ANGKUTAN KOTA DI JALAN RAYA BANDUNG
(Analisis Pendekatan Interaksi Simbolik)
* I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si
I. Pendahuluan
Setiap hari kita hampir selalu melewati jalan raya, apakah untuk kepentingan pergi ke kampus, ke pusat perbelanjaan atau sekedar berkunjung ke tempat keluarga dan teman. Terkecuali bagi mereka yang mempunyai kendaraan sendiri dan menggunakan kendaraan orang lain mungkin tidak begitu menyadari akan sebuah permasalahan tentang bahasa simbolik calon penumpang yang akan naik kendaraan umum atau yang biasa disebut angkot (angkutan kota).
Bagi para sopir angkot mungkin ini adalah keterampilan tambahan selain kemampuan menyetir mobil, yang sangat mendukung kelancaran dan pendapatan mereka, karena dengan memahami bahasa tubuh calon penumpang ini, para sopir angkot akan semakin banyak mendapat penumpang yang berarti semakin banyak setorannya. Sopir angkot sepertinya telah terbiasa dengan bahasa tubuh calon penumpang, karena mau tidak mau dalam menjalankan profesinya mereka semestinya sudah paham betul bagaimana mengetahui penumpang yang mau naik angkot dan penumpang mana yang tidak mau naik ke angkotnya.
Mungkin adalah suatu kesalahan besar bagi sopir angkot bila mereka tidak paham betul bagaimana menerima tanda atau bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh calon penumpang sebagai penumpangnya. Ada berbagai gaya dan ciri khas bagi bahasa tubuh calon penumpang yang kalau dicermati lebih jauh akan didapatkan beberapa kategori yang sangat layak untuk dianalisis, sehingga akan memberikan pemahaman yang mendalam bagi kita semua tentang bagaimana interaksi ini terjadi antara para sopir angkot dan para calon penumpangnya.
Untuk mengetahui hal ini peneliti berusaha melakukan wawancara terhadap para sopir angkot dan pengamatan pada para calon penumpang yang mungkin akan naik angkot di jalur jalan Dago Bandung menuju terminal Kebon Kelapa. Penelitian ini dilakukan pada saat peneliti naik angkot dan seraya ikut mempraktekkan bahasa tubuh dan bagaimana respon sopir angkot dalam menanti para calon penumpang agar naik ke angkotnya. Dan ini tentunya yang sesuai dengan arah tujuan bagi para calon penumpang angkot.
II. Kajian Teori dan Pendekatan
Dalam menganalisis tentang tanda dan simbol bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal ini, tak akan pernah terlepas dari analisis interaksi simbolik yang pertama kali diperkenalkan oleh George Herbert Mead, yang kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya. Adalah interaksi simbolik dengan tokohnya George Herbert Mead, yang mengakui bahwa interaksi adalah suatu proses interpretif dua-arah.[1] Jika dianalisis dengan salah satu prinsip perspektif teori interaksi simbolik dari George Ritzer (dalam Mulyana, 2002) sangat relevan, bahwa orang mampu mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Interaksionisme simbolik mengandaikan suatu interaksi yang menggunakan bahasa, isyarat, dan berbagai simbol lain. Melalui simbol-simbol itu pula manusia bisa mendefenisikan, meredefenisikan, menginterpretasikan, menganalisis, dan memperlakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya.
Simbol adalah lingkungan sosial yang diterjemahkan oleh individu yang ada di dalamnya, termasuk dalam memberi makna dan menterjemahkannya ke dalam arti dan makna yang disepakati bersama. Bahasa tubuh seseorang adalah sebuah tanda yang memberikan banyak arti makna dalam artian sejauh mana seseorang dapat menterjemahkan bahasa tubuh tersebut sehingga mendapatkan maksud yang diinginkan untuk memenuhi tujuan individu tersebut.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka.[2]
Dalam pandangan interaksi simbolik, seperti ditegaskan oleh Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Hal ini berlaku bagi komunitas pengguna angkutan umum, yang terbiasa dengan interaksi simboliknya dalam perjalanan naik angkot. Dengan penggunaan simbol ini, setidaknya setiap orang menjadi terbiasa dengan sikap yang ditunjukkan untuk mendapat perhatian para sopir angkot untuk menghampirinya sehingga tujuan naik angkotpun terpenuhi.
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Ketertarikan mereka pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan oleh penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Dalam pandangan interaksi simbolik, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari intepretasi mereka atas dunia di sekililing mereka.
Adapun ringkasnya, interaksionisme simbolik dapat didasarkan pada premis-premis berikut[3]:
1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Jadi, individulah yang dianggap aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri
2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menanami segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak. Melalui penggunaan simbol itulah manusai dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia. Jadi makna bersifat subjektif dan sangat cair.
3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Peruaban interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Oleh George Ritzer, meringkas teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip,[4] yaitu manusia tidak seperti hewan lainnya karena manusia dibekali kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi sosial, dan dalam interaksi sosialnya manusia mulai belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia. Setiap orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Manusia mampu melakukan modiffikasi dan perubahan ini karena, antara lain; kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif dan kemudian memilih salah satunya. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.
Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), karena isyarat vokallah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Tetapi isyarat verbal saja tidak cukup menggambarkan sebuah makna dalam diri manusia, karena komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan di dengar, tetapi juga proses nonverbal. Proses nonverbal disini seperti isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, temporalitas dan paralinguistik.[5] Jadi komunikasi nonverbal mempunyai peran yang cukup besar dalam pembentukan makna dalam lingkungan sosial, terlebih lagi menentukan makna dengan tujuan yang terselubung dari perilaku individu.
Interaksi simbolik mengandung pokok-pokok tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer[6], mengatakan ada tujuh dasar dan proposisi dalam interaksi simbolik, yaitu:
1. Manusia memahami sesuatu dengan menandai makna pada pengalaman mereka
2. Pemaknaan adalah belajar dari proses interaksi antara manusia
3. Semua struktur dan institusi sosial dihasilkan oleh interaksi manusia dengan yang lainnya
4. Perilaku individu tidak ditentukan dengan kejadian-kejadian yang telah terjadi, melainkan dengan keralaan
5. Pikiran terdiri dari ucapan yang tersembunyi, merefleksi interaksi satu sama lain
6. Perilaku diciptakan atau dihasilkan dari interaksi kelompok sosial
7. Seseorang tidak dapat memahami pengalaman manusia dengan mengamati perilaku yang tersembunyi.
Pada hakekatnya komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia, yang dinyatakan dalam pikiran atau perasaan dengan menggunakan bahasa (verbal) atau isyarat (nonverbal) sebagai alat perwujudannya. Berdasarkan pemahaman hakekat komunikasi tersebut, Effendy[7] mengkategorikan proses komunikasi menajdi dua kategori, yaitu; pertama, proses komunikasi dalam perspektif psikologis. Dalam perspektif ini, proses komunikasi terjadi pada diri peserta komunikasi (komunikator dan komunikan); kedua, proses komunikasi dalam perspektif mekanistis. Dalam perspektif ini, proses komunikasi terjadi ketika peserta komunikasi melemparkan pesan dengan bibir kalau lisan, tangan jika tulisan, sampai pesan ditangkap oleh peserta lainnya. Selanjutnya proses perspektif mekanistik ini dapat dikelompokkan lagi menjadi beberapa, yaitu proses komunikasi secara primer, proses komunikasi secara sekunder, proses komunikasi secara linier, dan proses komunikasi secara sirkuler.
Dalam proses komunikasi antara sopir dengan calon penumpang dapat dikategorikan ke dalam proses komunikasi secara primer yaitu menekankan pada penggunaan bahasa verbal dan nonverbal. Secara verbal dapat saja seorang calon penumpang memanggil atau berteriak dengan memanggil sopir angkot yang sedang melintas di jalan raya, seraya berharap mendekat kepadanya. Sedangkan secara nonverbal, seorang calon penumpang menggunakan bahasa tubuhnya untuk menarik perhatian sopir angkot agar menghampirinya dan memberikan kesempatan naik ke angkotnya.
Bahasa nonverbal atau kita lebih spesifikan lagi menjadi pesan kinesik atau pesan yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: pesan fasial, pesan gestural dan pesan postural. Diantara berbagai petunjuk nonverbal, petunjuk fasial adalah yang paling penting dalam mengenali perasaan persona stimuli. Ahli komunikasi nonverbal, Dale G. Leathers (1976:21),[8] menulis:
”Wajah sudah lama menjadi sumber informasi dalam komunikasi interpersonal. Inilah alat yang sangat penting dalam menyampaikan makna. Dalam beberapa detik ungkapan wajah dapat menggerakkan kita ke puncak keputusasaan. Kita menelaah wajah rekan dan sahabat kita untuk perubahan-perubahan halus dan nuansa makna dan mereka. Pada gilirannya menelaah kita.”
Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway[9], pesan gestural kita gunakan untuk mengungkapkan: (1) mendorong atau membatasi, (2) menyesuaikan atau mempertentangkan, (3) responsif atau tak responsif, (4) perasaan positif atau negatif, (5) memperhatikan atau tidak memperhatikan, (6) melancarkan atau tidak tidak reseptif, (7) menyetujui atau menolak.
Calon penumpang yang bertujuan naik angkot ke tujuan tertentu yang setidaknya sudah berdiri di pinggir jalan, tentunya akan menunjukkan komunikasi nonverbal yang kurang lebih sama, secara umum. Dan bahasa tubuh yang dipergunakan merupakan bentuk komunikasi yang sudah menjadi komunikasi nonverbal yang dipahami oleh sopir angkot.
Setelah uraian beberapa kajian teori diatas maka pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan interaksi simbolik, dimana bahwa penelitian dilakukan dengan wawancara terhadap sopir angkot sebagai salah satu komponen penerima terjadinya komunikasi nonverbal dalam penelitian ini. Dimana bahwa sopir angkot sebagai subjek kunci penelitian, karena sopir angkot yang paling memahami penggunaan bahasa nonverbal calon penumpang di jalan raya. Dan sopir angkot dianggap yang kompeten dengan pemahaman yang mendalam tentang komunikasi nonverbal penumpang, dimana sangat mempengaruhi kesuksesannya dalam menambah pendapatan sebagai penyedia jasa angkutan. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap para calon penumpang yang sedang berada di pinggir jalan raya, yang sedang menunggu angkot untuk mengantarnya ke tempat tujuan.
Pengamatan dilakukan di sepanjang jalan Juanda atau yang lebih dikenal dengan jalan Dago sampai terminal Kebun Kelapa. Karena menurut peneliti di jalan tersebut cukup representatif sebagai lokasi penelitian ini. Dimana dapat dibedakan dengan jelas para calon penumpang yang akan naik angkot, karena ruas jalannya cukup lebar dan trotoarnya juga kelihatan. Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu mulai awal bulan Mei 2006 sampai dengan petengahan bulan Juni 2006.
III. Analisis dan Pembahasan
III.1 Hasil Wawancara Dengan Sopir Angkot
Wawancara yang telah dilakukan terhadap tiga sopir yang ditemui peneliti masing-masing menyatakan pemahaman mereka pada komunikasi nonverbal calon penumpang adalah sebagai berikut.
a. Sopir Angkot A
Wawancara pertama dilakukan dengan sopir angkot dengan inisial Pak U berumur 46 tahun yang berasal dari tanah B, dimana wawancara berlangsung tidak begitu banyak karena orangnya agak susah untuk diajak bicara. Dengan logatnya yang khas Pak U hanya menjawab sekedarnya dari pertanyaan peneliti. Dalam wawancara, salah satu pernyataan Pak U dalam menanggapi pertanyaan peneliti, yaitu ”Bagaimana cara pak U mengetahui kalau penumpang itu mau naik angkot pak U ataukah tidak?” dan pak U menyatakan; kalo mau nyari calon penumpang lihat saja matanya, karena dari pandangan matanya dapat dipastikan dia (calon penumpang, red) akan naik ke angkot kita atau tidak. Dan biasanya bila ada orang di pinggir jalan yang melihat ke angkot kita, artinya dia mau naik angkot kita. Tapi kadang juga susah ngeliatnya, apalagi di waktu malam he he..! atau kalau tidak kita perhatikan saja mukanya menghadap kemana, karena kalau mukanya menghadap ke angkot kita ya.. berarti dia mau naik angkot”.
Ungkapan seperti itu memang dapat kita lihat langsung, karena setiap orang yang berdiri di pinggir jalan, dengan pandangan mata melihat ke arah angkot dan setelah dihampiri dia memang naik ke angkot yang dipandangnya. Pernyataan pak U memang secara logika dapat kita pahami, yaitu bahwa setiap individu yang mengharapkan sesuatu dari objek yang berada di sekitarnya, tentunya individu tersebut terlebih dahulu akan menunjukkan sikap ketertarikan dengan memandangnya, untuk kemudian melakukan aktifitasnya selanjutnya, yaitu apakah ingin memilikinya atau mengharapkan respon timbal balik.
Pak U juga menjawab, dalam pertanyaan penliti, yaitu ”apakah selain melihat pandangan mata dan muka calon penumpang, pak U dapat membedakan calon penumpang yang mana saja yang akan naik angkot pak U?”. dan jawaban pak U adalah ”kalau kita tak bisa melihat pandangannya, biasanya kita perhatikan badannya, apakah badannya berjalan ke arah kita atau hanya diam saja berdiri, nah kalo sudah begitu, kita bisa tahu dia mau naik angkot kita atau tidak”.
Sikap tubuh memang lebih mungkin untuk dilihat, karena wujudnya lebih besar dan sangat mudah diamati, sehingga pak U menyatakan sikap tubuh calon penumpang merupakan salah satu isyarat apakah calon penumpang akan naik angkot ataukah tidak.
b. Sopir Angkot B
Sopir angkot yang kedua, yaitu dengan inisial Pak A berumur 51 tahun, dia merupakan orang asli Sunda dan telah hampir 15 tahun melakukan pekerjaan menjadi sopir angkot. Sebelumnya dia juga pernah menjadi sopir bus jurusan Bandung – Jakarta selama 5 tahun, tetapi karena merasa sudah tua dan resiko pekerjaannya lebih berat, maka pak A memutuskan untuk menjadi sopir angkot kota saja katanya.
Menanggapi pertanyaan peneliti, ketika ditanya bagaimana caranya mengetahui bahwa ada calon penumpang yang mau naik ke angkotnya ataukah tidak, pak A menjawab dengan santai (pak A memang enak ketika diajak gobrol, red), ”kenapa menanyakan hal-hal sepele seperti itu”, katanya. Walaupun akhirnya dia memberi jawaban yang diinginkan peneliti, yaitu ”caranya gampang aja mah, perhatikan saja gerak tubuhnya, lihat dia bergerak mendekati angkot saya atau tidak, dan kalau dia bergerak mendekati angkot saya mah, berarti dia mau naik angkot saya, begitu pak”.
Menurut pak A juga, terkadang ada calon penumpang yang sudah mendekati angkotnya tapi batal naik angkotnya, karena salah melihat jurusan yang tertulis di kaca depan mobil angkotnya. Ini sering dia alami, karena memang tulisan jurusan angkotnya cukup kecil kalau diperhatikan dengan seksama dari jauh. Dia menyadari hal ini, tapi belum ada niat untuk mengganti dengan tulisan yang lebih besar.
Selain itu, menurut pak A, biasanya dia tahu kalau ada penumpang yang mau naik angkotnya atau tidak adalah dengan gerak tangan calon penumpang yang berdiri di pinggir jalan, yaitu apakah gerak tangannya menunjuk ke arahnya (mobil angkotnya) atau tidak, dan kalau ada petunjuk itu, hampir bisa dipastikan bahwa orang yang berdiri dipinggir jalan tersebut pasti mau naik angkotnya.
Menurut pak A juga, selama puluhan tahun dia melakukan pekerjaan sebagai sopir, dia merasa sudah paham betul akan bahasa tubuh tersebut, dan dia merasa seakan-akan sudah menjadi instink secara tetap dalam dirinya. Sehingga pak A merasa cara menangkap isyarat tubuh calon penumpang tersebut mengalir begitu saja, dan tanpa disadarinya lagi.
c. Sopir Angkot C
Wawancara yang ketiga adalah pada sopir yang berinisial pak Ab dan berumur 49 tahun. Pak Ab merupakan orang asli Jawa Tengah, tepatnya dari daerah Cilacap. Pak Ab sudah menjalani profesinya sebagai sopir angkot selama hampir 16 tahun, dan sebelumnya pak Ab pernah bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil di daerah Bandung Selatan, tetapi karena merasa bosan dengan pekerjaan pabrik maka dia memutuskan untuk berhenti waktu itu, dan mencoba keberuntungan dengan menjadi sopir angkot.
Menurut pak Ab, ketika ditanya bagaimana caranya mengetahui calon penumpang yang akan naik angkotnya atau tidak, pak Ab menjawab dengan logat yang terasa masih bercampur dengan logat Jawa Cilacap-nya, yaitu dengan mengatakan ”walah pak, lah kok pengin tau koyok ngono, yo caranya gampang wae, diperhatikan saja dari cara berdirinya, nah itu lihat (seraya menunjuk seseorang yang berjalan dari pinggir jalan), seperti contohnya, pak lihat saja, dia melihat ke kita kan, dan lihat kalau dia mulai melangkah kesini.... nah betul kan dia naik angkot ini (wawancara dilakukan ketika angkot pak Ab sedang menunggu penumpang di daerah Simpang Dago, dan pak Ab sekaligus menunjuk ke arah calon penumpang yang datang menghambirinya, red).
Pak Ab termasuk orang yang cukup interaktif dalam wawancara, karena sering langsung menunjuk ke arah calon penumpang yang akan naik angkotnya. Dan dari pertanyaan peneliti, pak Ab tidak begitu menganggapnya serius, seakan-akan pekerjaannya begitu santai untuk dijalani. Menurutnya lagi, kalau dia sudah tidak perlu terlalu memperhatikan calon penumpang yang mau naik ke angkotnya, ada calon yang menghampiri angkotnya bersyukur dan sewaktu jalanpun, kalau ada yang memberikan isyarat tangan atau berjalan mendekati angkotnya berarti dia anggap sudah mau naik angkotnya. Dan walaupun orang tersebut bukan naik angkotnya tetapi angkot yang disebelahnya.
Pak Ab menyatakan sering juga dirinya mendapat penumpang yang belum paham betul daerah Bandung, yang dapat diketahuinya karena para penumpang tersebut sering menanyakan kepadanya, kemana arah jurusan angkot yang dikemudikannya. Sehingga pak Ab merasa harus ramah kepada para penumpang tersebut, dan menjelaskan angkot yang benar kepada para penumpang tersebut. Pak Ab mengatakan kasian jika para penumpang tersebut sampai tersesat di Bandung.
III.2 Hasil Pengamatan Terhadap Para Calon Penumpang
Pengamatan dilakukan terhadap penumpang yang sedang berdiri dipinggir jalan, yaitu dengan gerak tubuh dan bahasa tubuhnya, seperti dengan cara menunjukkan tangan menUg ke arah angkot ataupun dengan langsung berjalan ke arah angkot yang akan dinaikinya. Para calon penumpang memberikan isyarat yang beragam, seperti misalnya ada calon penumpang yang hanya berdiri saja di pinggir jalan sambil menunjuk ke arah angkot, sampai angkot mendekatinya dan dia baru naik ke dalam angkot.
Pada beberapa orang yang diteliti, terdapat isyarat bahasa tubuh yang khas, yaitu seraya berdiri menghadap ke arah angkot yang berjalan pelan dan memandangnya sampai angkot mendekatinya. Isyarat ini adalah isyarat yang paling umum terlihat, karena secara keseluruhan menunjukkan keinginan untuk naik angkot. Beberapa orang yang dilihat oleh peneliti, ada yang hanya menunjuk ke arah angkot tetapi sambil berbicara dengan teman sebelahnya, karena mungkin teman di sebelahnya hanya mengantar sampai naik angkot, jadi sebagai isyarat saja dengan menunjuk angkot agar angkot berhenti sembari mengucapkan salam perpisahan kepada temannya.
Selain itu, ada beberapa calon penumpang yang diamati oleh peneliti, yang masih membaca petunjuk jurusan yang tercantum di depan kaca mobil angkot, sebelum akhirnya naik angkot yang dituju tersebut. Hal ini mungkin terjadi pada calon penumpang yang belum tahu jurusan mobil angkot, dalam artian mungkin bagi calon penumpang yang belum pernah kemana-mana, dan masih mempelajari arah jurusan angkot yang akan mengantarnya ke tempat tujuan. Ataupun bagi calon penumpang yang baru datang dari daerah luar Bandung, sehingga perlu mempelajari arah jurusan angkot yang ada di Bandung. Biasanya calon penumpang seperti ini, sebelum naik angkot yang akan membawanya menuju ke suatu tempat, berusaha bertanya terlebih dahulu kepada sopir angkot. Calon penumang baru ini biasanya akan menanyakan terlebih dahulu apakah angkot tersebut akan menuju jurusan yang diinginkan oleh calon penumpang tersebut ataukah tidak. Sopir angkotpun dengan bijak akan memberitahukan jurusan angkotnya kepada calon penumpang tersebut. Dan bila tidak sesuai dengan jurusan yang diinginkan oleh penumpang tersebut, si sopirpun biasanya akan memberitahukan angkot yang mana saja yang menuju ke arah yang dimaksud.
III.3 Pembahasan
Dari hasil wawancara dan pengamatan diatas maka peneliti secara umum atau garis besarnya, dapat menggolongkan bahasa isyarat calon penumpang di jalan raya Bandung ke dalam tiga bahasa isyarat umum, yaitu:
1. Bahasa Tubuh Pasif
Pada kategori ini didapatkan bahwa bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh para calon penumpang dengan posisi yang cenderung diam, hanya berdiri saja di pinggir jalan. Posisi tubuh calon penumpang hanya diam dan menghadap ke arah angkot yang lewat di depannya, seraya menunggu angkot yang dimaksud dan kemudian kalau sesuai dengan angkot yang diinginkan maka calon penumpang tersebut akan melangkah naik ke dalam mobil angkot.
Bahasa tubuh yang ditunjukkan calon penumpang dalam kategori ini, cenderung pasif dan hanya menunjukkan sikap diam dan menunggu, karena biasanya calon penumpang dalam kategori ini, berada cukup dekat dengan jalan raya atau di atas trotoar dan sangat mudah dihampiri oleh angkot.
Calon penumpang yang tergolong dalam kategori ini biasanya menunjukkan dengan pandangan mata yang tertuju pada angkot yang lewat. Seperti apa yang dikatakan oleh pak U, dimana cara mengetahui calon penumpang yang mau naik angkotnya atau tidak, yaitu dengan melihat pandangan matanya, apakah melihat kearah angkotnya atau tidak dan walaupun bahasa tubuhnya hanya diam saja, tapi kalau dihampiri maka calon penumpang tersebut akan naik ke angkotnya.
2. Bahasa Tubuh Aktif
Kategori kedua ini yaitu calon penumpang dengan menunjukkan bahasa tubuh secara aktif. Dalam posisi dipinggir jalan akan sangat tampak calon penumpang seperti ini, karena biasanya akan bergerak melangkah langsung menuju ke arah angkot yang sedang menunggu penumpang.
Di tambah lagi dengan pandangan yang tertuju ke arah mobil angkot yang berada di jalan raya atau mobil angkot yang sedang ngetem (menunggu penumpang, red), calon penumpang ini tanpa basa-basi akan langsung masuk ke dalam mobil angkot. Penumpang seperti ini biasanya adalah penumpang angkot yang sudah terbiasa menggunakan sarana angkutan dalam bepergiannya, dan juga biasanya sudah mengerti betul kemana jurusan angkot yang akan dituju.
Bahasa tubuh lainnya yang ditunjukkan oleh penumpang dalam kategori ini, seperti ketika sambil berjalan menghampiri mobil angkot yang dimaksudkannya, seraya menunjuk ke arah mobil angkot dengan tangan atau jari telunjukknya. Penumpang seperti ini biasanya sering ditemukan di terminal-terminal, karena mobil cenderung diam menunggu calon penumpang, dan calon penumpanglah yang aktif menghampirinya.
3. Bahasa Tubuh Agresif
Pada kategori penumpang terakhir ini, yaitu calon penumpang yang agresif. Calon penumpang dalam kategori ini merupakan sebagian kecil saja dari penumpang yang ada, karena biasanya calon penumpang seperti ini adalah calon penumpang yang baru menginjakkan kakinya di daerah Bandung. Dalam artian belum mengerti tentang rute jurusan angkot yang ada di Bandung, sehingga perlu menanyakan lagi kepada sopir angkot walaupun mungkin sudah membaca tulisan jurusan angkot yang tertera di kaca depan mobil angkot.
Cirinya ialah bahwa calon penumpang ini, selain menunjukkan bahasa tubuh seperti yang telah diuraikan diatas ke dalam kategori isyarat pasif dan aktif, ditambah lagi dengan ungkapan verbal dengan menanyakan kepada sopir angkot kemana arah rute angkotnya. Dan jika dirasa benar sesuai dengan arah yang dituju, maka penumpang dalam kategori ini akan naik ke dalam mobil angkot, tetapi ternyata salah jurusan maka penumpang tersebut akan membatalkan untuk naik angkot.
Calon penumpang yang masuk dalam kategori ini biasa ditemukan oleh pak Ab, dan disinilah diperlukan sopir angkot yang ramah dan jujur dalam memberikan informasi seputar angkutan umum di daerah Bandung, sehingga para penumpang yang tergolong seperti ini tidak tersesat nantinya.
IV. Simpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti, kemudian dalam pembahasan maka didapatkan bahwa bahasa isyarat dari para calon penumpang bagi para sopir sangatlah penting, dimana sangat menentukan keberhasilannya dalam membawa penumpang sebanyak-banyaknya ke terminal rute jurusan angkotnya.
Dalam memahami bahasa isyarat dari para calon penumpang ini, peneliti mengkategorikannya ke dalam tiga kelompok yaitu bahasa isyarat pasif, bahasa isyarat aktif dan bahasa isyarat agresif. Dari ketiga kategori ini dua yang pertama hanya berdasarkan komunikasi nonverbal dimana hanya menunjukkan isyarat seperti pandangan mata, posisi tubuh dan petunjuk tangan atau menunjukkan jari telunjuk. Sedangkan kategori yang ketiga, disertai dengan ungkapan bahasa verbal, yaitu dengan menanyakan lagi tentang keberan jurusan angkot yang dimaksudkan oleh calon penumpang yang akan melakukan perjalanan.
Daftar Pustaka
Effendy, Onong. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. California: Wadsworth Publishing Company.
Mulyana, Deddy. 2003. Metode Penelitian Kualitatif . Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
[1] Dikutip dari Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif . Hal 105. Remaja Rosdakarya, Bandung 2003.
[2] Deddy Mulyana. Ibid. Hal 70.
[2] Deddy Mulyana, Ibid. Hal. 71
[4] Deddy Mulyana. Ibid. Hal 73.
[5] Deddy Mulyana. Ibid. Hal 73.
[6] Dikutip dari Littlejohn, Theories of Human Communication. Hal. 159-160. Wadsworth Publishing Company, USA 1996
[7] Dikutip dari Onong Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Hal 31-40. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 2003
[8] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi. Hal 87. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 2000
[9] Jalaluddin Rakhmat. Ibid. Hal. 290
NB: Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh program pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar