir Angkot A
Wawancara pertama dilakukan dengan sopir angkot dengan inisial Pak U berumur 46 tahun yang berasal dari tanah B, dimana wawancara berlangsung tidak begitu banyak karena orangnya agak susah untuk diajak bicara. Dengan logatnya yang khas Pak U hanya menjawab sekedarnya dari pertanyaan peneliti. Dalam wawancara, salah satu pernyataan Pak U dalam menanggapi pertanyaan peneliti, yaitu ”Bagaimana cara pak U mengetahui kalau penumpang itu mau naik angkot pak U ataukah tidak?” dan pak U menyatakan; kalo mau nyari calon penumpang lihat saja matanya, karena dari pandangan matanya dapat dipastikan dia (calon penumpang, red) akan naik ke angkot kita atau tidak. Dan biasanya bila ada orang di pinggir jalan yang melihat ke angkot kita, artinya dia mau naik angkot kita. Tapi kadang juga susah ngeliatnya, apalagi di waktu malam he he..! atau kalau tidak kita perhatikan saja mukanya menghadap kemana, karena kalau mukanya menghadap ke angkot kita ya.. berarti dia mau naik angkot”.
Ungkapan seperti itu memang dapat kita lihat langsung, karena setiap orang yang berdiri di pinggir jalan, dengan pandangan mata melihat ke arah angkot dan setelah dihampiri dia memang naik ke angkot yang dipandangnya. Pernyataan pak U memang secara logika dapat kita pahami, yaitu bahwa setiap individu yang mengharapkan sesuatu dari objek yang berada di sekitarnya, tentunya individu tersebut terlebih dahulu akan menunjukkan sikap ketertarikan dengan memandangnya, untuk kemudian melakukan aktifitasnya selanjutnya, yaitu apakah ingin memilikinya atau mengharapkan respon timbal balik.
Pak U juga menjawab, dalam pertanyaan penliti, yaitu ”apakah selain melihat pandangan mata dan muka calon penumpang, pak U dapat membedakan calon penumpang yang mana saja yang akan naik angkot pak U?”. dan jawaban pak U adalah ”kalau kita tak bisa melihat pandangannya, biasanya kita perhatikan badannya, apakah badannya berjalan ke arah kita atau hanya diam saja berdiri, nah kalo sudah begitu, kita bisa tahu dia mau naik angkot kita atau tidak”.
Sikap tubuh memang lebih mungkin untuk dilihat, karena wujudnya lebih besar dan sangat mudah diamati, sehingga pak U menyatakan sikap tubuh calon penumpang merupakan salah satu isyarat apakah calon penumpang akan naik angkot ataukah tidak.

b. Sopir Angkot B
Sopir angkot yang kedua, yaitu dengan inisial Pak A berumur 51 tahun, dia merupakan orang asli Sunda dan telah hampir 15 tahun melakukan pekerjaan menjadi sopir angkot. Sebelumnya dia juga pernah menjadi sopir bus jurusan Bandung – Jakarta selama 5 tahun, tetapi karena merasa sudah tua dan resiko pekerjaannya lebih berat, maka pak A memutuskan untuk menjadi sopir angkot kota saja katanya.
Menanggapi pertanyaan peneliti, ketika ditanya bagaimana caranya mengetahui bahwa ada calon penumpang yang mau naik ke angkotnya ataukah tidak, pak A menjawab dengan santai (pak A memang enak ketika diajak gobrol, red), ”kenapa menanyakan hal-hal sepele seperti itu”, katanya. Walaupun akhirnya dia memberi jawaban yang diinginkan peneliti, yaitu ”caranya gampang aja mah, perhatikan saja gerak tubuhnya, lihat dia bergerak mendekati angkot saya atau tidak, dan kalau dia bergerak mendekati angkot saya mah, berarti dia mau naik angkot saya, begitu pak”.
Menurut pak A juga, terkadang ada calon penumpang yang sudah mendekati angkotnya tapi batal naik angkotnya, karena salah melihat jurusan yang tertulis di kaca depan mobil angkotnya. Ini sering dia alami, karena memang tulisan jurusan angkotnya cukup kecil kalau diperhatikan dengan seksama dari jauh. Dia menyadari hal ini, tapi belum ada niat untuk mengganti dengan tulisan yang lebih besar.
Selain itu, menurut pak A, biasanya dia tahu kalau ada penumpang yang mau naik angkotnya atau tidak adalah dengan gerak tangan calon penumpang yang berdiri di pinggir jalan, yaitu apakah gerak tangannya menunjuk ke arahnya (mobil angkotnya) atau tidak, dan kalau ada petunjuk itu, hampir bisa dipastikan bahwa orang yang berdiri dipinggir jalan tersebut pasti mau naik angkotnya.
Menurut pak A juga, selama puluhan tahun dia melakukan pekerjaan sebagai sopir, dia merasa sudah paham betul akan bahasa tubuh tersebut, dan dia merasa seakan-akan sudah menjadi instink secara tetap dalam dirinya. Sehingga pak A merasa cara menangkap isyarat tubuh calon penumpang tersebut mengalir begitu saja, dan tanpa disadarinya lagi.

c. Sopir Angkot C
Wawancara yang ketiga adalah pada sopir yang berinisial pak Ab dan berumur 49 tahun. Pak Ab merupakan orang asli Jawa Tengah, tepatnya dari daerah Cilacap. Pak Ab sudah menjalani profesinya sebagai sopir angkot selama hampir 16 tahun, dan sebelumnya pak Ab pernah bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil di daerah Bandung Selatan, tetapi karena merasa bosan dengan pekerjaan pabrik maka dia memutuskan untuk berhenti waktu itu, dan mencoba keberuntungan dengan menjadi sopir angkot.
Menurut pak Ab, ketika ditanya bagaimana caranya mengetahui calon penumpang yang akan naik angkotnya atau tidak, pak Ab menjawab dengan logat yang terasa masih bercampur dengan logat Jawa Cilacap-nya, yaitu dengan mengatakan ”walah pak, lah kok pengin tau koyok ngono, yo caranya gampang wae, diperhatikan saja dari cara berdirinya, nah itu lihat (seraya menunjuk seseorang yang berjalan dari pinggir jalan), seperti contohnya, pak lihat saja, dia melihat ke kita kan, dan lihat kalau dia mulai melangkah kesini.... nah betul kan dia naik angkot ini (wawancara dilakukan ketika angkot pak Ab sedang menunggu penumpang di daerah Simpang Dago, dan pak Ab sekaligus menunjuk ke arah calon penumpang yang datang menghambirinya, red).
Pak Ab termasuk orang yang cukup interaktif dalam wawancara, karena sering langsung menunjuk ke arah calon penumpang yang akan naik angkotnya. Dan dari pertanyaan peneliti, pak Ab tidak begitu menganggapnya serius, seakan-akan pekerjaannya begitu santai untuk dijalani. Menurutnya lagi, kalau dia sudah tidak perlu terlalu memperhatikan calon penumpang yang mau naik ke angkotnya, ada calon yang menghampiri angkotnya bersyukur dan sewaktu jalanpun, kalau ada yang memberikan isyarat tangan atau berjalan mendekati angkotnya berarti dia anggap sudah mau naik angkotnya. Dan walaupun orang tersebut bukan naik angkotnya tetapi angkot yang disebelahnya.
Pak Ab menyatakan sering juga dirinya mendapat penumpang yang belum paham betul daerah Bandung, yang dapat diketahuinya karena para penumpang tersebut sering menanyakan kepadanya, kemana arah jurusan angkot yang dikemudikannya. Sehingga pak Ab merasa harus ramah kepada para penumpang tersebut, dan menjelaskan angkot yang benar kepada para penumpang tersebut. Pak Ab mengatakan kasian jika para penumpang tersebut sampai tersesat di Bandung.

III.2 Hasil Pengamatan Terhadap Para Calon Penumpang
Pengamatan dilakukan terhadap penumpang yang sedang berdiri dipinggir jalan, yaitu dengan gerak tubuh dan bahasa tubuhnya, seperti dengan cara menunjukkan tangan menUg ke arah angkot ataupun dengan langsung berjalan ke arah angkot yang akan dinaikinya. Para calon penumpang memberikan isyarat yang beragam, seperti misalnya ada calon penumpang yang hanya berdiri saja di pinggir jalan sambil menunjuk ke arah angkot, sampai angkot mendekatinya dan dia baru naik ke dalam angkot.
Pada beberapa orang yang diteliti, terdapat isyarat bahasa tubuh yang khas, yaitu seraya berdiri menghadap ke arah angkot yang berjalan pelan dan memandangnya sampai angkot mendekatinya. Isyarat ini adalah isyarat yang paling umum terlihat, karena secara keseluruhan menunjukkan keinginan untuk naik angkot. Beberapa orang yang dilihat oleh peneliti, ada yang hanya menunjuk ke arah angkot tetapi sambil berbicara dengan teman sebelahnya, karena mungkin teman di sebelahnya hanya mengantar sampai naik angkot, jadi sebagai isyarat saja dengan menunjuk angkot agar angkot berhenti sembari mengucapkan salam perpisahan kepada temannya.
Selain itu, ada beberapa calon penumpang yang diamati oleh peneliti, yang masih membaca petunjuk jurusan yang tercantum di depan kaca mobil angkot, sebelum akhirnya naik angkot yang dituju tersebut. Hal ini mungkin terjadi pada calon penumpang yang belum tahu jurusan mobil angkot, dalam artian mungkin bagi calon penumpang yang belum pernah kemana-mana, dan masih mempelajari arah jurusan angkot yang akan mengantarnya ke tempat tujuan. Ataupun bagi calon penumpang yang baru datang dari daerah luar Bandung, sehingga perlu mempelajari arah jurusan angkot yang ada di Bandung. Biasanya calon penumpang seperti ini, sebelum naik angkot yang akan membawanya menuju ke suatu tempat, berusaha bertanya terlebih dahulu kepada sopir angkot. Calon penumang baru ini biasanya akan menanyakan terlebih dahulu apakah angkot tersebut akan menuju jurusan yang diinginkan oleh calon penumpang tersebut ataukah tidak. Sopir angkotpun dengan bijak akan memberitahukan jurusan angkotnya kepada calon penumpang tersebut. Dan bila tidak sesuai dengan jurusan yang diinginkan oleh penumpang tersebut, si sopirpun biasanya akan memberitahukan angkot yang mana saja yang menuju ke arah yang dimaksud.

III.3 Pembahasan
Dari hasil wawancara dan pengamatan diatas maka peneliti secara umum atau garis besarnya, dapat menggolongkan bahasa isyarat calon penumpang di jalan raya Bandung ke dalam tiga bahasa isyarat umum, yaitu:
1. Bahasa Tubuh Pasif
Pada kategori ini didapatkan bahwa bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh para calon penumpang dengan posisi yang cenderung diam, hanya berdiri saja di pinggir jalan. Posisi tubuh calon penumpang hanya diam dan menghadap ke arah angkot yang lewat di depannya, seraya menunggu angkot yang dimaksud dan kemudian kalau sesuai dengan angkot yang diinginkan maka calon penumpang tersebut akan melangkah naik ke dalam mobil angkot.
Bahasa tubuh yang ditunjukkan calon penumpang dalam kategori ini, cenderung pasif dan hanya menunjukkan sikap diam dan menunggu, karena biasanya calon penumpang dalam kategori ini, berada cukup dekat dengan jalan raya atau di atas trotoar dan sangat mudah dihampiri oleh angkot.
Calon penumpang yang tergolong dalam kategori ini biasanya menunjukkan dengan pandangan mata yang tertuju pada angkot yang lewat. Seperti apa yang dikatakan oleh pak U, dimana cara mengetahui calon penumpang yang mau naik angkotnya atau tidak, yaitu dengan melihat pandangan matanya, apakah melihat kearah angkotnya atau tidak dan walaupun bahasa tubuhnya hanya diam saja, tapi kalau dihampiri maka calon penumpang tersebut akan naik ke angkotnya.

2. Bahasa Tubuh Aktif
Kategori kedua ini yaitu calon penumpang dengan menunjukkan bahasa tubuh secara aktif. Dalam posisi dipinggir jalan akan sangat tampak calon penumpang seperti ini, karena biasanya akan bergerak melangkah langsung menuju ke arah angkot yang sedang menunggu penumpang.
Di tambah lagi dengan pandangan yang tertuju ke arah mobil angkot yang berada di jalan raya atau mobil angkot yang sedang ngetem (menunggu penumpang, red), calon penumpang ini tanpa basa-basi akan langsung masuk ke dalam mobil angkot. Penumpang seperti ini biasanya adalah penumpang angkot yang sudah terbiasa menggunakan sarana angkutan dalam bepergiannya, dan juga biasanya sudah mengerti betul kemana jurusan angkot yang akan dituju.
Bahasa tubuh lainnya yang ditunjukkan oleh penumpang dalam kategori ini, seperti ketika sambil berjalan menghampiri mobil angkot yang dimaksudkannya, seraya menunjuk ke arah mobil angkot dengan tangan atau jari telunjukknya. Penumpang seperti ini biasanya sering ditemukan di terminal-terminal, karena mobil cenderung diam menunggu calon penumpang, dan calon penumpanglah yang aktif menghampirinya.

3. Bahasa Tubuh Agresif
Pada kategori penumpang terakhir ini, yaitu calon penumpang yang agresif. Calon penumpang dalam kategori ini merupakan sebagian kecil saja dari penumpang yang ada, karena biasanya calon penumpang seperti ini adalah calon penumpang yang baru menginjakkan kakinya di daerah Bandung. Dalam artian belum mengerti tentang rute jurusan angkot yang ada di Bandung, sehingga perlu menanyakan lagi kepada sopir angkot walaupun mungkin sudah membaca tulisan jurusan angkot yang tertera di kaca depan mobil angkot.
Cirinya ialah bahwa calon penumpang ini, selain menunjukkan bahasa tubuh seperti yang telah diuraikan diatas ke dalam kategori isyarat pasif dan aktif, ditambah lagi dengan ungkapan verbal dengan menanyakan kepada sopir angkot kemana arah rute angkotnya. Dan jika dirasa benar sesuai dengan arah yang dituju, maka penumpang dalam kategori ini akan naik ke dalam mobil angkot, tetapi ternyata salah jurusan maka penumpang tersebut akan membatalkan untuk naik angkot.
Calon penumpang yang masuk dalam kategori ini biasa ditemukan oleh pak Ab, dan disinilah diperlukan sopir angkot yang ramah dan jujur dalam memberikan informasi seputar angkutan umum di daerah Bandung, sehingga para penumpang yang tergolong seperti ini tidak tersesat nantinya.


IV. Simpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti, kemudian dalam pembahasan maka didapatkan bahwa bahasa isyarat dari para calon penumpang bagi para sopir sangatlah penting, dimana sangat menentukan keberhasilannya dalam membawa penumpang sebanyak-banyaknya ke terminal rute jurusan angkotnya.
Dalam memahami bahasa isyarat dari para calon penumpang ini, peneliti mengkategorikannya ke dalam tiga kelompok yaitu bahasa isyarat pasif, bahasa isyarat aktif dan bahasa isyarat agresif. Dari ketiga kategori ini dua yang pertama hanya berdasarkan komunikasi nonverbal dimana hanya menunjukkan isyarat seperti pandangan mata, posisi tubuh dan petunjuk tangan atau menunjukkan jari telunjuk. Sedangkan kategori yang ketiga, disertai dengan ungkapan bahasa verbal, yaitu dengan menanyakan lagi tentang keberan jurusan angkot yang dimaksudkan oleh calon penumpang yang akan melakukan perjalanan.


Daftar Pustaka
Effendy, Onong. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. California: Wadsworth Publishing Company.
Mulyana, Deddy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
[1] Dikutip dari Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif . Hal 105. Remaja Rosdakarya, Bandung 2003.
[2] Deddy Mulyana. Ibid. Hal 70.
[2] Deddy Mulyana, Ibid. Hal. 71
[4] Deddy Mulyana. Ibid. Hal 73.
[5] Deddy Mulyana. Ibid. Hal 73.
[6] Dikutip dari Littlejohn, Theories of Human Communication. Hal. 159-160. Wadsworth Publishing Company, USA 1996
[7] Dikutip dari Onong Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Hal 31-40. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 2003
[8] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Hal 87. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 2000
[9] Jalaluddin Rakhmat. Ibid. Hal. 290
NB: Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh program pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)
KOMUNIKASI ANTARPRIBADI
* I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si

Komunikasi merupakan konsep dan proses kesamaan makna diantara partisipan serta tindak lanjut atas kesamaan tersebut. Hal ini menggambarkan suatu proses pencapaian tujuan berkomunikasi.
1. Bagaimana peserta dapat sampai pada kesamaan makna?
Kesamaan makna antara peserta komunikasi dapat dicapai dengan memperhatikan terlebih dahulu berbagai aspek, diantaranya adalah; latar belakang budaya, status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, kesamaan pengalaman dalam interaksi sosial, disamping faktor kemampuan psikis seperti intelektualitas dan kemampuan beradaptasi. Ada kecenderungan kalau komunikasi terjadi pada orang-orang yang memiliki latar belakang seperti diatas yang sama maka kesamaan makna akan cepat terwujud. Terlebih lagi dalam komunikasi yang bersifat verbal karena pemahaman bahasa yang sama akan semakin membawa kita pada kesamaan makna yang terbentuk, daripada komunikasi yang terjadi pada orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita melakukan perjalanan ke luar negeri semisal ke India sedangkan kita tidak mengetahui bagaimana berbahasa India, maka ketika kita berkomunikasi dengan penduduk yang kita temui disana dengan menggunakan bahasa Indonesia dan merekapun menggunaka bahasa India, maka kesamaan makna tidak akan terjadi karena kita tidak memahami bahasa mereka dan merekapun tidak memahami bahasa kita. Terkecuali jika kita dan mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi, setidaknya walaupun dilakukan dengan dialek dan gaya berbeda, tetapi ada kemungkinan akan mendapatkan makna yang sama.
Proses kesamaan makna berawal dari adanya persepsi yang sama antara peserta komunikasi. Sedankan kita ketahui bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan situasional. Faktor personal yaitu faktor yang ada pada individu itu sendiri, baik yang berupa kemampuan panca indera dalam mennangkap objek, kemampuan syaraf dalam meneruskan simpul objek ke saraf pusat atau otak maupun kemampuan otak dalam hal ini daya pikir kita dalam menilai atau menafsirkan objek tersebut. Kemampuan ini praktis berjalan sesuai dengan pengalaman dan struktur organisme individu. Apakah objek dipersepsikan sebagai objek yang dikenal ataukan belum dikenal sama sekali. Makna yang terkandung dalam bahasa pada komunikasi tentunya adalah termasuk objek yang ditangkap oleh panca indera kita, yang kemudian akan di interpretasikan ke dalam bentuk sebuah makna yang mempunyai arti, dalam hal ini dikatakan sebagai pemaknaan linguistik. Pada setiap orang pemaknaan ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan pengalaman yang telah dipelajarinya dalam masa kehidupannya, sehingga akan sangat menentukan caranya beradaptasi dengan lingkungan sosial.
Dalam hal ini konsep yang saya kemukakan cenderung pada teori homofili yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat dimana fihak yang berinteraksi memiliki kesamaan dalam beberapa hal, seperti nilai-nilai kepercayaan, pendidikan, status social dan sebagainya.

2. Bagaimana peserta dapat sampai pada hasil akhir komunikasi?
Peserta akan sampai pada hasil akhir komunikasi apabila telah ada umpan balik, interaksi dan koherensi dalam komunikasi. Selanjutnya diperlukan adanya kesepakatan dalam bentuk pemahaman bersama terhadap apa yang telah dikomunikasikan dan apa yang akan menjadi tindak lanjut dari komunikasinya tersebut. Dalam hal ini adanya koherensi antara peserta komunikasi yang berarti adanya pemahaman alur komunikasi, pola berpikir dan juga adanya penyaluran perasaan dalam komunikasi. Antara peserta komunikasi terjadi saling keterpengaruhan dari masing-masing pihak, sehingga terjadi perubahan sikap yang akhirnya akan berpengaruh pada kebiasaan dan perilaku peserta yang telah melakukan komunikasi. Biasanya komunikasi akan berlanjut dengan sebuah tindakan yang konkret, baik yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak maupun oleh salah satu pihak. Hasil komunikasi merupakan sebuah komitmen bagi setiap orang terhadap apa yang menjasi topik komunikasinya. Walaupun terjadi pada orang yang baru berkenalan, dan komunikasi terjadi sangat singkat dan ringan. Tetapi dari komunikasi perkenalan tersebut akan memberi pengalaman baru dan akan membekas pada memori seseorang, terlebih lagi jika perkenalan yang terjadi adalah perkenalan yang sangat diinginkan terutama bagi anak muda yang berkenalan dengan seorang cewek cantik misalnya. Maka sekedar mengetahui nama dan nomor telepon yang diberikan secara singkat dalam perkenalan tersebut nantinya akan mengubah dunia mereka jika hubungan berlanjut lewat telepon dan seterusnya (dengan catatan jika masing-masing pihak merasa cocok satu sama lainnya).

3. Bagaimana peserta dapat mengatakan komunikasi efektif?
Komunikasi dapat dikatakan efektif antara peserta komunikasi jika terjadi akibat-akibat dari tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Kita berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, kita menciptakan dampak tertentu, merangsang munculnya gagasan-gagasan tertentu, menciptakan kesan-kesan tertentu sehingga menimbulkan reaksi-reaksi perasaan tertentu dalam diri orang lain. Keefektifan komunikasi antarpribadi sangat ditentukan oleh kemampuan peserta untuk mengkomunikasikan secara jelas apa yang ingin disampaikan, menciptakan kesan sesuai yang peserta inginkan atau dengan kata lain mempengaruhi orang lain sesuai dengan yang dikehendaki. Cara kita meningkatkan keefektifan dalam komunikasi antarpribadi adalah dengan cara berlatih mengungkapkan maksud dan keinginan kita, mau menerima umpan balik tentang tingkah laku kita, dan memodifikasi perilaku kita sehingga orang lain mampu mempersepsikannya sebagaimana makna yang kita maksudkan. Dalam artian, bahwa sampai akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perilaku peserta dalam peserta lainnya itu seperti yang dimaksudkan.
Sedangkan menurut Mc. Crosky, Larson, dan Knapp dalam bukunya ”An Introduction to Interpersonal Communication” mengatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengusahakan ketepatan (accuracy) yang paling tinggi derajatnya antara komunikator dan komunikan dalam setiap stuasi.
[1]
Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan antara peserta komunikasi terjadi pada situasi menyenangkan. Sebagai contoh, bila kita berkumpul dalam satu kelompok yang memiliki kesamaan dengan kita, maka kita akan merasakan suatu aura menyenangkan dengan rasa gembira, bisa diterima dan terbuka. Sedangkan jika kita berkumpul dengan orang-orang yang kita benci akan membuat kita tegang, resah dan tidak enak. Dan ada kecenderungan kita akan menutup diri dan menghindari komunikasi dan mungkin akan berusaha mengakhiri komunikasi kita.
[2]
Komunikasi secara normatif harus berjalan positif untuk disebut sebagai komunikasi yang berhasil. Selain menimbang feedback, komunikasi juga harus memperhitungkan kemungkinan noise. Santoso Sastropoetro menulis, komunikasi akan berjalan efektif jika tercipta suasana komunikasi yang menguntungkan, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan ditangkap, temanya menggugah perhatian dan minat karena memberi gambaran akan adanya manfaat bagi penerima pesan (Sastropoetro, dalam Berbagai Aspek Ilmu Komunikasi, Remaja Karya, 1989).
Keberhasilan komunikasi sendiri menurut Sastropoetro, dapat diukur dengan melihat jumlah peserta komunikasi yang berhasil dicapai suatu pesan (audience coverage), munculnya pendapat dari penerima pesan terhadap masalah yang disodorkan (audience responce), pesan yang membekas pada diri penerima pesan (communication impact).
Keberhasilan komunikasi juga dapat diukur dari efek komunikasi, yaitu: (1) Efek Individual; kognitif, afektif, konatif. (2) Efek Sosial; difusi informasi, opini publik, akulturasi, perubahan sosial dan ekonomi.
Komunikasi Verbal yang efektif setidaknya harus memenuhi beberapa hal berikut:
1. Jelas dan ringkas. Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.
2. Perbendaharaan Kata. Penggunaan kata-kata yang sederhana dan dimengerti lawan bicara adalah termasuk dalam komunikasi yang efektif. Dengan mempunyai pembendaharaan kata yang banyak, maka kemungkinan besar kita dapat menyesuaikan kata-kata yang seharusnya kita pergunakan dalam berhadapan dengan golongan tertentu. Seperti contoh, jika kita bekerja sebagai dokter, tentunya penggunaan bahasa yang sederhana yang bisa dimengerti oleh klien akan memudahkan pemahaman klien tentang maksud keterangan penyakit yang ingin kita informasikan.
3. Arti denotatif dan konotatif. Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata.
4. Selaan dan kesempatan berbicara. Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa kita sedang menyembunyikan sesuatu kepada orang lain.
5. Waktu dan relevansi. Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila seorang teman sedang membutuhkan pertolongan karena kecelakaan, tidak pada waktunya kita mengajaknya berbicara tentang bagaimana terjadi kecelakaanya, tetapi langsung ditolong dengan membawa ke rumah sakit misalnya.
6. Humor. Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan kita dalam memberikan dukungan emosional terhadap prang lain. Sullivan dan Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Tiga ranah/domain dalam sikap adalah kolektifitas total bagi terjadinya fenomena komunikasi internal maupun eksternal. Ranah afektif merupakan domain bagi produk perilaku (concious dan unconscious) verbal maupun nonverbal.
1. Bagaimana dominasi afektif dapat terjadi?
Komponen afektif menyangkut emosional subjektif seorang individu terhadap suatu objek perilaku. Yang secara umum aspek afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. Walaupun perasaan pribadi seringkali sangat berbeda wujudnya jika dikaitkan dengan perilaku. Dengan contoh, jika kita menganggap bahwa minum-minuman keras akan berdampak memungkinkan terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap orang lain, maka kita yang tidak suka dan ketakutan terhadap perbuatan tersebut akan menjauhi atau menghindari teman-teman yang suka minum-minuman keras. Ungkapan kita pada teman-teman yang suka minum minuman keras mungkin dalam bentuk jijik atau mencemoohnya. Dan takut-takut kalau kita bisa terpengaruh akan perilaku teman kita tersebut. Kecenderungan reaksi emosional kita terhadap suatu objek merupakan komponen afektif yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan dan keyakinan benar salah terhadap suatu objek atau perbuatan.
Kaitan antara afektif atau perasaan terhadap perilaku atau konatif adalah kaitan yang sangat erat. Dimana bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku seseorang. Maksudnya, bagaimana seseorang berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Ada kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini nantinya akan membentuk sikap seorang individu. Apabila seseorang tidak suka, percaya dan merasa bahwa minuman keras sangat merugikan tubuh karena mengandung zat bahaya bagi tubuh, maka orang tersebut cenderung tidak akan meminum minuman keras, terkecuali jika dijelaskan bahwa dengan meminum minuman keras hanya untuk menghangatkan badan pada musim dingin, mungkin orang tersebut akan mau meminumnya.
Pada tingkat yang lebih ekstrim dapat saja karena ketidaksukaan kita terhadap minuman keras, yang kita anggap merugikan dan berbahaya terhadap orang lain, sehingga kita cenderung merasa khawatir dan cemas kalau sekedar lewat atau mengetahui teman kita ada yang sering meminum minuman keras. Dan pada tahap selanjutnya bisa saja kita akan menjadi benci dan menolak keberadaan toko-toko atau orang yang menjual minuman keras, kerena dalam pikiran kita telah tertanam rasa tidak suka dan dampak negatif akibat minuman keras tersebut. Bentuk penolakan dan ketidaksukaan kita pada pedagang atau penjual minuman keras dapat berupa menggerebekan dan membakaran tempat berjualannya. Dan atau menjauhi serta memusihi teman kita yang suka minum minuman keras.

2. Bagaimana terjadinya produk dimaksud?
Produk dari dominasi afektif pada perilaku yaitu berupa sikap kita yang tidak suka, cemas dan merasa khawatir terhadap suatu objek tertentu sebagai sesuatu yang harus dihindari dan atau didekati jika kita merasa suka dan senang pada suatu objek tertentu. Komunikasi verbal yang terucap lebih cenderung pada kendali pikiran sadar kita, karena tentunya bahasa verbal akan kita kendalikan dengan penggunaan bahasa yang dapat dipahami orang lain. Ungkapan bahasa nonverbal biasanya akan menunjukkan aspek afektif kita, karena pada bahasa nonverbal terjadi dalam keadaan tanpa sadar. Menurut Johnson (19810 dalam bukunya A. Supratiknya, ”Komunikasi Antarpribadi”, menyatakan bahwa perilaku nonverbal memiliki beberapa ciri sebagai berikut; (1) merupakan kebiasaan sehingga bersifat otomatis dan jarang kita sadari, (2) berfungsi mengungkapkan perasaan-perasaan kita yang sebenarnya, kendati dengan kata-kata kita berusaha menyembunyikannya, (3) komunikasi nonverbal merupakan sarana utama untuk mengungkapkan emosi, (4) memiliki makna yang berlainan pada berbagai lingkungan budaya yang berebda, dan (5) memiliki makna yang berbeda dari orang ke orang atau pada orang yang sama namun berlainan tempat.
[3]
Jadi dalam pembahasan produk dimaksud bahwa perasaan, emosional atau aspek afektif kita cenderung mempengaruhi prilaku yang kita tunjukkan kepada orang lain dalam bentuk sikap. Yaitu apakah dalam bentuk rasa tidak suka, senang, khawatir, benci ataukah marah yang biasanya kita tunjukkan dalam bentuk komunikasi nonverbal selain sedikit dalam ungkapan bahasa verbal. Bahasa nonverbal hanya dapat dicermati dengan ketelitian karena sifatnya terselubung dari sikap individu. Dan biasanya terjadinya berlangsung tanpa disadari oleh peserta komunikasi, dan hanya dapat dirasakan oleh lawan komunikasi kita.

3. Bagaimana terjadinya fenomena conscious dan unconscious?
Dalam bukunya The Art of Re-engineering Your Mind for Success, Waidi (2006:40) menyatakan ada segitiga pikiran yang memperlihatkan bahwa IQ (Intelektual Quotient) sebagai pikiran sadar yaitu yang berada pada posisi puncak dari segitiga dan porsinya kurang lebih 12 persen. Sedangkan pikiran bawah sadar terdiri dari EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient) yang menempati 88 persen dari pikiran kita. Menurutnya terdapat file-file kecil di dalam pikiran sadar dan bawah sadar kita, yang terdiri dari file positif dan file negatif. Jadi semakin banyak file positif yang ada di pikiran sadar maupun bawah sadar kita maka semakin baik dan semakin positif konsep diri yang ada pada diri kita, begitupun sebaliknya ketika terdapat banyak file negatif makan konsep diri kita akan semakin negatif.
Di sisi lain fenomena conscius dan unconscius mengetengahkan bahwa adanya sikap yang dilakukan dengan sadar dan dengan tidak sadar oleh seorang individu. Sebagai contoh ketika kita berkomunikasi dengan orang lain secara verbal atau penggunaan bahasa oral, maka kita akan berusaha memikirkan terlebih dahulu apa yang akan kita bicarakan dan dengan demikian kita melakukannya dengan kesadaran. Kecenderungan perilaku sadar ini kita lakukan dalam menjaga nilai kualitas kita dalam berkomunikasi. Setiap bahasa yang kita pergunakan memiliki makna dan arti yang tentunya akan bermakna sama juga bagi orang lain (ada persamaan persepsi tentang makna). Sedangkan bahasa nonverbal yang kita tunjukkan baik dalam bentuk bahasa tubuh maupun yang mengiringi tatanan suara verbal kita cenderung keluar dari pikiran bawah sadar. Dengan contoh, adanya mimik muka kita yang memerah ketika kita salah mengeja nama orang yang kita ajak berbicara. Intonasi suara kita akan sedikit bergetar dan meninggi disaat kita berusaha menutupi sesuatu hal yang menurut kita akan membuat harga diri kita jatuh kalau dikatakan (berusaha berbohong). Ada kecenderungan pikiran bawah sadar yang mendominasi pada bahasa nonverbal kita, dan ini terjadi tanpa kita sadari karena akan nampak dari sudut pandang orang lain, sedangkan kita sendiri tidak akan merasakannya.

Sikap adalah dasar value dari tindakan komunikasi positif maupun negatif.
1. Apa yang dimaksud dengan sikap positf, ciri/varian serta indikatornya?
Sebagai salah satu kunci keberhasilan hidup adalah konsep diri positip. Konsep diri memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang, karena konsep diri dapat disamakan dengan suatu sistem operasi yang menjalankan suatu komponen, misalnya seperti komputer. Terlepas dari seberapa baiknya perangkat keras sebuah komputer dan program yang di-install pada komputer, apabila sistem operasinya tidak baik dan banyak kesalahan maka komputer tidak dapat bekerja dengan maksimal. Dan hal ini juga berlaku bagi manusia.
Konsep diri merupakan sistem operasi yang menjalankan mental, yang mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Konsep diri ini setelah tertanam akan masuk dalam pikiran bawah sadar dan mempunyai bobot pengaruh sebesar 88% terhadap level kesadaran seseorang pada suatu saat. Semakin baik konsep diri maka akan semakin mudah seseorang untuk berhasil. Dan begitu juga sebaliknya. Konsep diri yang positif akhirnya berwujud berupa sikap diri positif yang dapat terlihat oleh orang lain, sebagai lingkungan sosial kita dimana tempat kita bergaul dan berinteraksi. Sikap diri positif memenuhi beberapa hal penting, seperti; (1) adanya keyakinan akan kemampuan untuk mengatasi masalah; (2) merasa setara dengan orang lain; (3) menerima pujian tanpa rasa malu; (4) menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; (5) mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
[4]
Kita dapat melihat konsep diri seseorang dari sikap mereka. Sikap diri yang jelek akan mengakibatkan rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal-hal baru, tidak berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, takut sukses, merasa diri bodoh, rendah diri, merasa diri tidak berharga, merasa tidak layak untuk sukses, pesimis, dan masih banyak perilaku inferior lainnya.
Maka sebagai indikator dari sikap positif adalah dengan menunjukkan sikap yang selalu optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani sukses, berani gagal, percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, bersikap dan berpikir positip, dan dapat menjadi seorang pemimpin yang handal.

2. Bagaimana terjadinya sikap positif? Berikan contoh dalam konteks komunikasi penjualan personal!
Terjadinya sikap positif seperti yang telah dijelaskan pada poin 1 diatas, dimana berawal dari pikiran yang positif tentang diri sendiri dan orang lain. Selalu menanamkan konsep diri yang positif, apakah dengan mulai menyukai tubuh kita, penampilan, ataukah dengan cara kita berkomunikasi kepada orang lain. Karena sebagai penguat dalam pola pikir kita, dengan selalu memikirkan hal-hal yang positif tentang diri dikatakan juga dapat menjadi sebuah mantra sakti yang mampu memberi nilai positif terhadap sikap yang kita tunjukkan kepada orang lain.
Jika dikaitkan dengan konteks komunikasi interpersonal dalam penjualan, maka pengertian konteks hubungan antar pribadi adalah berupa transaksi dagang, dimana menurut Thibault dan Kelley menyatakan “Setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran biaya“, dia juga menyatakan dengan 4 (empat) konsep pokok, yaitu; (1) Ganjaran, dengan akibat nilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. (2) Biaya, sebagai akibat dari nilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. (3) Hasil atau Laba, dengan adanya ganjaran dikuranginya biaya. (4) Tingkat perbandingan, yaitu standar yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang.
Sehingga dalam pengertian ini, setiap individu akan selalu berusaha untuk melakukan sikap positif terhadap orang lain untuk mencapai keuntungan yang diinginkannya. Hubungan akan dipertahankan bila hubungan tersebut terjadi dalam suasana menguntungkan, dan setidaknya berlaku syarat saling menguntungkan kedua belah pihak. Lebih jauh lagi peranan motivasi dan kebutuhan sangat berpengaruh dalam menentukan hubungan ini, dimana setiap individu akan berusaha melakukan personal selling terhadap perilaku orang lain dengan maksud bahwa interaksinya akan membawa dampak positif bagi kualitas dan keberadaan dirinya. Seperti contoh, dalam melakukan kerjasama antar perusahaan dimana kita sebagai manajer perusahaan yang memiliki wewenang dalam menjaga jalinan kerjasama dengan perusahaan lain, maka kita akan berusaha untuk menunjukkan sikap positif yang berusaha menjaga agar hubungan perusahaan kita dengan perusahaan lain tersebut tetap aman dan berjalan lancar, serta menguntungkan. Sikap positif yang kita tunjukkan ini, disamping akan membawa dampak positif terhadap posisi kita di perusahaan tempat kita bekerja juga akan berdampak positif terhadap perusahaan kita. Sehingga pada akhirnya akan menambah keuntungan dalam karier, apakah dalam bentuk promosi jabatan yng lebih tinggi ataukan dalam bentuk insentif gaji.
Ini memberikan gambaran pada kita bahwa semakin besar keuntungan yang akan kita dapatkan, maka ada kecenderungan akan semakin besar pula hubungan tersebut akan kita lanjutkan. Begitu juga sebaliknya, jika kita merasa bahwa hubungan yang kita lakukan akan merugikan kita maka kita akan mulai mengevaluasi apakah kita akan bertahan ataukah memutuskan hubungan?.

[1] Dikutip dari Onong U.F. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Hal 64. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.
[2] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Hal 118. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya Bandung: 2000
[3] Dikutip dari A. Supratiknya. Komunikasi Antarpribadi. Hal 62-63. Penerbit Kanisius Yogyakarta: 1995
[4] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Hal 105. Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung: 2000
NB: Tulisan ini ditulis sewaktu menempuh program pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)