Minggu, 15 November 2009

Manajemen Komunikasi

MANAJEMEN KOMUNIKASI
*I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si

1. Mengapa “konstruksi makna” lebih penting dari hanya “pertukaran pesan” untuk menjelaskan Manajemen Komunikasi?
Jawaban: Konstruksi makna mengacu pada sejauh mana kita menangkap sebuah makna yang mengenai panca indera kita. Peran panca indera sangat penting dsini disamping pengalaman dan sistem persyarafan yang selalu mengolah informasi yang masuk ke dalam otak manusia. Pembentukan makna disini terjadi karena adanya objek kata atau bentuk tertentu dari lingkungan dimana kita berada.
Seperti dikatakan Michael Kaye dengan ungkapan “What we must realize is that the heart of communication is not in the surface but in the meanings or interpretations that we ascribe to the message” (Kaye, 1994:8). Dari sini dapat dijelaskan bahwa sebuah arti dalam bentuk permukaan sebuah pesan tidak akan berarti tanpa disertai dengan adanya penyampaian makna yang sebenarnya ada pada pesan tersebut. Dalam interaksi antar individu terjadi berbagai pertukaran makna, yang sebelumnya telah disepakati bersama. Misalnya adanya pernyataan bahwa yang seorang bercirikan tubuh ”tinggi” dan atau bertubuh ”pendek”. Sebelumnya antara mereka telah memiliki persamaan makna dalam pikiran mereka apa yang dinamakan ”tinggi” dan apa yang dinamakan ”pendek”. Sehingga walaupun cuma kata ”tinggi” maupun ”pendek” yang ada dalam komunikasi antara dua orang tersebut, tetapi dalam benak masing-masing telah saling memahami apa makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut.
Dalam menajemen komunikasi, ”konstruksi makna” ini lebih penting daripada hanya ”pertukaran pesan”, karena dalam manajemen komunikasi terjadi uraian komunikasi yang lebih mendetail, yang menyangkut baik penjelasan konseptual sampai rencana operasional, termasuk monitoring, evaluasi atau audit komunikasi. Jadi penyampaian pesan harus dapat dimaknai secara mendalam, sehingga dapat menanamkan pengertian yang konperensif pada benak penerima berbagai hal yang menyangkut isi pesan yang disampaikan tersebut.

2. Apa pendapat Anda tentang pernyataan bahwa Manajemen Komunikasi merupakan bidang kajian dalam Ilmu Komunikasi yang terlalu teoritis?
Jawaban: Manajemen komunikasi adalah bidang kajian dari ilmu komunikasi yang bersifat teoritis? Tentu tidak seratus persen benar, karena pada manajemen komunikasi memberikan kita pemahaman tentang terjadinya makna yang terkandung dalam setiap isi pesan yang disampaikan kepada orang lain dengan lebih mengutamakan terjadinya ”konstruksi makna”. Artinya bahwa, pesan yang disampaikan tidak hanya apa yang terlihat di permukaan, tetapi lebih daripada itu. Sehingga dalam penyampaiannya diperlukan uraian yang lebih mendetail sehingga penerima pesan memahami apa maksud dan tujuan yang ingin disampaikannya kepada penerima tersebut. Lebih jauh pada manajemen komunikasi lebih cenderung menekankan pada proses komunikasi yang terjadi. Karena menekankan pada proses komunikasi yang terjadi, bukan pada hasil akhir yang diinginkan. Maksudnya bahwa, dalam komunikasi yang terjadi ada semacam berbagai proses yang harus dilalui untuk kemudian sampai pada hasil komunikasi yang diinginkan. Lebih jauh Michael kaye menguraikan, “how people manage their communication processes through constructing meaning about their relationships with others in various settings (Kaye, 1994: xii)”. Jadi jelas, bahwa manajemen komunikasi adalah bagaimana seseorang mengelola proses komunikasinya melalui konstruksi makna yang terjadi dalam hubungannya dengan orang lain dengan berbagai situasi atau keadaan. Jadi, manajemen komunikasi memungkinkan seseorang melakukan proses komunikasi dengan caranya sendiri, dalam proses yang dikelolanya agar orang lain mendapatkan makna dari komunikasi yang terjadi secara lebih mendalam. Karena pada manajemen komunikasi harus dilalui dari proses perencanaan, tinjauan konseptual, implementasi, evaluasinya sampai dengan monitoring yang nantinya dilakukan.
3. Apa yang Anda ketahui tentang ”Self” seperti yang dijelaskan Michael Kaye?
Jawaban: ”Self” seperti yang dijelaskan oleh Michael Kaye, lebih menekankan pada kebaradaan ”self” sebagai agen perubahan. Maksudnya, bahwa ”self” dengan segala aspek yang dimilikinya baik itu, persepsinya, pengalamannya, ide atau pandapatnya, emosionalnya, nilai-nilai spriritualnya, keunikan pribadinya serta yang lainnya dalam interaksi komunikasi lebih tertuju pada adanya perubahan yang terjadi. Dalam bukunya Michael Kaye, mengetengahkan bahwa ”self” atau yang kalau kita persepsikan dalam bahasa Indonesia sebagai ”diri” sering diposisikan sebagai makna yang dengan sendirinya hadir dalam setiap interaksi, walau mungkin tanpa disertai dengan bahasa verbal. Sebagai contoh, jika pada suatu perkuliahan seseorang hadir di dalam kelas dengan memakai baju warna merah, tentunya kehadiran seseorang tersebut dalam kelas ikut memberikan suasana kelas yang semakin beragam dengan warna baju yang dikenakannya tersebut. Karena mungkin teman-teman yang lainnya juga menggunakan baju yang berbeda-beda, sehingga tampak berwarna-warni, dan ini terjadi karena kehadiran ”diri” tersebut. Coba kalau tidak ada yang menggunakan baju merah, mungkin keadaan kelas tidak akan kelihatan berwarna-warni. terlebih lagi jika disertai dengan bahasa non verbal, mungkin saja keadaan kelas menjadi kelas yang ramai dengan suara percakapan ataupun suara berbisik-bisik karena setiap ”diri” tadi berbicara tidak keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar