Kamis, 12 November 2009

Perkembangan Filsafat Menjadi Beberapa Ilmu
*I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si


BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI
Ditinjau secara historis dapat dikemukakan bahwa ilmu yang tertua adalah ilmu Filsafat. Ilmu-ilmu yang lain tergabung dalam filsafat, dan filsafat merupakan satu-satunya ilmu pada waktu itu. Oleh karena itu, ilmu-ilmu yang tergabung dalam filsafat akan dipengaruhi oleh sifat-sifat dari filsafat, demikian pula halnya dengan psikologi. Lama-kelamaan, disadari bahwa filsafat sebagai satu-satunya ilmu kurang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Disadari bahwa hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan tidak cukup lagi hanya diterangkan dengan filsafat.

Pada saat psikologi masih tergabung dengan filsafat, dasar pemikirannya sejalan dengan pemikiran perkembangan ilmu pengetahuan di jaman sebelum Renaissance, yaitu jaman Yunani Kuno dan zaman pertengahan. Lama-kelamaan, disadari bahwa filsafat sebagai satu-satunya ilmu kurang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Sejak awal pertumbuhan hingga pertengahan abad ke-19, psikologi lebih banyak dikembangkan oleh para pemikir dan ahli filsafat, yang kurang melandasi pengamatannya pada fakta kongkrit. Mereka lebih mempercayai pemikiran filsafat dan pertimbangan-pertimbangan abstrak serta spekulatif. Teori-teori yang mereka ciptakan lebih banyak didasarkan pada pengalaman pribadi dan pengertian sepintas lalu. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa psikologi pada waktu itu kurang dapat dipercaya kebenarannya.

Dalam perkembangan psikologi selanjutnya, dirasakan perlunya penggunaan metode lain, untuk menjamin obyektifitasnya sebagai ilmu, yaitu menggunakan metode “empiris”. Metode empiris menyandarkan diri pada: pengalaman, pengamatan, dan eksperimen/percobaan (empiris, empiria, yang berarti pengalaman dan pengamatan) (Ahmadi, 1998:52), dimana hal ini sejalan dengan penemuan ilmu pengetahuan modern yang sudah mulai dirintis pada zaman Renaissance. Zaman Renaissance (14-17M) menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern yang menunjukkan beberapa hal, seperti: pengamatan (abservasi), penyingkiran segala hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, idealisasi, penyusunan teori secara spekulatif atas peristiwa tersebut, peramalan, pengukuran, dan percobaan (eksperimen) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik (Mustansyir, 2001: 133).

Hal tersebut adalah jasa dari Wilhelm Wundt yang mendirikan laboratorium psikologi yang pertama-tama pada tahun 1879 untuk menyelidiki peristiwa-peristiwa kejiwaan secara eksperimental. Dengan perkembangan ini, maka berubahlah psikologi yang tadinya bersifat filosofik menjadi psikologi yang bersifat empiric (Amadi, 1998:6). Dalam hal ini, sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari filsafat, namun psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat, bahkan ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri dari filsafatpun tetap masih ada hubungan dengan filsafat, khususnya filsafat ilmu, terutama mengenai hal-hal yang menyangkut sifat, hakikat, serta tujuan dari ilmu pengetahuan itu, (Ahmadi, 1998:28-29).

Oleh karena itu, pada pembahasan mengenai sejarah psikologi ini, akan dibagi ke dalam tiga fase perkembangan psikologi, yaitu: psikologi sebagai bagian dari filsafat (psikologi klasik), psikologi mulai berdiri sebagai ilmu pengetahuan yang mandiri, dan psikologi di abad 20 (psikologi modern). Uraian masing-masing fase adalah sebagai berikut.

A. Psikologi Sebagai Bagian dari Filsafat (Psikologi Klasik, 500 SM–1800 M)
Pada zaman dahulu, psikologi dipengaruhi oleh cara-cara berpikir filsafat. Hal ini terjadi karena para ahli psikologi pada masa itu adalah juga ahli-ahli filsafat, atau para ahli filsafat pada waktu itu juga ahli psikologi (tentang kejiwaan). Memang seseorang yang dikatakan filusuf pada zaman Yunani kuno, adalah orang yang memiliki keahlian berpikir dalam segala macam ilmu. Pada periode ini tidak ada spesialisasi dalam lapangan keilmuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua ilmu tergolong dalam apa yang disebut filsafat itu. Para ahli filsafat ada yang mengatakan bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Pengaruh filsafat terhadap psikologi klasik berlangsung sejak zaman Yunani Kuno sampai zaman pertengahan (dari 400 SM sampai dengan 1800 M). Pada zaman Yunani kuno terkenal dua orang tokoh filusuf yaitu Plato dan Aristoteles, dimana keduanya banyak mengungkapkan tentang hidup kejiwaan manusia dan alam ini. Kedua tokoh tersebut tidak sama alirannya, Plato terkenal dengan aliran berpikirnya yang disebut “idealisme” sedangkan Aristoteles terkenal dengan aliran “realisme” nya. Akan tetapi mengenai kejiwaan, mereka tidak terlalu jauh berbeda pendapatnya.

1. Psikologi Plato (427 -347 SM)
Plato (427-347 SM) adalah seorang penganut idealisme. Plato menyatakan bahwa, dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri-sendiri dan terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Jiwa yang berisi ide-ide ini oleh Plato diberi nama “Psyche". Psyche, menurut Plato terdiri dari tiga bagian, yang disebut trichotomi, yaitu:
1. Berpikir atau pikiran, berpusat di otak dan disebut logisticon;
2. Kemauan atau kehendak, berpusat di dada dan disebul thumeticon; dan
3. Keinginan atau nafsu, berpusat di perut dan disebut abdomen.
Pembagian psyche ke dalam tiga bagian menurut Plato akan berhubungan dengan pembagaian kelas dalam struktur masyarakat. Struktur masyarakat tersebut yaitu:
1) Kaum filusuf, yang mempunyai fungsi berpikir dalam masyarakat;
2) Kaum prajurit, yang mempunyai fungsi berperang untuk memenuhi dorongan-dorongan dan kehendak masyarakat terhadap bangsa lain; dan
3) Kaum pekerja (buruh), yang fungsinya bekerja untuk memenuhi keinginan-keinginan masyarakat akan makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya, guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bagi Plato dari ketiga bagian psyche itu, fungsi berpikirlah yang terpenting. Keadaan jiwa seseorang dan arah perkembangan jiwa orang itu dipengaruhi terutama sekali oleh fungsi berpikir pada orang yang bersangkutan. Dalam masyarakatpun para filusuflah yang paling menentukan keadaan dan arah perkembangan suatu masyarakat. Karena pendapatnya itu, Plato sering disebut orang rasionalisme, yaitu paham yang mementingkan rasio (akal) di atas fungsi-fungsi kejiwaan yang lain.

2. Psikologi Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles adalah murid Plato yang kemudian terkenal dengan pikiran-pikirannya sendiri yang berbeda dari gurunya. Apabila Plato seorang rasionalis yang percaya bahwa segala sesuatu bermula dari rasio dan dari ide-ide yang dihasilkannya, bagi Aristoteles berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan ("form") harus menempati suatu wujud tertentu ("matter"). Wujud ini pada hakekatnya merupakan pernyataan atau ekspresi dari jiwa. Hanya Tuhanlah satu-satunya hal yang tanpa wujud. Tuhan adalah “Form" saja tanpa "matter".

Form menurut Aristoteles dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Plant, yang mengontrol fungsi-fungsi vegetatif; 2) animal, yang dapat dillhat dalam fungsi-fungsi seperti berkhayal, mengingat, berharap, persepsi, dan sebagainya; dan 3) rasional, yang memungkinkan manusia melakukan penalaran (reasoning) dan membentuk konsep-konsep. Dalam pengertian lain, Aristoteles membagi tingkatan-tingkatan jiwa manusia itu ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1) Anima vegetativa, jiwa tumbuh-tumbuhan yang fungsinya hanya sebatas makan dan berkembang biak;
2) Anima sensitiva, jiwa hewani yang fungsinya dapat mengindera dan menggunkan nafsunya untuk bergerak dan berbuat;
3) Anima intelektiva, jiwa manusia yang berpikir dan berkehendak.
Dengan pandangannya ini Aristoteles sering disebut sebagai penganut paham empirisme. Menurut Plato segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu dari "matter" itu. Matter yang dapat diketahui melalui pengamatan atau pengalaman empiris merupakan sumber utama dari pengetahuan. Pandangan-pandangan dan teori Aristoteles tentang psikologi dapat ditemui dalam bukunya yang terkenal De Anima.

3. Psikologi Agustinus (354 – 430 M)
Agustine atau Santo Agustinus, memperkenalkan beberapa konsep yang penting dalam psikologi. Manusia pada dasarnya bersumber pada alam. Dalam diri manusia sudah ada dua dorongan yang diberikan alam, yaitu dorongan jahat dan dorongan baik. Dorongan jahat harus ditekan atau dilawan, tapi dorongan baik harus dirangsang agar tumbuh terus untuk mencapai kesempurnaan kepribadian. Manusia harus dibersihkan dari dosa dan kesalahan. Untuk itu maka perasaan takut harus ditimbulkan dalam diri orang agar orang itu tidak melakukan perbuatan dosa. Augustine mengatakan, bahwa cara untuk menumbuhkan rasa takut dalam diri manusia itu bermacam-macam, tidak sama pada setiap orang, karena pada hakekatnya tidak ada dua orang yang persis sama. Dengan pendapatnya ini, maka Augustine tergolong orang yang pertama-tama mengamati adanya perbedaan individual (individual difference). Metode yang dipakai untuk mengetahui dosa-dosa dalam diri seseorang, adalah orang yang bersangkutan harus menjelajahi alam kesadarannya sendiri. Alam kesadaran (Conciousness) bagi Augustine adalah satu kenyataan yang tak terbantah kebenarannya. Caranya, orang yang bersangkutan menjelajahi atau mengeksplorasi kesadaran sendiri dengan metode introspeksi.

Dengan menyuruh kliennya mengintrospeksi dirinya sendiri, Augustine melihat bahwa dalam jiwa terdapat bagian-bagian atau fakultas (faculties). Fakultas-fakultas itu antara lain ingatan, imajinasi, indera, kemauan, akal dan sebagainya. Dengan teorinya ini, Augustine sering pula disebut tokoh Psikologi Fakultas (Faculty Psychology). Pada beberapa ratus tahun kemudian pandangan psikologi fakultas ini dikembangkan oleh F.J. Gall (1758-1828), yang mengatakan bahwa fakultas-fakultas yang terdapat dalam jiwa manusia itu tercermin pada tengkorak manusia. Gall mengatakan, kalau kita hendak mengetahui jiwa seseorang, maka kita cukup hanya meraba tengkorak kepalanya saja dan mencari bagian-bagian yang menonjol dari tengkorak itu. Karena tiap fakultas kejiwaan menurut teori ini, dicerminkan pada salah satu bagian tertentu di tengkorak kepala itu. Maka dengan mengetahui bagian-bagian tengkorak yang menonjol tadi, maka kita akan mengetahui pula fakultas-fakultas kejiwaannya. Teori dari F.J. Gall ini terkenal dengan nama Phrenologi.

4. Psikologi pada Masa Renaissance dan abad ke-18
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, masa renaissance adalah suatu masa yang cerah, karena pada saat itulah mulai berkembangnya ilmu-ilmu pengetahuan dengan pesat, termasuk psikologi. Ilmu pengetahuan dirasakan sebagai suatu cara yang obyektif di dalam memahami dan memecahkan masalah-masalah ilmiah. Misalnya penemuan Copernicus (1543), tentang peredaran matahari, Kepler yang menggunakan metode matematis induktif dalam penelitian jagat raya, dan Sir Isaac Newton yang melanjutkan usaha-usaha Kepler sehingga menemukan hukum-hukum gravitasi. Selain itu dalam lapangan medis ditemukan melalui percobaan-percobaan Harvey (1628) tentang peredaran darah, Leewenhock dari Belanda menemukan mikroskop yang telah membuka lapangan baru dalam bidang biologi.

Situasi jaman renaissance tersebut, besar pengaruhnya terhadap perkembangan psikologi waktu itu. Misalnya Francis Bacon (1521 - 1626), mengembangkan metode induktif dalam ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke 17 ini, banyak dipengaruhi oleh metode empiris yang mengutamakan observasi. Hal tersebut membawa pengaruh pula terhadap paikologi, terutama dalam mengadakan observasi langsung. Descartes (1596-1650) ilmuwan asal Perancis membedakan prilaku antara manusia dan hewan. Menurut Descartes, prilaku hewan berdasarkan pada prinsip mekanistis. Sedangkan pada manusia, di samping secara kualitatif bersifat mekanistis, manusia juga mempunyai kemampuan untuk bebas memilih. Manusia mampu berinisiatif, sedangkan hewan tidak. Tindakan manusia menurut Descartes dibagi menjadi dua bagian: 1) Alam mekanik dan 2) Alam rasio. Jiwa manusia terdiri dari dua bagian pula yaitu: ras cognitas dan res extensa. Descartes menganggap bahwa jiwa itu sebagai satu kesatuan di luar keteraturan ruang dan dapat diperluas. Hubungan antar badan dan jiwa dimungkinkan karena adanya kelenjar pineal (pineal gland).

Sumbangan Descartes terhadap psikologi adalah analisa mengenai emosi yang terdiri dari 6 elemen, yaitu: Keheranan/kekaguman, cinta, benci, keinginan, kesenangan, dan kesedihan (wonder, love, hate, desire, joy, and sadness).
Leibniz (1646–1726) di Jerman menggunakan metode-metode ilmu pangetahuan alam ke dalam psikologi. Ia mencari jawaban tentang relasi antara badan dan jiwa. Kegiatan badan terjadi karena hukum-hukumnya; pekerjaan jiwa tidak membawa reaksi terhadap badan. Jiwa dan badan dapat bekerja sama karena telah dibuat secara harmonis.
Thomas Hobes (1588-1679) sebagai seorang empiris dari Inggris yang mengembangkan teori mekanistis dalam Psikologi. Hobes membedakan antara pengalaman asli dengan hasil pengalaman. Elemen jiwa manusia adalah mencari kebahagiaan dan menghindari rasa sakit, dalam mencari kebahagiaan tersebut individu berjuang survival for the fittes dengan melalui kontak sosial. Menurut Hobes, bahwa semua kesan-kesan hasil kontak sosial itu selanjutnya akan saling berasosiasi.

John Locke (1632-1704) merupakan seorang yang membawa empirisme ke dalam psikologi. la terkenal dengan teori "tabularasa" yang menganggap bahwa anak lahir dalam keadaan kosong (bersih). Menurut John Locke “idea” datang melalui pengalaman yang mempunyai dua sumber, yaitu sensation (pendirian.) yang bersifat sekunder dan reflection (pengamatan) yang bersifat primer.

Perkembangan psikologi pada abad ke-17 atau awal abad ke-18, lebih dikenal sebagai abad rasionalisme dan dalam psikologi berkembang aliran psikologi assosiasi, aliran psikologi elementer, dan aliran psikologi fisiologi.

Psikologi assosiasi berusaha mempelajari jiwa dengan metode analitis-syntetis, seperti yang digunakan dalam ilmu alam, karena pasikologi tersebut mempunyai anggapan bahwa jiwa itu terdiri dari elemen-elemen (unsur-unsur) atau kumpulan unsur-unsur atau tanggapan-tanggapan yang berproses menurut hukum-hukum yang pasti, yaitu hukum-hukum sebab akibat dan hukum assosiasi. Jiwa dipandang sebagai mesin yang berjalan secara mekanis menurut hukum-hukum tertentu; jadi jiwa menurut paham ini dipandang pasif, yang aktif adalah hukum-hukum yang menggerakannya. Aliran psikologi ini, mengutamakan tanggapan-tanggapan, ingatan-ingatan serta penginderaan.

Dengan metode analitis, psikologi aliran ini berusaha menganalisis gejala-gejala psikologis dan elemen-elemen yang pokok berupa tanggapan-tanggapan dan dengan metode sintetis, psikologi ini menyusun tanggapan-tanggapan tersebut secara assosiatif menjadi suatu gejala psikologis yang bersenyawa. Dan inilah salah satu contoh dari pada psikologi yang terpengaruh secara tak langsung oleh fisika (ilmu alam) sejak abad ke-17. Tokoh-tokoh dari psikologi assosiasi ini antara lain: John Stuart Mill, John Locke, David Hume, Hartley dan lain-lain.
Psikologi Elementer dari Herbart yang berpendapat bahwa jiwa itu terbentuk oleh karena.adanya respons (tanggapan-tanggapan). Teori Herbart ini dikenal dengan nama teori tanggapan (voorstelings theorie). Dengan menggunakan metode sintetis-analitis, ia mengemukakan pendapat bahwa jiwa terdiri dari dua lapisan yaitu: jiwa yang disadari dan jiwa yang tidak disadari, di antara keduanya terdapat ambang kesadaran. Tidak semua tanggapan itu disadari, karena di antara tenggapan-tanggapan yang masuk terdapat pertentangan yang saling tolak menolak. Atas dasar teori Herbart itu maka semua fungsi kejiwaan manusia dipandang sebagai akibat dari proses mekanis, misalnya; berfikir, merasakan, dan menghendaki timbul karena adanya assosiasi antara tanggapan-tanggapan yang masuk ke dalam jiwa kita menurut hukum-hukum assosiasi.. Hukum asosiasi yang dimaksud Herbart adalah sama waktu, berturut-turut, serupa, berlawanan, dan logis (sebab-akibat).

Psikologi Fisiologi, psikologi ini juga terpengaruh oleh ilmu alam, oleh karena itu, baik pendapat-pendapatnya maupun metodenya mirip dengan apa yang terdapat dalam ilmu alam (fisika). Adapun tokohnya antara lain: Johannes Muller (Jerman) yang berhasil mendapakan hukum kekuatan khusus dari pada indera (specifike energie der zinen), yang antara lain menyatakan bahwa masing-masing tanggapan itu menyebabkan timbulnya kekuatan atau reaksi yang khusus terhadap jenis tanggapan yang diterima melalui pancaindera tersebut. Teori yang lain dikemukan oleh Weber-Fechner. Teori ini beranggapan bahawa: "Antara suatu rangsangan dan tamnbahan intensitasnya terdapat suatu perbandingan yang tetap, sehingga kita dapat membedakannya". Ungkapan itu dapat dirumuskan dengan S = k log R di mana S berarti sensation, k adalah konstant dan R yang berasal dari kata "Reiz" berarti stimulus. Jadi menurut hukum tersebut, kalau kita menerima suatu rangsangan dan rangsangan itu bertarnhah kuat dalam ukuran tertentu, maka penginderaan kita juga akan bertambah kuat secara seimbang.

Sampai abad ke 19 psikologi meginduk pada filsafat dan cabang-cabang kajian dari ilmu alam lain. Baru pada akhir abad ke 19 yaitu pada tahun 1879 Wilhelm Mundt melepaskan psikologi dari ilmu alam dan filsafat menjadi ilmu yang berdiri sendiri.

B. Psikologi Sebagai Ilmu Pengetahuan yang Berdiri Sendiri
Akhir abad ke 19 merupakan titik permulaan dari pada psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri (otonom), yaitu sejak Wilhem Wundt (Jerman, tahun 1832-1920) melepaskan psikologi dari filsafat serta ilmu pengetahuan alam.
Wundt salah seorang pelopor usaha tersebut dengan mendirikan “laboratorium psikologi" yang pertama kali, yaitu pada tahun 1875, kemudian laboratorium tersebut disyahkan dan diakui oleh Universitas-Leipziq pada tahun 1886. Sejak pengesahan tersebut berarti psikologi menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Wundt sebagai tokoh psikologi eksperimental, berpendapat bahwa gejala jiwa tidak dapat diterangkan semata-mata hanya berdasarkan proses alam sebagaimana yang diterangkan dalam psikologi fisiologi. Wundt menganggap bahwa jiwa adalah sebagai suatu kebulatan (totalitas) yang dapat diuraikan sampai unsur-unsurnya yang terkecil hanya secara teoritis saja.

Menurut Wundt, gejala jiwa terdiri dari dua unsur, yaitu pengamatan dan perasaan tunggal. Wundt berpendapat bahwa kegiatan berpikir manusia merupakan proses kejiwaan yang tidak terjadi secara mekanis, melainkan dipengaruhi oleh perhatiannya yang disengaja yang menentukan jalannya assosiasi. Berpikir bukan proses assosiasi, tetapi proses appersepsi yang terjadi secara teleologis (bertujuan) sebagaimana halnya dengan kehendak sebagai proses appersepsi juga. Metode yang ia gunakan untuk menyelidiki jiwa bukan yang bersifat spekulatif, atau subyektif semata-mata, akan tetapi bersifat empiris, yaitu melalui eksperimen-eksperimen serta metode analitis sintetis seperti dalam ilmu alam.

Hal yang merupakan ambisi Wundt saat itu ialah memperkembangkan psikologi sedemikian rupa sehingga mempunyai identitas sendiri. Dengan adanya tujuan ini, maka dia mengambil langkah dengan meninggalkan Universitas Heidelberg dan menerima jabatan sebagai Ketua Bagian Filsafat di Universitas Leipzig, Jerman. Empat tahun kemudian, tahun 1879, Wundt mendirikan laboratorium psikologi eksperimen yang pertama di dunia, dan merupakan satu kehormatan yang luar biasa bagi psikologi, sehingga psikologi dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.

Wundt sangat yakin bahwa tugas utama seorang psikolog adalah meneliti serta mempelajari proses dasar manusia, yaitu berupa pengalaman langsung, kombinasikombinasinya, dan hubungan-hubungannya. Bagaimana psikolog dapat mempelajari proses dasar kesadaran ini? Wundt dan pengikut-pengikutnya telah mengembangkan satu metode yang dinamakan introspeksi analitik (analytic introspection), yaitu suatu bentuk formal dari observasi yang dilakukan diri sendiri.

Titchener (1892), seorang murid Wundt, yang diserahi tanggung jawab terhadap laboratorium psikologi yang masih baru di Universitas Cornell, Amerika Serikat, terus menyebarluaskan pandangan Wundt dan kemudian menjadi pemimpin satu gerakan yang disebut Strukturalisme. William James (1842-1910) adalah salah satu psikolog Amerika yang cukup terkenal. Ia mengajarkan filsafat dan psikologi di Universitas Harvard selama 35 tahun. Dia sangat menentang strukturalis, karena menurutnya aliran ini sangat dangkal, tidak murni dan kurang dapat dipercaya kebenarannya. Kesadaran menurut James bersifat unik dan sangat pribadi, terus-menerus berubah, muncul setiap saat, dan selektif sekali ketika harus memilih dari sekian banyak rangsang yang mengenai seseorang. Yang paling menonjol dan utama ialah, bahwa kesadaran ini mampu membuat manusia menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.

John Watson (1878-1958) menamatkan pendidikannya dalam bidang psikologi hewan, di Universitas Chicago, di bawah asuhan seorang professor dari aliran fungsionalis. Watson tidak puas terhadap strukturalisme dan fungsionalisme dengan keluhan-keluhan sebagai berikut : bahwa fakta mengenai kesadaran tidak mungkin dapat dites dan direproduksi kembali oleh para pengamat, sekalipun sudah sangat terlatih.

Sejak psikologi berdiri sendiri yang menggunakan metode-metodenya sendiri dalam pembuktian-pernbuktian dan dalam penyelidikannya, maka timbullah berbagai macam, aliran psikologi yang bercorak khusus. Ciri-ciri khusus sebelum abad ke 18 antara lain adalah: (1) bersifat elementer, berdasarkan hukum-hukum sebab-akibat; (2) Bersifat mekanis; (3) Bersifat sensualistis intelektualistis (mementingkan pengetahuan dan pikir); (4) Mementingkan kuantitas, (5) Hanya mencari hukum-hukum; (6) Gejala-gejala jiwa dipisahkan dari subyeknya; (7) Jiwa dipandang pasif; (8) Terlepas dari materi-materi.

Adapun ciri psikologi pada akhir abad ke 19 dengan metodenya sendiri yaitu: sebagai berikut: (1) Bersifat totalitas; (2) Bersifat teleologis (bertujuan); (3) Vitalistis biologis (Jiwa dipandang aktif dan bergerak dalam hidup manusia); (4) Melakukan pendalaman dan penyelaman terhadap jiwa (verstehend); (5) Berdasarkan nilai-nilai; (6) Gejala-gejala jiwa dihubungkan dengan subyeknya; (7) Memandang jiwa aktif dinamis; (8) Mementinkan fungsi jiwa; (9) Mementingkan mutu/kualitas; (10) Lebih mementingkan perasaan.

Dengan otonominya sebagai ilmu pengetahuan itu maka sejak tahun 1900, timbullah aliran-aliran baru yang bersifat khusus, seperti: Ilmu Jiwa Dalam (Diepte Psychology), Psikologi Kognitif, Psikologi Individual, Behaviorisme , Psikologi Gestalt, Psikologi Kepribadian dan lain-lain.

C. Psikologi Pada Abad Ke-20
Psikologi dalam abad ke 20 mengalami perkembangan yang menuju ke arah pengkhususan dalam studi, dengan pengkhususan tersebut ditujukan sebagai pendalaman terhadap bidang-bidang penyelidikan dan juga untuk penyesuaian dalam penerapannya bagi kehidupan manusia. Mulal permulaan abad ke-20 ini psikologi mempunyai lebih banyak aliran-alirannya dengan spesialisasi bidang penelitian masing-masing serta penerapannya. Contohnya adalah aliran Psikoanalitis, Behaviorisme, dan Humanisme.

Psikoanalitis (Psycho-analysis), yaitu aliran yang berusaha menyelidiki tentang kejiwaan yang berada di bawah sadar manusia. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain: Breuer, seorang Austria yang tinggal di kota Wina, ia seorang dokter ahli penyakit syaraf (Psikiater). Mula-mula ia tertarik kepada pengobatan penyakit jiwa yang disebut hysterie. Dia terkenal sebagai pencipta metode psikoanalisa untuk pengobatan penyakit jiwa manusia. Tokoh yang lainnya adalah Sigmund Freud, seorang ahli penyakit syaraf yang tinggal di Wina (1856 – 1039). Ia sangat tertarik kepada psikoanalisa-nya Breuer, sampai kemudian ia mengembangkannya sendiri. Sasaran utama penyembuhan penyakit jiwa menurut Freud adalah terletak pada lapisan jiwa yang tidak disadari. Jiwa menurut Freud didorong oleh suatu keadaan yang tidak disadari pada manusia tersebut yang disebut libido sexuality. Selanjutnya Freud membagi dorongan jiwa libido tersebut menjadi tiga bentuk, yaitu: id, ego, dan superego.

Selain Psikonalisis, aliran yang sangat populer pada waktu itu (abad ke 20) di Amerika Serikat, ialah behaviorisme, yang menitik beratkan pandangannya bahwa manusia ataupun hewan dapat dipelajari dari segi tingkah laku lahiriyahnya. Usaha penyelidikannya banyak dilakukan melalui eksperimen-eksperimen laboratorium. Tokohnya antara lain: William James, Watson, Skiner, Guthrie, Dewey dan lain-lain. Aliran ini sebenamya berpangkal pada pandangan filsafat pragmatisme, yaitu faham bahwa segala sesuatu dilihat dari sudut kemanfaatannya di masyarakat. Faham ini menjadi way of life bangsa Amerika Serikat sampai saat ini. Di Rusia, Pavlov telah mengembangan teori psycho-reflexio. Pavlov memandang bahwa kemampuan refleks manusia dapat dipengaruhi sedemikian rupa sehingga bisa menggerakkan perbuatan-perbuatannya, misalnya dengan cara memberi rangsangan atau menimbulkan refleks bersyarat. Teori Pavlov ini didasarkan pada percobaannya pada seekor anjing yang menjulurkan lidah dan mengeluarkan air liurnya ketika diberikan makanan.

Behaviorisme, sebutan bagi aliran yang dianut Watson, turut berperan dalam pengembangan bentuk psikologi selama awal pertengahan abad ini, dan cabang perkembangannya yaitu psikologi stimulus-response (rangsangan-tanggapan) masih tetap berpengaruh. Hal ini terutama karena hasil jerih payah seorang ahli psikologi dari Harvard, B.F.Skinner. Psikologi Stimulus-Response (S-R) mempelajari rangsangan yang menimbulkan respon dalam bentuk perilaku, mempelajari ganjaran dan hukuman yang mempertahankan adanya respon itu, dan mempelajari perubahan perilaku yang ditimbulkan karena adanya perubahan pola ganjaran dan hukuman (Skinner, 1981. dalam Hilgard, 1987:8-9).

Telaah aksiologi terhadap aliran behaviorisme yang menempatkan factor belajar sebagai konsep yang penting akan dapat didekati dengan teori moral imperatif dari Immanuel Kant. Immanuel Kant mengemukakan bahwa manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif. Pada satu sisi, dengan moral imperatif, manusia masing-masing bertindak baik, bukan karena ada paksaan, melainkan karena sadar bahwa tindakan tidak baik orang lain adalah mungkin merugikan kita dimana disini terlihat pentingnya aspek belajar dalam kehidupan manusia. Pada sisi lain, dengan moral imperatif tersebut, semua orang menjadi saling mengakui otonominya. Dilihat dari sisi rekayasawan, teori moral ini lebih mengaksentuasikan pada kewajiban dan otonomi serta tanggung jawab rekayasawan.

Sementara Behaviorisme berkembang pesat di Amerika Serikat, maka di negara Jerman muncul aliran yang dinamakan Psikologi Gestalt (arti kata Gestalt, dalam bahasa Jerman, ialah bentuk, pola, atau struktur). Para psikolog Gestalt yakin bahwa pengalaman seseorang mempunyai kualitas kesatuan dan struktur. Aliran Gestalt ini muncul juga karena ketidakpuasan terhadap aliran strukturalis, khususnya karena strukturalis mengabaikan arti pengalaman seseorang yang kompleks, bahkan dijadikan elemen yang disederhanakan.

Aliran psikologi Gestalt mempunyai banyak tokoh terkemuka, antara lain Wolfgang Kohler, Kurt Koffka, dan Max Wertheimer. Aliran psikologi Gestalt ini nampaknya merupakan aliran yang cukup kuat dan padu. Falsafah yang dikemukakannya sangat mempengaruhi bentuk psikologi di Jerman, yang kelak juga akan terasa pengaruhnya pada psikologi di Amerika Serikat (terutama dalam penelitian mengenai persepsi). Hal itu nampak dari kedua aliran psikologi modern yang sejaman, yaitu aliran Humanisme dan aliran Kognitif (Davidoff, 1988: 16-19).

Kedua aliran di atas (psikoanalisis dan behaviorisme) telah mengundang reaksi yang bergam dari ahli-ahli psikologi lain. Pandangan yang berbeda dengan dua aliran itu membuat aliran baru dalam psikologi yang terknbal dengan nama aliran humanisme. Suatu aliran yang memandang manusia sebagai manusia yang unik dan berbeda dengan hewan. Psikolog yang berorientasi humanistic mempunyai satu tujuan, mereka inin memanusiakan psikologi. Mereka ingin membuat pskologi sebagai studi tentang “apa makna hidup sebagai seorang manusia”. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan keyakinan yang beragam. Salah satu tokohnyanya adalah Alfred Adler. Ia berusaha menyelidiki hidup kejiwaan manusia dari segi pribadi perorangan dan menurut sumber pokok hidup kejiwaannya. Ia membantah pandangan Freud tentang libido Sexualtys. Aliran ini berpandangan bahwa pengertian pokok psikologi adalah pengertian tentang individualitas, sedangkan individualitas adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur kejiwaan yang satu sama lain berhubungan sebagai suatu kebulatan di mana unsur kejiwaan yang bulat itu menjadi sumber dari segala tingkah laku dan watak manusia. Menurut pendapat Adler, hidup kejiwaan itu tidak statis tetapi dinamis yang berpusat pada satu taealos (tujuan). Segala aktivitas kejiwaan, seperti berpikir, berkemauan dan berbuat, itu bukanlah merupakan akibat pengaruh faktor-faktor psikologis dari masa silam, akan tetapi oleh karena adanya taealos tersebut. Tokol humanisme lainnya adalah Carl Gustav Jung, seorang ahli penyakit jiwa Jerman di Zurich pada tahun 1923. Ia mengembangkan teori dalam bukunya “Psychologische Typen."

BAB II
SEJARAH KOMUNIKASI MENJADI ILMU
(Dari Fenomena Menjadi Ilmu)

A. Yunani
Berakar pada ajaran tentang retorika Istilah retorika (rhetorike dalam bahasa Yunani, rhetorika dalam bahasa Latin) dikenalkan pertama kali oleh Georgias pada tahun 427 SM. Akan tetapi prinsip-prinsip retorika atau pidato telah dikaji sebelum Georgias. Uraian sistematis pidato (retorika) yang pertama telah dikaji oleh orang Syrecuse di Pulau Sicilia, sebuah pulau koloni Yunani. Adalah Corax sekitar tahun 465 SM telah menyusun beberapa makalah pidato yang ditujukan sebagai pembelaan bagi orang-orang Syrecuse untuk mendapatkan kembali tanahnya yang sempat hilang akibat direbut penjajah. Makalah-makalah Corax itu diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Corax telah meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam berpidato. Supaya bicara kita diperhatikan orang lain, Corax membagi pidato menjadi lima tahapan, yaitu: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan.

Empedocles (490-430 SM) Karya tulisnya berupa The Nature of Things berisi hasil pemikirannya tentang alam dan manusia. Dialah yang telah mengajarkan prinsip-prinsip retorika yang kelak dibawa dan diperkenalkan oleh Georgias. Kemudian pada tahun 427 SM, Georgias dalam retorikanya adalah penekanan pada dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara yang impromtu. Kemahiran berbicara menurut Protagoras ditujukan bukan untuk kemenangan melainkan untuk keindahan bahasa. Georgias dan Protagoras berkeliling negeri untuk mengajarkan dan mendirikan sekolah-sekolah retorika. Protagoras bersama murid-muridnya telah memproklamirkan diri sebagai kaum sophistai (atau sophis, guru kebijaksanaan).

Demosthenes yang hidup pada tahun 384-322 SM berhasil mengembangkan retorika dengan gaya yang tidak berbunga-bunga, namun jelas dan keras. Konsep pidatonya berhasil menggabungkan antara narasi dan argumentasi. Pada masa-masa itu, kaum sophis menjadi populer dan banyak dibicarakan. Namun tidak sedikit pula yang menyimpan kekecewaaan dan kritik terhadap kaum sophis. Menurut mereka, kaum sophis hanya menjual kepandaian retorika untuk kepentingan materi (uang). Socrates mengkritik kaum sophis itu dengan menuduh bahwa retorika bagi kaum sophis hanya untuk mencari kemenangan bukan kebenaran. Maka, Socrates mengembangkan teknis-teknik retorika untuk kebenaran dengan teknik-teknik dialog. Bersama dengan Plato, murid Socrates, mereka mengembangan teknik retorika dengan adanya pengorganisasian pesan dan gaya. Dalam karya Plato yang berjudul Dialog, Plato menganjurkan bagi para orator untuk mengenal jiwa pendengarnya. Plato lah yang mulai meletakan prinsip dasar retorika dari sekedar teknik menjadi retorika ilmiah.

Pandangan-pandangan Plato diteruskan oleh muridnya yang cerdas yang bernama Aristoteles. Aristoteles melanjutkan kajian-kajian ilmiah retorika yang ia peroleh dari Plato. Bagi Aristoteles, retorika adalah seni persuasi, suatu uraian yang harus singkat, jelas, dan meyakinkan dengan keindahan bahasa yang disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah (instructive), mendorong (suggestive), dan mempertahankan (defensive). Bukunya yang terkenal dengan judul De Arte Rhetorika memberikan lima tahapan penting bagi orator untuk menyusun pidatonya, yaitu: inventio (penemuan), disposotio (penyususnan), elucotio (gaya), memoria (memori), pronuntiatio (penyampaian). Selain itu, Aristoteles juga menyebutkan tiga faktor yang dapat mempengaruhi orator dalam meyakinkan pendengarnya, yaitu: ethos (kepercayaan), pathos (emosi), dan logos (pikiran). Kajian ilmiah retorika Aristoteles bersifat sistematis dan komprehensif. Retorika ala Aristoteles banyak dipelajari oleh bangsawan dan negarawan Yunani. Pengaruhnya juga sampai di Romawi dan berkembang di sana.

Perkembangan retorika di Yunani berlangsung melalui tradisi komunikasi publik yang dikenal dengan perkembangan debat. Pelopornya adalah Protagoras (481–411 SM), pada masa itu orang yang tidak pandai berbicara terpaksa menyewa orang lain untuk berbicara atas namanya di pengadilan, lembaga legislatif dan acara ceremonial. Yang kemudian periode ini dikenal sebagai masa perubahan sosial dan politik secara radikal di Yunani yang berkembang dari tatanan sosial tradisional, militeristik menjadi demokrasi yang belum matang, pada periode ini komunikasi publik tidak begitu dihargai, orang–orang Yunani tidak pernah merancang komunikasi publik secara integratif ke dalam tatanan politik mereka, alhasil bangsa Athena tidak cukup demokratis.

Kaum Sofis (the sophists) Memiliki pendekatan yang sangat pragmatis dalam komunikasi publik yaitu: 1) pengajaran keterampilan untuk menyampaikan pesan daripada mengajarkan bagaimana mengevaluasi isi pesan secara kritis, 2) tidak begitu memperhatikan kemungkinan pelecehan terhadap keterampilan tersebut dan 3) agak mengabaikan pengajaran tentang etik. Barulah keuntungan reputasi dengan tanpa mengindahkan moral dan berkomunikasi di depan publik untuk kepentingan diri sendiri. Harper (1979-24) melukiskan pendekatan kaum Sofis: “Retorika pada fase awal periode klasik, pada intinya dipandang sebagai ketrampilan teknis. Ia mengandung seperangkat resep untuk mengantarkan ungkapan publik dalam pengadilan, lembaga legislatif dan forum publik lainnya. Ia mengandung pengaturan tentang penggabungan materi, mengorganisirnya menjadi sebuah pesan dan menyampaikannya secara oral kepada kelompok besar manusia.”

Kaum sofis berusaha memantapkan komunikasi publik melalui formalisasi pengajaran teknik yang memungkinkan seseorang berkomunikasi di depan publik secara efektif. Tapi, mereka gagal meyakinkan bahwa komunikasi publik sebagai sebuah landasan demokrasi yang tidak bisa digugat. Aliran Socrates (the socrates school) berkembang sebagai reaksi atas kaum Sofis, pelopornya: Socrates, Plato. Perlunya mengembangkan teori yang luas tentang komunikasi publik yang menempatkan etika sama pentingnya dengan masalah teknik komunikasi. Mereka menentang kaum Sofis yang mengajarkan teknik untuk membangkitkan emosi dan merintangi pembuatan keputusan rasional. Pendekatan Socrates menekankan peraturan dan keterampilan berkomunikasi dengan keharusan mengembangkan dan menerapkan akal pikiran.

Warisan ajaran Socrates adalah sebuah komitmen yang tidak dapat dikompromikan tentang penggunaan komunikasi publik yang terspesialisasi dalam mengejar kebenaran, tetapi bukan untuk mengembangkan demokrasi. Kaum Sofis tetap teguh mempertahankan tatanan sosial demokratik yang mengijinkan mereka mempraktekan teknik berbicara di depan publik tanpa hambatan.

Selama 200 tahun De Arte Rhetorika-nya Aristoteles berpengaruh di Romawi. Selama itu, kajian retorika tidak mengalami penambahan. Pada tahun 100 SM, lahir buku Ad Herrenium yang mensistemasikan retorika gaya Yunani ke cara-cara Romawi. Orang Romawi hanya mengambil segi-segi praktisnya saja dari retorika Yunani. Orator-orator yang terkenal pada masa itu adalah Antonius, Crassus, Rufus, dan Hortensius. Hortensius mengembangkan retorika dengan mempelajari gerakan-gerakan dalam berpidato dan cara penyampaiannya. Kemampuan ini kemudian dikembangkan lagi oleh Marcus Tulius Cisero yang hidup tahun 106-43 SM. Cicero banyak menulis buku filsafat dan lima buah buku retorika, salah satunya De Oratore. Menurut Cicero, efek dari pidato akan baik bila orator adalah orang yang baik. Prinsip ini terkenal dengan istilah The good man speaks well. Cicero sangat terampil menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Cicero mengembangkan sistematika retorika mencakup dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang bersifat suasio (anjuran) dan dissuasio (penolakan). Ada dua tahapan dalam retorika gaya Cicero, yaitu tahap investio (pencarian bahan) dan tahap ordo collocatio (penyusunan pidato).

Seorang pangagum Cicero yang bernama Quintillianus berhasil mendirikan sekolah retorika. Melalui sekolah ini dia mengajarkan retorika dengan prinsip yang dikembangkan Cicero, yaitu the good man speaks well. Quintillianus mendefenisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator menurut Quintillianus harus dimulai sejak lahir. Orator sebaiknya harus dari keluarga terdidik agar memiliki akhlak yang baik dan ajaran yang benar.

Sampai tahun 500 M, retorika di Yunani dan Romawi didominasi oleh negarawan, politis, dan bangsawan. Para orator banyak yang terlibat di panggung-panggung politik. Mulai tahun 500 M retorika mengalami kemunduran. Banyak kaisar yang tidak senang dengan orang-orang yang pandai bicara. Maka dengan kekuasaanya, kaisar membatasi ruang gerak orator.

Abad ini dikenal pula dengan abad kegelapan. Pada abad ini gereja begitu mendominasi sendi-sendi negera termasuk terhadap kehidupan sosial dan perkembangan ilmu. Bagi agama Kristen, retorika dianggap kesenian “kafir” dan “jahiliyah”, sehingga dilarang untuk dipelajari. Akan tetapi, Santo Agustinus malah menganjurkan bagi para pengkhotbah untuk mempelajari teknik menyampaikan pesan untuk mengungkapkan kebenaran. Menurut Agustinus dalam bukunya On Cristian Doctrine tahun 426, menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus mampu mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan. Sebelum jadi Kristen, Agustinus pernah mempelajari retorika, sehingga anjuran-anjuran bagi para pengkhotbah banyak dipengaruhi teori-teori retorika Aristoteles dan Cicero.

Pada abad ke enam, di Timur Tengah berkembang agama Islam. Utusan Allah yang bernama Nabi Muhammad telah berhasil membawa perubahan hidup manusia melalui firman-firman Allah yang ia sampaikan. Dengan tutur kata dan sikapnya yang mulia, Nabi Muhammad berhasil membawa perubahan kehidupan manusia pada saat itu kepada kehidupan yang penuh hukum, aturan, dan tatanan bermasyarakat. Menurut riwayat, bila Nabi Muhammad sedang berpidato menyampaikan ajaran Allah, retorikanya begitu menyentuh hati, kata-katanya lantang dan tegas, serta wajahnya mengekspresikan ketegasan.

Nabi Muhammad tidak pernah mempelajari retorika dari Georgias, Aristoles, atau Cicero. Dia mempelajari retorika melalui bimbingan wahyu dan Dia menganjurkan kepada para pengikutnya untuk mengajak manusia pada kebenaran dengan prinsip-prinsip qoulan sydidan (QS. 4:9, 33:70), qoulan balighan (QS. 4:63), qaulan masyuran (QS. 17:28), qaulan layyinan (Qs. 20:44), qaulan kariman (QS. 17:23), qaulan ma’rufan (QS. 4: 5).

B. Jerman (Publisistik)
Ditandai dengan kemunculan Zeitungskunde (1984) Sebagai bidang kajian di Universitas Bazel, Swiss. Karl bucher (1847-1930) ahli ekonomi mazhab historis mengajar di Universitas ini & kembali ke Jerman (1892) mengajarkan Zeitungskunde di Universitas Leipzig Jerman.
Ringkasnya, jasa Karl Bucher, sebagai berikut:
a. Memprakarsai penyelidikan historis tentang suratkabar
b. Memperkenalkan pengetahuan persuratkabaran sebagai bidang kajian ilmu di universitas
c. Memprakarsai pendirian sebuah lembaga persuratkabaran yang pertama di Eropa kontinental : Leipzig
d. Memperjuangkan diselenggarakannya pendidikan kewartawanan di Universitas. Zeitungskunde menjadi disiplin ilmu yang dikenal “Ilmu Komunikasi” sekarang.
Max Weber (1862-1920), tahun 1910 (di Konferensi Sosiologis) memperkenalkan pendekatan Sosiologis “Soziologie des Zeitungswesens”:
1. Soal modal & pengaruh para pemilik modal terhadap redaksi
2. Sifat kelembagaan (institution character) suratkabar.
Menurut Weber:
1. Persoalan modal penting bagi kelembagaan suratkabar bukan saja menyangkut kebijaksanaan redaksional.
2. Institution character menyiratkan kedudukan pers sebagai bentuk lembaga sosial yang memiliki kepribadian (personality) sendiri
Di atas telah disinggung bahwa publisistik merupakan perkembangan dari zeitungswissenchaft, perkembangan tersebut disebabkan: Pertama, Khalayak membutuhkan ilmu pernyataan umum. Kebutuhan tersebut semakin terasa mendesak ketika radio dan film tampil ke muka sebagai alat pernyataan publisistik baru. Kedua, Meskipun memang zeitungswissenschaft telah berhasil menjadi suatu ilmu yang disipliner dengan menggunakan gejala surat kabar sebagai objek penyelidikannya, namun satu hal yang tak terpegang itu inti daripada segala pernyataan umum yakni fungsi sosial daripada kata dan makna yang seluas-luasnya. Dan fungsi sosial ini ialah bahwa alat-alat komunikasi mendukung dan menyatakan segala isi kesadaran (bewustseininhalten) yang disampaikan kepada orang-orang lain dengan tujuan bahwa sikap rohaniah dari dia yang menerimanya menjadi sama arah dengan dia yang menyatakannya.

Publisistik mengajarkan bahwa setiap pernyataan kepada umum dengan menggunakan media apapun apakah cetak atau elektronik menciptakan suatu hubungan rohaniah antara si publisis dengan khalayak. Otto Groth Menulis dalam bukunya Die Zeitung bahwa hingga tahun 1928 ia telah membaca lebih kurang 4.800 judul karangan tentang persuratkabaran. Lebih kurang 2000 karangan lagi dengan berbagai bahasa di dunia ini yang belum sempat ia membacanya. Sampai tahun 1928 itu telah ada 500 disertasi tentang ilmu. Literatur Jerman yang bermutu mengenai ilmu kita pada fase zeitungskunde dan zeitungswissenschaft diantaranya yang dapat kita catat adalah sebagai berikut:
1. Karl Bucher, Gesammelte aufsatze zur zeitungskunde tubingen
2. Max Weber, soziologie des zeitungswesens
3. Erich Evert, Zeitungskunde und universitat jena
4. Emil Dovifat, Wege und ziele der zeitungswissenschaftlichen arbeit Berlin
5. Otto groth, die zeitung Mannheim (Kertapati, 1986)
De Bruyn di dalam bukunya Sociologie-publicistiek-omroep-wetenschap, antara lain menceritakan adanya pertentangan pendapat di sekitar tahun-tahun 1930 di antara sarjana yang menyarankan nama baru bagi ilmu kita dan golongan sarjana yang tetap mempertahankan nama Zeitungswissenshaft. Dan rupanya golongan yang menyarankan nama barulah yang berhasil mendesak pendapat opponent-nya. Dan sejak itu bergantilah sebutan bagi ilmu dari zeitungswissenschaft menjadi publisistik. Alasan-alasan ilmiah yang dikemukan golongan yang menghendaki publisistik sebagai nama baru bagi ilmu kita, dapat kita baca antara lain dari buku karangan Karl Jaeger yang berjudul Von der Zeitungskunde zur publizistichen wissenschaft (1926).
Beberapa media publisistik yang pernah terbit di Eropa: Notizie Scritte di Vinesia pada tahun 1566, Avisa Relation oder Zeitung yang terbit pada tahun 1909 di Augsbur, kemudian berturut-turut Frankfurter Oberpostzeitung pada tahun 1612, Zurich Zeitung Post pada tahun 1620 dan A Current of General news pada tahun 1622. Kemudian kegiatan Publisistik dilakukan juga melalui majalah, di antaranya yang terbit tahun 1731 dan termasuk majalah modern, yakni terbitan London Gentleman’s Magazine. Perkembangan publisistik selanjutnya ditandai dengan bangkitnya perhatian terhadap masalah retorika, radio, TV, film.

Hagemann (1966) dan Dofivat (1968) (figur penting dalam fase ini) menjadi embrio lahirnya ilmu publisitik yang otonom dengan objek penelitiannya offentliche aussage (pernyataan publik) sebab publisistik dipahami sebagai usaha menggerakkan dan membimbing tingkah laku publik secara rohaniah mengarah pada pertumbuhan teori imitasi-sugesti yang langsung di bawah pengaruh filsafat Neo-Idealis dan psikologi eksperimental.
Walaupun pada zaman Romawi sudah mulai berkembang proses pernyataan melalui media, tetapi belum dapat dinilai sebagai ilmu. Baru merupakan fenomena atau gejala. Ini terjadi ketika Gaulus Julius Caesar (100-44 SM), kaisar Romawi yang termasyur mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan senat setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan pengumuman yang dinamakan Acta Diurna.

Fenomena jurnalistik yang sudah tampak pada bagian di atas tadi ternyata tidak berkembang disebabkan kekaisaran Romawi mengalami masa gelap. Baru pada tahun 1609 muncul di Jerman surat kabar pertama dalam sejarah dengan menyandang nama “Avisa Relation Order Zeitung” disusul oleh “Weekly News” yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1622.

Di Swiss pada tahun 1884, Publisistik muncul dengan istilah Zeitungskunde di Universitas Bazel, dimana tokoh Karl Bucher (1847-1930) seharusnya kita nilai sebagai orang yang berjasa pada fase Zeitungskunde ini. Pada tahun ini pula, Karl memulai karirnya di bidang pendidikan. Tahun 1892, Karl Bucher kembali ke Jerman dan memberikan kuliah Zeitungskunde pada Universitas Leipzig. Yang dikuliahkan adalah adalah hal-hal mengenai: Sejarah Pers, Organisasi Pers dan Statistik Pers.

Sebagai hasil telaah para cendekiawan terhadap perkembangan dan pengaruh surat kabar itu, muncullah di Inggris “Science of the press,” di Prancis “Science de la Presse,” di Nederland “Dagbladwetenschap” dan di Jerman “Zeitungswissenschaft” yang kesemuanya berarti “Ilmu Persuratkabaran.” Ini terjadi pada abad 19.


C. Amerika (Journalisme, Mass Communication, dan Speech Communication)
Robert Bierstedt dalam bukunya, The Sosial Order, memasukan jurnalistik sebagai ilmu, dalam hal ini ilmu terapan. Hal ini tidak mengherankan karena pada tahun ia menulis bukunya itu, yakni tahun 1457, journalism di Amerika Serikat sudah berkembang menjadi ilmu (science), bukan sekedar pengetahuan (knowledge). Ini disebabkan oleh jasa Joseph Pulitzer, seorang tokoh pers kenamaan di Amerika Serikat yang pada tahun 1903 mendambakan didirikannya “School of Journalism” sebagai lembaga pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan para wartawan. Gagasan Pulitzer ini mendapatkan tanggapan positif dari Charles Eliot dan Nicholas Murray Butler masing-masing Rektor University dan Columbia University karena ternyata journalism tidak hanya mempelajari dan meneliti hal-hal yang bersangkutan dengan persuratkabaran semata-mata, tetapi juga media massa lainnya, antara lain radio dan televisi. Selain menyiarkan pemberitaan, radio dan televisi juga menyiarkan produk-produk siaran lainnya. Maka journalism berkembang menjadi mass communication.
Dalam perkembangan selanjutnya, mass communication dianggap tidak tepat lagi karena tidak merupakan proses komunikasi yang menyeluruh. Penelitian yang di lakukan oleh Paul Lazarfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Robert Merton, Frank Staton, Wilbur Scramm, Everett M. Rogers, dan para cendekiawan lainnya menunjukkan bahwa gejala sosial yang diakibatkan oleh media massa tidak hanya berlangsung satu tahap, tetapi banyak tahap. Ini di kenal dengan two-step communication dan multistep flow communication. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar hasil komunikasi antarpersona (interpersonal communication) dan komunikasi kelompok (group communication) sebagai kelanjutan dari komunikasi massa (mass communication).
Oleh sebab itulah di Amerika Serikat muncul communication science atau kadang-kadang dinamakan juga communicology ilmu yang mempelajari gejala-gejala sosial sebagai akibat dari proses komunikasi massa, komunikasi kelompok, dan komunikasi antarpersona. Kebutuhan orang-orang Amerika akan science of communication tampak sudah sejak tahun 1940-an, pada waktu seorang sarjana bernama Carl I. Hovland menampilkan definisinya mengenai ilmu komunikasi. Hovland mendefinisikan science of communication sebagai: “a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed”.
Seperti halnya dengan ilmu publisistik di Jerman, ilmu komunikasi yang mula-mula timbul di Amerika Serikat, juga merupakan pertumbuhan dari pengetahuan yang menetapkan pers sebagai obyek studi ilmiah. Jika di Jerman namanya Zeitungswissenschaft di Amerika namanya journalism.
Surat kabar pertama yang lahir di Amerika serikat ialah pada tahun 1672, tetapi sampai berakhirnya abad 19 belum terdapat pemikiran untuk mengandakan pendidikan jurnalistik tingkat tinggi seperti yang kita kenal sekarang. Pada tahun 1869 Robert E Lee, bekas panglima bagian selatan dalam perang saudara Amerika Serikat yang kemudian menjadi Rector Washington College pernah mengajarkan studi jurnalistik. Tetapi yang menjadi kenyataan ialah cita-cita Joseph Pulitzer tokoh histories wartawan kenamaan, yang mendambakan adanya School of Journalism. Ini diucapkannya pada tahun 1903 sambil menyisihkan uang sebesar dua setengah juta dolar dari warisannya untuk keperluan itu.

Betapa masih mudanya ilmu komunikasi ini, cobalah simak sekilas saja sejarah pertumbuhan bidang ini. Studi sosial ilmiah mengenai komunikasi sendiri sebenarnya baru dimulai pada akhir 1930-an di Amerika Serikat .Sementara komunikasi baru muncul sebagai disiplin akademis tersendiri pada akhir 1940 an. Salah satu momennya ditandai oleh pembentukan Institut Penelitian Komunikasi (Institute of Communication Research) di Universitas Illinois pada 1948 yang dipimpin oleh salah seorang pakar dan perintis ilmu komunikasi terkemuka, Wilbur Schramm bertolak dari keberhasilan di Illinois ini, sejumlah unit penelitian serupa kemudian dibentuk di sejumlah universitas terkemuka di Barat Tengah Amerika, khususnya di Michigan State University Universitas Minnesota, dan Universitas Wisconsin.

Studi Terhadap Media Radio
Sebelum Perang Dunia I, riset telefoni radio terutama dipusatkan pada pengembangan cara yang aman untuk berkomunikasi antara dua titik. Siaran-siaran Conrad membantu mengubah jalan pikiran para eksekutif Westinghouse dan meyakinkan mereka dalam potensi riil radio adalah sebagai medium massa. Pada tahun 1920, Westinghouse memindahkan studionya Conrad dan pemancarnya ke pabriknya di Pittsburgh mengajukan permohonan izin, dan pada tanggal 2 November stasiun radio komersial yang pertama KDKA, mulai mengadakan siaran. Stasiun itu segera sukses, sebagaimana diharapkan siaran-siaran radio tetap stasiun itu menciptakan permintaan besar bagi pesawat-pesawat radio buatan perusahaan ini, yang sudah disederhanakan agar mudah dipakai oleh pengguna-pengguna yang tidak mengetahui teknik. Pabrik-pabrik radio lainnya dengan cepat mengikuti jejak Westinghouse. Dua belas tahun kemudian sekitar setengah dari semua stasiun di Amerika serikat dioperasikan oleh pabrik-pabrik radio dan seperlima oleh para penjual radio.
Mulai tahun 1920 masyarakat Amerika telah dapat menikmati radio siaran secara teratur berbagai programnya. Dan pada tanggal 20 November 1920 stasiun radio KDKA menyiarkan kegiatan pemilihan umum untuk memilih Presiden (Harding-Cox Presidential Election) yang dianggap sebagai penyiaran berita pertama secara meluas dan teratur kepada masyarakat.

Perkembangan Televisi
Ketika RCA memperkenalkan siaran televisi hidup di Pekan Raya New York tahun 1939, para pengunjung terheran-heran walau tidak sepenuhnya terkejut pada apa yang mereka lihat. Siaran-siaran langsung olahraga dan berita, hiburan dan pidato-pidato politik yang menggabungkan gambar dengan suara telah puluhan tahun ditunggu-tunggu. Perkembangan televisi pada kenyataannya adalah proses yang jauh lebih lama dibandingkan dengan yang disadari oleh kebanyakan orang sekarang. Rintisan dan ciri-ciri dominannya bisa ditelusuri sampai ke tahun 1830-an pada penemuan-penemuan fotografi serta telegraf listik yang hampir bersamaan itu. Selama hampir setengah abad, masing-masing telah berkembang pada jalur yang sangat berbeda tetapi lama kelamaan menjadi bertemu. Ketika kedua teknologi itu menjadi lebih baik dan lebih murah, dengan cepat tersebar memasuki hampir segala segi kehidupan publik dan pribadi.

Efek kehadiran Media Elektronik ini begitu hebatnya sehingga mengundang bebarapa ahli untuk mengkaji fenomena ini. Dengan demikian pengkajian komunikasi berkembang kearah komunikasi massa dan pada perkembangan selanjutnya pengkajian ke arah komunikasi sains.
Dalam perkembangan selanjutnya akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi, istilah mass communication dianggap tidak tepat lagi, karena ternyata tidak lagi merupakan proses yang total. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Robert Merton, Frank Stanton, Wilbur Schramm, Everett M Rogers, dan para pakar lainnya, menunjukkan bahwa fenomena sosial akibat terpaan media massa hanya merupakan satu tahap saja; ada tahap kedua, ketiga dan tahap-tahap berikutnya yang meneruskan pesan-pesan dari media massa dari mulut ke mulut yang justru dampaknya sangat besar. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar komunikasi antar pribadi secara tatap muka (interpersonal face to face communication).


BAB III
Sejarah Psikologi Komunikasi Sebagai Ilmu

Dilihat dari sejarah perkembangannya, komunikasi memang dibesarkan oleh para peneliti psikologi. Walaupun demikian komunikasi bukan subdisiplin dari pesikologi. Sebagai ilmu, komunikasi menembus banyak disiplin ilmu. Sebagai gejala perilaku, komunikasi dipelajari bermacam-macam disiplin ilmu, antara lain sosiologi dan psikologi. Dance (1967) mengartikan komunikasi sebagai usaha “menimbulkan respon melalui lambang–lambang verbal” ketika lambang–lambang verbal tersebut bertindak sebagai stimuli kalau dilihat dari psikologi behaviorisme (Rahamat, 2001: 3). Ditambahkan Raymond S. Ross (1974:b7) bahwa komunikasi sebagai proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemeliharaan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respons yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber (idem).

Psikologi dan komunikasi tidak terlepas hubungannya. Dalam psikologi, stimuli mempunyai makna yang luas, meliputi segala penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem organisme. Kata komunikasi dipergunakan sebagai proses, pesan, pengaruh, atau secara khusus sebagai pesan penyampaian energi dari alat–alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling pengaruh di antara berbagai system, yang disebut dengan organisme. Tetapi psikologi tidak hanya mengulas komunikasi diantara neuron. Psikologi mencoba menganalisis seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan serta fakor–fakor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Misalnya komunikasi terapetik.

Psikologi mencoba menganalisis seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan (komunikan di sini di artikan setiap peserta komunikasi), komunikasi memberikan karakteristik manusia komunikan serta factor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Akhirnya komunikasi boleh ditujukan: untukmemberikan informasi, menghibur atau mempengaruhi. Yang ketiga, lazim dikenal komunikasi persuasive, amat erat kaitannya dengan psikologi. Persuasive sendiri dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis. Ketika komunikasi dikenal sebagai proses mempengaruhi orang lain, disiplin-disiplin lain menambah perhatian yang sama besarnya seperti psikologi. Para ilmuan dengan berbagai latarbelakang ilmunya dilukiskan Goerge A. Miller sebagai “participating in and contributing to one of the great intellectual adventures of the twentieth century” (ikut serta dalam dan bersama-sama memberikan sumbangan pada salah satu petualangan intelektual besar pada abad kedua puluh).

Bila berbagai disiplin mempelajari komunikasi, apa yang membedahkan pendekatan psikologi dengan pendekatan yang lain? Adakah ciri khas pendekatan psikologi, sehingga kata “psikologi komunikasi” dapat dipertanggungjawabkan? Komunikasi telah ditelaah dari berbagai segi: antropologi, biologi, ekonomi, sosiologi, linguistic, psikologi, politik, matematik, engineering, neuofisiologi, filsafat dan sebagainya (Budd dan Ruben, 1972 dalam Rahmat, 2001: 7). Yang agak menetap mempelajari komunikasi adalah sosiologi, filsafat dan psikologi. Sosiologi mempelajari interaksi social. Interaksi harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Karena itu setiap buku sosiologi menyinggung komunikasi. Dalam dunia modern komunikasi bukan saja mendasari interaksi social. Teknologi komunikasi telah berkembang begitu rupa sehingga tidak ada satu maqsyarakat modern yang mampu bertahan tanpa komunikasi.

Filsafat sudah lama menaruh perhatian pada komunikasi, sejak kelompoh sophist yang menjual retorika pada orang-orang Yunani. Aritoteles sendiri menulis De Arte Rhetorika. Tetapi filsafat tidak melihat komunikasi sebagai alat untuk memperkokoh tujuan kelompok, seperti pandangan sosiologi. Filsafat meneliti komunikasi secara kritis dan dialektis. Filsafat mempersoalkan apakah hakekat manusia komunikan, dan bagaimana dia menggunakan komunikasi untuk berhubungan dengan realitas lain di alam semesta ini; apakah kemampuan berkomunikasi ditentukan oleh sifat-sifat jiwa manusia atau oleh pengalaman; bagaimana proses komunikasi berlangsung sejak kognisi, ke afeksi, sampai perilaku; apakah medium komunikasi merupakan factor sentral dalam proses penilaian manusia; dan sebagainya. Bila sosiologi melihat posisi komunikasi sebagaiu integrator social, filsafat melihat posisi komunikasi dalam hubungan timbale balik antara manuisa dengan alam semesta. Kaum fenomenologi misalnya melihat objek pesan sebagai kesadaran dinamis. Pesan ditelaah dengan menghubungkannya pada kondisi-kondisi empiris yang menjadi konteks pesan tersebut (Lanigan, 1979 dalam Rahmat, 2001: 8).

Psikologi juga meneliti kesadaran dan pengalaman manusia. Psikologi terutama mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku itu. Bila sosiologi komunikasi pada interaksi social, filsafat pada hubungan manusia dengan relaitas lainnya, psikologi pada perilaku individu komunikan.
Fisher menyebut empat ciri pendekatan psikologi pada komunikasi: penerimaan stimuli secara indrawi (sensory reception of stimuli), proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli), prediksi respons (prediction of respons), dan peneguhan respons (reinforcement of rensponses). Psikologi melihat komunikasi dimulai dengan dikenainya masukan kepada organ-organ pengindraan kita yang berupa data. Stimuli berbentuk orang, pesan, suara, warna-pokoknya segala hal yang mempengaruhi kita. Ucapan, “Hai, apa kabar,” merupakan suatu stimuli yang terdiri dari berbagai stimuli: pemandangan, suara, penciuman, dan sebagainya. Stimuli ini kemudian diolah dalam jiwa kita-dalam “kotak hitam” yang tidak pernah kita ketahui. Kita hanya mengambil keswimpulan tentang proses yang terjadi pada “kotak hitam” dari respon yang tampak. Kita mengetahui bahwa ia tersenym, tepuk tangan, dan meloncat-loncat, pasti ia dalam keadaan gembira.

Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respons yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respon individu masa ini. Dari sinilah timbul perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set (penghubung masa lalu masa sekarang). Salah satu unsur sejarah respons adalah peneguhan. Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain pada respons organisme yang asli). Bergera dan Lambert menyebutnya feedback (umpan balik). Fisher tetap menyebutnya peneguhan saja (Fisher, 1978: 136-142 dalam Rahmat, 2001: 9).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan psikologi komunikasi tidak terlepas dikontribusi disiplin ilmu lain terutama: filsafat, sosiologi, antropologi maupun psikologi itu sendiri. Dengan kontribusi ilmu-ilmu tersebut lahirlah psikologi komunikasi sebagai ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan dan mengenadalikan peristiwa mental dan behavioural dalam komunikasi.

Teori yang mempangaruhi perkembangan psikologi komunikasi
Grand Theory
Grand Theory adalah teori besar, teori yang mempunyai cakupan secara luas, berlaku kapan, dimana dan oleh siapa saja. Bersifat universal dan komonal (tidak hanya memiliki satu golongan saja). Adapun yang dapat dikatakan sebagai grand teori dalam perkembangan ilmu komunikasi yang menyangkut dengan perilaku manusia adalah:
1. Teori Piaget
Tentang tingkat-tingkat perkembangan intelegensi menurutnya ada empat tingkatan perkembangan struktur kognitif yaitu:
- Intelegensi sensorismotor, terdapat pada anak berumur 0-1, 5/2 tahun. Kemampuan anak itu masih terbatas pada penginderaan rangsangan-rangsangan dan memberikan reaksi-reaksi motoris yang mekanistis.
- Representasi pada operasional, terjadi pada usia 2-7 tahun dalam fase itu terjadi pembentukan simbol-simbol untuk kelak memungkinkan anak itu berpikir. Sifat anak pada usia masih terpusat pada diri sendiri (egosentris).
- Operasi konkrit terjadi pada usia 7-11 tahun, pada tahap ini anak-anak tidak lagi egosentris, melainkan banyak berorientasi keluar, kepada objek-objek yang kongkrit . ia aktif dan banyak bergerak, tetapi perbuatan-perbuatannya selalu tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang kongkrit.
- Operasi format, terjadi antara 11-15 tahun, individu disini tidak lagi tertarik pada objek yang nyata atau kongkrit ia mampu menyusun kesimpulan-kesimpulan dan hipotesa-hipotesa atas dasar simbol-simbol semata-mata.
2. Teori Mc Dougall yang dikembangkan dengan teori instingnya.
Teori ini menyatakan bahwa insting adalah kecenderungan suatu tingkah laku tertentu dalam situasi tertentu, kecenderungan tingkah laku mana tidak dipelajari sebelumnya melainkan sudah merupakan bawaan sejak lahir. Pada manusia insting sudah banyak berkurang, tetap menurut Douglas insting ini pada manusia masih jelas nampak emosi.
3. Teori Kognisi individu yang dikembangkan oleh David Krech.
Teori ini menyatakana bahwa kognisi seseorang bukan suatu cermin dunia fisik namun ia lebih merupakan suatu bagian dari kepribadian yang didalamnya objek-objek yang terpilih kemudian memiliki sewaktu peranan yang besar, kesemuannya itu ditangkap dalam proses terbentuknya kognisi. Setiap organisasi kognisi memiliki dua faktor penentu utama yaitu faktor-faktor stimulus dan faktor-faktor personal.
4. Teori tongkat adaptasi (Heros, 1999)
Menurutnya ada tiga tingkatan adaptasi yaitu : stimulus yang direspon merupakan pusat perhatian, stimulus yang datang mendadak membentuk latar belakang menjadi pusat perhatian. Sisa-sisa pengalaman yang lalu dengan stimulus yang serupa aakan menarik perhatian. Dengan demikian semua stimulus memberikan batas hubungan tingkat adaptasi.
5. Teori kesimbangan dalam perubahan kognisi
Teori keseimbangan adalah suatu petunjuk keseimbangan yang berada dalam sistem kognisi kepada yang lebih luas bahwa unsur-unsur dari sistem membentuk kesatuan yang tidak bertentangan dalam interaksi.
6. Teori kohesivitas dalam kelompok (Scashore, 1954)
Kelompok yang lebih kecil rata-rata lebih kohesif daripada kelompok yang lebih besar. Begitu pula jangkauannya (range). Kohesivitas kelompok yang lebih besar dari pada kelompok yang lebih besar. Manusia lebih cenderung untuk merasa yang lebih sedikit.
7. Teori pembentukan kelompok (Loomes dan Beegle, 1950)
Menurutnya setiap kelompok dibentuk oleh salah satu faktor berikut ini:
- Ikatan pertalian keluarga
- Keanggotan kelompok sains
- Keanggotaan kelompok keagamaan
- Usia
- Jenis kelamin dan persamaan sikap
8. Teori peradaban manusia
Ibnu Khaldun perkembangan masyarakat mengacu kepada kaidah-kaidah sosial hanya dapat diketahui apabila data yang dikumpulkan itu dilakukan analisis banding serta dicari korelasinya. Kewujudan manusia dicirikan oleh kemajuan dan kejatuhan, malahan kemusnahan yang berulang kali. Peradaban manusia dapat diumpamakan turun naiknya gelombang lautan atau kehidupan organ manusia yang menempuh tahapan dari kelahiran anak-anak, dewasa, tua dan kematian (teori kebangkitan adab keruntuhan peradaban).

Oswald Spengler: kewujudan manusia dicirikan oleh kemajuan dan kejatuhan malahan kemusnahan yang berulang kali. Peradaban manusia dapat diumpakan turun naiknya gelombang lautan atau kehidupan organ manusia yang menempuh tahapan dari kelahiran anak-anak, dewasa, tua dan kematian. Suatu kebudayaan lahir pada suatu jiwa besar yang bangkit dari protospiritual, yaitu suatu bentuk dari tanpa bentuk, dan suatu bentukan dari tanpa ikatan penderitaan. Budaya akan mati manakala jiwa yang diaktualisasikan menurut jumlah kemungkinan penuh dalam bentukan orang-orang, bahasa, dokma, seni, negara dan ilmu pengetahuan kembali kepada pratospiritual peradaban (civilitation) adalah bagian terakhir dari perkembangan setiap kebudayaan (teori kebangkitan adab keruntuhan peradaban)

9. Teori perkembangan masyarakat (Ferdinan Tonnies)
Perkembangan masyarakat atau sistem sosial sebagai perubanan linear dari kecil (sederhana) sampai menjadi besar (kompleks). Atau dari Gemeinschaft ke gesellschaft. Masyarakat adalah karya cipta manusia, yang merupakan usaha manusia untuk mengadakan dan memelihara relasi-relasi timbal balik yang mantap. Semua relasi sosial itu adalah ciptaan kemauan manusia yang mendasari kemauan masyarakat itu sendiri tediri dari dua jenis yaitu sweckwille atau arbitarywill, kemauan rasional yang hendak mencapai suatu tujuan; dan tribewil atau essenstialwill, dorongan batin berupa perasaan. Dua bentuk kemauan itu menjelaskan kelahiran dua jenis utama kelompok sosial dan relasi sosial yang dinamakan gemeischaft dan gesellschaft.

10. Teori evolusi budaya (Jullian H. Stewart)
Budaya manusia itu berkembang menurut beberapa arah yang berbeda. Revolusi budaya tidak bersifat unilinier, bahkan multilinier. Evolusi manusia bukanlah semata-mata biologi belaka, malahan merupakan interaksi antara ciri-ciri fisik dan budaya, setiap ciri itu saling mempengaruhi satu sama lain. Manusia itu mempunyai upaya untuk menciptakan penyelesaian-penyelesaian yang rasional dalam kehidupan mereka, terutama dalam alam dan masalah-masalaha teknis dan juga mereka berupaya untuk mentransformasi penyelesaian tersebut kepada generasi berikut dan anggota lain dalam masyarakatnya (teori neoevolusionis).

Middle Range Theory
Adalah teori tengah, teori ini didasarkan pada fakta sosial, teori ini lahir sebagai studi empirik (lapangan) adapun yang tergolong dalam empirik (lapangan) ini adalah:
1. Expeclancy theory of motivation
Teori ini sepenuhnya bergantung pada harapan seseorang terhadap reward menyatakan bahwa motivasi seseorang untuk mencapai sesuatu tergantung pada produk atau hasil kali estimasi seseorang tentang taraf kemungkinan sukses apabila ia mengajarkan suatu itu dengan nilai yang akan diperoleh atas kesuksesan tersebut
2. Achievement motivation theory (McCelland)
Suatu kecenderungan untuk mengatasi hambatan/peringatan menyelesaian tugas rumit melalui kekuatan usaha.
3. Two factor theory; kepuasan manusia dalam bekerja
4. Teori penyimpangan; Teori differential association (Edwin H. Suterland) bersumber dari pergaulan yang berbeda
5. Teori Labeling (Edwin M. Lemert) seseorang menyimpang karena adanya proses labeling berupa julukan, cap, etiket oleh masyarakat
6. Teori Merton: merupakan bantahan-bantahan teori di atas (yang hanya memandang sisi mikro)
7. Teori penularan (Le Bon)
Dalam suatu kerumuman tiap perasaan dan tindakan bersifat menular, hanya mengikuti naluri, tidak rasional dan tidak mampu mengendalikan perilaku sendiri
8. Teori konvergensi (Horton and Hunt)
Perilaku kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud dan kebutuhan serupa
9. Teori Malthus; jumlah penduduk berkembang menurut deret ukur, sementara jumlah makanan hanya dapat ditingkatkan menurut deret hitung
10. Teori transisi demografi; menyangkal teori Malthus
11. Teori Frustasi agresi; orang akan melakukan agresi manakala usaha mencapai kepuasannya terhalangi. Jika agresinya tidak ditujukan pada pihak yang menghalangi
12.Teori fakta sosial; teori fungsionalisme struktural (Robert K. Merton); menekankan pada kesatuan dan menyebabkan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurutnya, masyarakatnya suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbagnan. Asumsi dasar; setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap lainnya.


BAB IV
Faktor-faktor dari Disiplin Ilmu Tersebut Sehingga Menjadi Disiplin Ilmu Tersendiri yaitu Psikologi Komunikasi.

Bahwa manusia dalam berkomunikasi tidak hanya melalui proses pertukaran pesan yang bermakan tetapi juga factor kepribadian ikut di dalamnya. Kepribadian terbentuk sepanjang hidup kita. Selama itu pula komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi kita menumakkan diri kita, mengembangkan konsep diri, dan menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. Hubungan kita dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup kita. Bila orang lain tidak memahami gagasan anda, bila pesan anda menjengkelkan mereka, bila anda tidak berhasil mengatasi masalah pelit karena orang lain menentang pendapat anda dan tidak mau membantu anda, bila semakin sering anda berkomunikasi semakin jauh jarak anda dengan mereka. Bila anda selalu gagal untuk mendorong orang lain bertindak. Anda telah gagal dalam komunikasi. Komunikasi anda tidak efektif.

Komunikasi efektif seperti dinyatakan Ashley Montagu bahwa kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Anak kecil hanyalah seonggok daging sampai ia belajar mengungkapkan perasaaan dan kebutuhannya melalui tangisan, tendangan atau senyuman. Segera setelah ia berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, terbentuklah perlahan-lahan apa yang kita sebut kepribadiaan. Bagaimana ia menafsirkan pesan yang disampaikan orang lain dan bagaimana ia menyampaikan pesannya kepada orang lain, menentukan kepribadiannya. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterimanya. Wajah ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan kebenciaan bila anak memahaminya sebagai usaha ibu tiri untuk menarik simpati anak yang ayahnya telah ia rebut.

Bagaimana tanda-tanda komunikasi yang efektif? komunikasi yang efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (1974:9-13) paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan.

Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Menurut cerita, seorang pemimpin pasukan VOC bermaksud menghormati seorang pangeran Madura. Untuk itu, dipegangnya tangan sang permaisuri dan diciumnya. Sang pangeran marah. Ia mencabut kerisnya, menusuk Belanda itu dan terjadilah bertahun-tahun perang VOC dengan penduduk Madura, sehingga ribuan korban jatuh. Kita tidak tahu apakah cerita itu benar atau tidak, tetapi betapa sering kita bertengkar hanya karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). Untuk menghindari hal ini kita perlu memahami paling tidak psikologi pesan dan psikologi komunikator.

Kesenangan
Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Ketika kita mengucapkan “Selamat pagi, apa kabar?” kita tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi itu hanya dilakukan untuk mengupayakan agar orang lain merasa apa yang disebut analisis transaksional sebagai “saya oke kamu oke’. Komunikasi ini lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication), dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab, dan menyenangkan. Ini memerlukan psikologi tentang system komunikasi interpersonal.

Mempengaruhi Sikap
Paling sering kita melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain. Khatib ingin membangkitkan sikap beragama dan mendorong jemaah beribadah lebih baik. Politisi ingin menciptakan citra yang baik pada pemilihnya, bukan untuk masuk surga, tetapi masuk untuk masuk DPR dan menghindari masuk kotak. Guru ingin mengajak muridnya lebih mencintai ilmu pengetahuan. Pemasang iklan ingin merangsang selera konsumen dan mendesaknya untuk membeli. Sering jejaka ingin meyakinkan pacarnya bahwa ia cukup “bonafid” untuk mencintai dan dicintai. Semua ini adalah komunikasi persuasive. Komunikasi persuasive memerlukan pemahaman tentang factor-faktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikate. Persuasi didefinisikan sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologi sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri (Kamus ilmu komunikasi, 1979) para psikologi memang sering bergabung dengan komunikolog justru pada bidang persuasi.

Hubungan Sosial yang Baik
Komunikasi yang ditujukan untuk menumbuhkan hubungan social yang baik. Manusia adalah makhluk social yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow (1980;80-92) menyebutnya “kebutuhan akan cinta” atau “belongingness”, William Schutz (1966) memerinci kebutuhan social ini ke dalam tiga hal inclusion, control, affection. Kebutuhan social adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan kekuasaan (control), dan cinta serta kasih saying (affection). Secara singkat, kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, dan kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan social ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. Dewasa ini para ilmuwan social, filusuf, dan ahli agama sering berbicara tentang alienasi-merasa terasing, kesepian, dan kehilangan keakraban pada manusia modern. “Instead of affection, acceptance, love and joy resulting from being with other, many people feel alone, rejected, ignored, and unloved, tulis William D. Brooks dan Phillip Emmert (1977:5).

Bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal, apa yang terjadi ? Banyak kata Vance Packard (1974). Ia akan menjadi agresif, senang berkhayal, “dingin”, sakit fisik dan mental, dan menderita “flight syndrome” (ingin melahirkan diri dari lingkungannya). Packard mengutip penelitian Philip G. Zimbardo tentang hubungan antara anonimitas dengan agresi. Zimbardo menyimpan dua buah mobil bekas di dua tempat; wilayah Bronx di New York, dan Palo Alto di California. Daerah yang pertama terletak di kota besar, di mana terdapat tingkat anonimitas yang tinggi. Yang kedua adalah kota kecil, di mana orang saling mengenal dengan baik. Zimbardo ingin mengetahui apa yang akan terjadi pada mobil-mobil itu. Di Palo Alto mobil itu tidak disentuh orang selama satu minggu, kecuali pada waktu turun hujan; seorang pejalan kaki menutupkan kap mobil agar air hujan tidak membasahi mesin di dalam. Di wilayah Bronx dalam beberapa jam saja, di siang hari bolong, beberapa orang dewasa ramai-ramai mencopoti bagian-bagian mobil yang dapat digunakan di hadapan orang lain. Tidak ada yang mencoba mencegah perbuatan itu. Tahap berikutnya lebih menarik lagi. Anak-anak kecil mulai menghancurkan jendela depan dan belakang. Berikutnya, beberapa orang dewasa yang berpakaian perlente merusak apa yang masih bisa dirusak. Dalam tempo kurang dari tiga hari, mobil itu sudah menjadi onggokan besi tua yang menyedihkan.

Zimbardo berteori, anonimitas menjadikan orang agresif. Senang mencuri dan merusah, disamping kehilangan tanggungjawab social. Lalu, apa yang menyebabkan anonimitas ?kita menduganya pada kegagalan komunikasi interpersonal dalam menumbuhkan hubungan social yang baik. Bila kegagalan hubungan manusiawi yang timbul dari salah pengertian adalah kegagalan komunikasi sekunder (secondary breakdown). Supaya manusia tetap hidup secara social, untuk social survival, ia harus terampil dalam memahami factor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal seperti persepsi interpersonal, dan hubungan interpersonal.

Tindakan
Di atas telah membicarakan persuasi sebagai komunikasi untuk mempengaruhi sikap. Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dikendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sukar, tetapi lebih sukar lagi mempengaruhi sikap. Jauh lebih sukar lagi mendorong orang bertindak. Tetapi ekfektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikate. Kampanye KB berhasil bila akseptor mulai menyediakan diri untuk dipasang AKDR (Alat kontrasepsi dalam rahim). Propaganda suatu partai politik efektif bila sekian juta memilih mencoblos lambang parpol itu. Pemasang iklan sukses bila orang membeli barang yang ditawarkan. Mubaligh pun boleh bergembira bila orang beramai-ramai bukan saja menghadiri masjid, tetapi juga mendirikan salat.
Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena itu untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil terlebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.


Faktor-faktor Perilaku dalam perspektif psikologi
1. Aliran Psikodinamika
Aliran psikodinamika adalah teori yang menjelaskan tingkah laku manusia sebagai hasil tenaga yang beroperasi didalam pikiran, karena tanpa disadari individu, aliran ini menekankan pada adanya kekuatan yang berbeda tetapi pada umumnya,. Ahli penulis komunikasi memberi perhatian utama pada tiga proses mental :
a. Konflik diantara motif-motif yang menentang
b. Kecemasan tentang motif-motif yang tidak dapat diterima dan
c. Pertahanan terhadap motif-motif yang begitu tidak dapat diterima (Bootzin acocela,1980)
Sigmund Freud sebagai tokoh aliran ini pada tahun (1856-1939) mendasarkan alirannya pada kepribadian manusia pada dua ide yang sangat mendasar. Yang pertama bahwa tingkah laku manusia terutama tidak dikuasai akal tetapi oleh naluri-naluri irrasional, naluri menyerang dan terutama oleh naluri sex. Id kedua adalah bahwa sebagian kecil dari pikiran yang disadari yang paling besar mempengaruhi tingkah laku kita adalah ketidaksadaran suatu tempat penyimpanan ingatan dan keinginan yang tidak pernah timbul mencapai kesadaran suatu tempat penyimpanan ingatan dan keinginan yang tidak pernah timbul mencapai kesadaran atau telah ditekan yaitu didorong keluar dari kesadaran atau ditekan yaitu didorong keluar dari kesadaran sebab menimbulkan rasa takut atau malu dalam diri kita.

Berdasarkan dua id tersebut Freud (1920) membagi kepribadian manusia menjadi tiga yaitu, ego, id, super ego. Id yang beroperasi di dalam bagian ketidaksadaran terdiri dari dari naluri seksual dan naluri menyerang yang membentuk dasar tingkah laku manusia agar dapat memenuhi naluri-naluri prinsip kesenangan. Ego merupakan bagian kepribadian yang memikir, mengetahui, memecahkan masalah, peran pokok ego adalah mencari untuk menyenangkan id, tetapi dengan dibatasi kenyataan dan moralitas, ego beroperasi berdasarkan prinsip realitas. Super ego menjadi kode moral kepribadian, sama dengan apa yang disebut kata hati, tetapi lebih sedikit tegas. Fungsi pokok super ego dalam penguasaan naluri ide, super ego juga menentukan cita-cita mana yang akan diperjuangkan. Sedangkan tekanan Freud dalam aliran psikodinamika lebih banyak meletakkan pada tekanan ego dibandingkan yang dilakukan murid-muridnya sebagaimana Freud memandang ide, sebagai motivator dasar didalam tingkah laku manusia. Ego memilih atau mengatur dorongan ide, tetapi hal tersebut tidak mampu menggantikan tiap dorongan ide, tetapi hal tersebut tidak mampu menggantikan tiap dorongan itu sendiri oleh karena itu sekalipun fungsinya mungkin rumit ego tidak menjelaskan kepribadian sebenarnya ia adalah hak istimewa dari ide.

2. Aliran Behavioral
Beberapa aliran psikologi yang dapat digolongkan sebagai pencetus dan penganut aliran behavioral yaitu William Daugall (1871-1938) yang mengembangkan psikologi posposif (bertujuan) atau psikologi hormik (hormic psychology), Mc Daugal yang mengembangkan alirannya bahwa psikologi hendaknya hanya membicarakan atau mempelajari tingkah laku manusia yang saja nyata kalau psikologi hendak dikatakan sebagai ilmu yang objektif John Broades Watson (1878-1958) mengembangkan aliran behaviorisme di Amerika dalam pendapatnya mengenai teori psikologi bahwa psikologi harus dipelajari seperti orang mempelajari ilmu pasti atau ilmu alam, karena psikologi harus dibatasi dengan tata pada penyelidikan tentang tingkah laku yang nyata dan dia berpendapat bahwa psikologi harus kesadaran yang hanya saja dan dia berpendapat bahwa psikologi harus menjadi ilmu yang objektif karena itu tidak mengakui adanya kesadaran yang hanya dapat diteliti metode intropeksi. Edwin B. Holt (1873-1946) dalam ajarannya berpendapat bahwa tingkah laku adalah satu-satunya kunci untuk menerangkan jiwa. Edward Chase Tolman (1886-1959) ia mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara keseluruhan disebut tingkah laku moral. Tingkah laku moral ini terdiri dari beberapa tokoh ini maka behavioralisme ini lahir sebagai reaksi teori psikodinamik, sehingga para pencetus teori hebaviorisme memberi penjelasan bahwa tidak bertanggung jawab dan tidak ilmiah membicarakan tentang psikologi hanya semata-mata didasarkan pada kejadian-kejadian subjektif yaitu kejadian-kejadian yang diperkirakan terjadi didalam tak dapat diamati atau diukur (umpamanya fungsi id, ego, super ego).

Berdasarkan behaviorisme klasik orang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena mereka telah mempelajari pengalaman-pengalaman terdahulu. Menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah-hadiah.

Dalam beberapa tahun terakhir ini teori telah meluas dengan cepat, banyak ahli psikologi behavioral sekarang merasa bahwa tingkah lain tak hanya dapat dijelaskan berdasarkan pada hadiah maupun hukuman eksternal pikiran dan perasaan.
Behaviorisme kognitif, ajaran ini memperhatikan proses-proses mental telah meningkatkan suatu bidang penelitian baru yang utuh, disebut behaviorisme kognitif adalah suatu jawaban bukan terutama terhadap kejadian-kejadian diluar seperti proses mental mengenai kejadian tersebut cara kita mengangartikannya (Mahony 1974: Meichn baum 1977).

Gambaran yang bagus tentang behavioralisme kognitif adalah aliran yang dikembangkan oleh Walter Mischel (1973) yaitu bahwa tingkah laku merupakan hasil saling berhubungan antara karakteristik pribadi dengan lingkungan. Aliran yang dikembangkan oleh Mischel mempunyai keunggulan dan kelemahan yang dimiliki pada umumnya dari behaviorisme kognitif.

3. Aliran Humanistik
Aliran psikologi humanistik yang dikembangkan dan dipelopori oleh Abraham Maslow, lahir dan berkembang dengan menentang aliran yang dikembangkan oleh aliran behaviorisme sangat prakmatis terhadap exsistensi manusia. Maka kaum yang mengikuti aliran humanistic berpendapat bahwa penyesuaian yang ideal merupakan lebih dari sekadar penyesuaian secara sederhana atau jaga penyesuaian yang berhasil dengan keadaan nyata yang terdapat dalam kehidupan anda. Agaknya ini berarti pengembangan seluruh kemampuan yang anda miliki setinggi-tingginya seluruh kemampuan yang anda miliki setinggi-tingginya. Untuk menggambarkan pendekatan idealistic pada penyesuaian dirasa perlu untuk dilihat pada dua teori humanistic yang sangat berpengaruh yaitu Abraham Maslow dan Carl Roegers.

Abraham Maslow (1908-1970) merasa bahwa banyak rintangan penyesuaian yang diajarkan oleh aliran teori psikodinamika/psikoanalisis dan pihak teorisme pemenuhan biologis, mendapatkan teman, belajar menghargai diri sendiri sebenarnya hanyalah persiapan untuk tantangan yang tertinggi aktualisasi diri, dibatasi sebagai pemenuhan secara sempurna potensi unik seseorang. Maslow mengurutkan manusia sebagai berikut: kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, kebutuhan cinta dan menjadi anggota suatu kelompok.

4. Aliran Eksistensial
Teori eksistensial ini dikembangkan oleh seorang tokoh pemikir pada tahun 1955 yaitu Victor Frank, sehingga ia menjadi seorang pemikir yang terkenal dalam bidang psikologi yang menyangkut tentang eksistensialis, dia beranggapan bahwa aliran eksistensial sesuai dengan apa yang dikatakan bahwa psikologi tradisional akan menghasilkan gambaran yang rancu dari keadaan manusia jika meninggalkan berbagai pertimbangan tentang kehidupan rohani, sehingga dalam sisi lain eksistensial dalam bidang psikologi mempelajari dan mengkaji tentang sesuatu pemikiran dinamis dari kepribadian. Misalnya, merek lebih mementingkan pada penanganan secara baik kemampuan individu dengan jalan mendorongnya. Idealnya bukan hanya mengurusnya dengan baik saja tetapi untuk berkembang menjadi sesuatu tergantung pada cita-cita sendiri.

Penganut eksistensial sangat menitikberatkan pada kesukaran dalam memekarkan pribadi agar dapat berkembang secara bebas untuk dapat menjadi kesulitan yang paling utama dalam pandangan mereka adalah konformias dan matealisme yang dikembangkan masyarakat industri modern. Umumnya eksistensial memiliki beberapa kritik tentang masyarakat modern. Mereka merasa bahwa dunia industri, oleh dorongan dari masyarakat akan menolak kebenaran dari diri hidup oleh karena itu tulisan para eksistensial sering berkaitan dengan tantangan tentang pengertian yang baru ditemukan kembali dalam kehidupan modern.

Pemikiran Frank diatas (1962) kekuatan motivasi utama dari kehidupan manusia bukanlah, keinginan untuk senang atau keinginan untuk berkuasa. Seperti yang dinyatakan oleh ahli psikodinamika, melainkan lebih banyak dalam berkeinginan untuk bermakna satu-satunya jalan untuk mendapatkan dari kehidupan kita adalah dengan jalan mengikuti nilainya, apa yang ia lakukan dengan beberapa cara untuk mencapai tujuan, memperhatikan orang lain dan mencoba merumuskan dengan kesulitan. Frank berpendapat bahwa spiritual tersebut merupakan kebutuhan mutlak untuk kesehatan psikis. Dengan tidak adanya berapa pengertian tentang makna dalam kehidupan kita, maka kita akan mampu berbuat pilihan yang secara sadar dan bertanggung jawab menjadi satu-satunya sumber dari martabat kita selaku manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati, 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Davidoff, Linda L. 1988. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Effendi, Onong Uchjana. 1978. “Ilmu Publisistik dan Ilmu Komunikasi: Suatu Analisa terhadap Teori dan Perkembangannya”. Dalam Ihwal Komunikasi. Bandung: Fakultas Publisistik-Unpad.
---------------------------. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
---------------------------. 2003. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Effendi, Usman dan Juahya S. Paraja. 1984. Pengantar Psikologi. Angkasa: Bandung
Fidler, Roger. 2003. MediaMorfosis. Yogyakarta: Bentang Budaya
Hilgard, Ernest R. 1987. Pengantar Psikologi, Edisi Kedelapan. Jakarta, Penerbit Erlangga.
Ibrahim, Idi Subandy (ed). 2005. Critical Communication; Sebuah Pengantar Komperhensif Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Bandung: Jalasutra.
Kertapati, Ton. 1986. Dasar-dasar Publisistik; Dalam Perkembangannya di Indonesia menjdi Ilmu Komunikasi. Jakarta: Bina Aksara.
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
Osborne, Richard. 2001. Filsafat untuk Pemula. Penerjemah P. Hardono Hadi. Penerbit Kanisius. Jogjakarta.
Prajarto, Nunung. 2004. “Komunikasi: Akar Sejarah dan Buah Tradisi Keilmuan”. Dalam Komunikasi, Negara dan Masyarakat. Editor Nunung Prajarto. Fisipol-UGM: Jogjakarta.
Rakhmat, Jalaluddin. 1993. “Prinsip-prinsip Komunikasi Menurut Al-Quran”. Bandung: Dalam Jurnal Komunikasi Audientia Vol 1, No. 1 Januari-Maret 1993
------------------------. 2001. Retorika Modern. Bandung: Remaja Rosdakarya.
------------------------. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.


NB: Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh pendidikan pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar