LABELLING THEORY
* I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si
Latar belakang Labelling Theory
Sebagai mahkluk sosial tentunya manusia tidak akan terlepas dari keberadaan manusia lainya. Interaksi yang terjadi antara manusia sangat kompleks dan berkelanjutan. Dengan interaksi inilah, setiap manusia selalu tergantung kepada orang lain baik dalam hal kebutuhan hidup maupun kebutuhan sebagai identitas pribadinya sebagai manusia. Karena tanpa adanya manusia lainnya maka tidak ada sebuatan kita sebagai manusia. Termasukpun yang memberikan manusia sebuah nama atau penjulukan, seperti nama identitas di KTP, sebutan sopan dalam kebiasaan perilaku tertentu, tingkat kemampuan belajar dalam sebutan pintar atau bodoh ataupun sebutan untuk suatu perilaku yang menyimpang.
Lahirnya Teori Penjulukan atau yang lebih dikenal dalam bahasa keren Labelling Theory, diinspirasi oleh perspektif Interaksi Simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang dengan kajian-kajian dan riset-risetnya dalam bidang kriminolog, Mental Health dan juga dalam pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang penyimpangan di akhir tahun 1950 dan awal 1960 yang merupakan penolakan terhadap Teori Konsensus atau Fungsionalisme Struktural.
Pada awalnya, Teori Struktural Deviasi atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Deviasi adalah bentuk dari perilaku. Namun Labelling Theory menolak pendekatan itu, deviasi hanya merupakan nama yang diberikan atau penandaan (nominalism). Tegasnya, Labelling Theory rejected this approach and claimed that deviance is not away of behaving, but is a name put on something: a label.... Deviance is not something inherent in the behavior, but is an outcome of how individuals or their behavior are labelled. (Socioglossary, September 26th, 1997).
Howard S. Becker, salah satu ahli teori interaksi yang lebih awal, mengklaim bahwa, “kelompok sosial menciptakan penyimpangan (deviance) dengan pembuatan aturan mendasar dengan menerapkan aturan itu kepada orang-orang tertentu dan memberikan label mereka sebagai orang luar”. Menurut Becker, setelah individu berlabel menyimpang mereka akan terus menyimpang dan menjadi sulit untuk melepaskan label tersebut karena orang lain melihatnya dengan status individu menunjuk orang luar (Outsiders): “Study Sociology of Deviance” 1963. ini menunjukkan, bahwa ketika kita mempelajari orang penyimpang, seseorang tidak harus menerima penyimpangan mereka sebagaimana adanya karena seseorang menganggap orang-orang tersebut benar telah melakukan penyimpangan atau melanggar beberapa aturan, karena proses teori penjulukan tidak sempurna. Penjulukan penyimpang tidak perlu berarti bahwa individu telah melakukan penyimpangan di masa lalu.
Becker juga menyatakan bahwa Labelling Theory, memusatkan kajian terhadap reaksi orang lain (di luar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat untuk kemudian menghasilkan penyimpangan. Ketika seseorang mengetahui dirinya diperlakukan secara berbeda, individu tersebut terpisah dari lingkungan yang memberikan label padanya, seperti seoarang pencuri, sampah masyarakat, pelacur, berpenyakit, pemabuk dan lain-lain.
Teori Penjulukan berupaya menekankan pada pentingnya melihat penyimpangan dari sudut pandang individu yang deviant. Seseorang yang dikatakan menyimpang dan dia mendapatkan perilaku tersebut, maka sedikit banyak akan mengalami stigma, dan jika dilakukan terus menerus, dirinya akan menerima atau terbiasa dengan sebutan tersebut.
Becker menguatkan bahwa penyimpangan bukanlah suatu property yang melekat pada bentuk tingkah laku tertentu, tetapi property yang digunakan oleh individu. Penyimpangan menurut teori penjulukan oleh Becker, diperlukan pada stabilitas masyarakat dibandingkan tanggung jawab pada kerusakannya. Karena individu yang menyimpang bertindak sebagai parameter perbedaan antara baik dan buruk, benar dan salah.
Asumsi (Essensi) Labelling Theory
Teori labelling pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orang tua, keluarga, dan masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan: Residual) otomatis akan dianggap menyimpang. Karena itulah orang biasa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak aneh pada suatu tempat atau situasi tertentu. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
Yang menjadi permasalahan bahwa yang terkena pengaruh labelling ini bukan hanya awam (khususnya pasien atau subjek), melainkan juga ilmuwan (termasuk para dokter dan psikolog sendiri). Sebagai contoh, pada anggota kongres AS yang terkemuka, Barry Goldwater, misalnya pernah didiagnosis sebagai “schizophrenia paranoid”; presiden AS dan pemenang Nobel Woodrow Wilson, pernah didiagnosis sebagai “sangat mirip psikosis”; dan semua politisi Uni Sovyet yang menjalani pemeriksaan psikiatrik didiagnosis sebagai “kepribadian psikopat”, “cenderung paranoid” atau “schizophrenia” dengan simptom-simptom: “idea reformis, perilaku bizarre, emosi datar, emosi tak adequat, tidak kritis pada situasi, mau benar sendiri, bereaksi tidak sesuai dengan situasi dan kecenderungan untuk memoralisasi segala sesuatu” (McCaghy, Capron dan Jamieson, 2002:356).
Dua proporsi dalam Teori Penjulukan, yaitu pertama, perilaku menyimpang bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviasi atau penyimpangan tidak inheren dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam bertindak, penyimpangan dikatakan ada dalam “mata yang melihat”. Kedua, penjulukan itu sendiri menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri (self-image or self definition) sebagai seseorang yang secara permanen “terkunci” dengan peran orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial.
Dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan, yaitu pertama, Master Status, dalam Teori Penjulukan label dominan seringkali lebih mengarah pada suatu keadaan yang disebut sebagai Master Status.
Once someone has been successfully labelled as criminal or deviant, the label attached may become the dominant label or 'master status' which is seen as more important than all the other aspects of the person. He or she becomes a 'hooligan' or 'thief' rather than a father, mother or friend. Each label carries with it prejudices and images and this may lead to others interpreting the behavior of the labelled person in a particular way.
(http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/labelling.html: 17 April 2006).
Master Status adalah label yang “dicantelkan” yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling penting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan (Becker, 17 April 2006). Bagi sebagian orang julukan penyimpangan telah diterapkan atau yang biasa dikenal dengan konsep diri, mereka menerima dirinya sebagai menyimpang, dan akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang selanjutnya dimana mereka bertindak.
Bagi para penyimpang sebutan tersebut menjadi menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan tersebut. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan perkataan lain bahwa orang emngalami stigma sebagai penyimpang dengan berbagai konsekwensinya, dan akan dikeluarkan dari kontak hubungan-hubungan sosial yang ada. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan menyimpang. Sehingga berakibat bahwa dia akan melihat dirinya secara mendasar sebagaimana julukan yang dia dapatkan.
Kedua, Deviant Career, konsep diri deviant career mengacu pada sebuah tahapan ketika si pelanggar aturan memasuki atau telah menjadi devian secara penuh. Kai T. Erikson dalam Becker (17 April 2006) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk perilaku yang inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahuinya dan menyaksikan tindakan mereka secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga dapat disimpulkan dari teori penjulukan atau labelling theory dari Becker menempatkan pihak yang dominan sering mendefinisikan realitas kehidupan berdasarkan perspektif mereka dan membiarkan bahkan mengharapkan pihak yang lemah mendefinisikan realitas tersebut dengan cara yang sama.
Aplikasi Labelling Theory
Penjulukan sesungguhnya merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik. Ketika seseorang atau kelompok menjuluki orang lain atau pihak lain, yang katakanlah dengan sebutan bonek, ninja, kaum kafir ataupun yang lebih ekstrem sebagai golongan teroris, maka julukan tersebut akan tersosialisasi dengan intens dan pandangan masyarakat terhadap pihak yang dijuluki akan menjadi sangat negatif, tidak peduli apakah penjulukan tersebut memiliki landasan argumen yang kuat atau tidak terhadap keselarasan norma kemanusiaan, bersifat benar atau hanya mengada-ada belaka dalam tirani golongan tertentu. Sehinga, pada keadaan tertentu, orang yang terkena julukan tersebut kemudian tidak akan mampu membendung arus negatif yang menerpa mereka, dari berbagai cacian, kecaman, hujatan, dan sanksipun seolah-olah merupakan suatu harga yang harus mereka bayar.
Teori penjulukan (Labelling Theory) menyatakan bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan ataupun keyakinan mereka sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang diberikan orang lain. Dampak penjulukan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan kebenaran penjulukan tersebut, terutama bagi mereka yang dalam posisi lemah, minoritas dan rakyat jelata misalnya.
Persoalannya yang adalah bagaimana sekiranya orang atau pihak yang mendapat julukan tersebut keberatan dan sama sekali tidak menerima penjulukan tersebut, yang katakanlah dipandang sebagai sesuatu yang “ngawur” dan sekehendak sendiri??. Disinilah terjadinya dilematik dan sekaligus problematik dari penjulukan tersebut. Ketika seseorang atau pihak tertentu yang dijuluki tersebut membantah dan memprotes keras penjulukan yang dimaksud, maka protes dan bantahannya dipandang mengkonfirmasikan julukan tersebut. Sebaliknya, jika pihak yang dijuluki berdiam diri atau bersikap pasif dan pasrah saja, maka itu sama halnya dengan membenarkan apa yang dijulukkannya. Jadi, ya serba salah gitu!!? Dan karena juga, sekali penjulukan telah menimpa seseorang, maka sulit sekali bagi yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari julukan tersebut.
Sebagai contoh aplikasi, tentang bonek atau kalo dipanjangkan berarti bondo nekad merupakan julukan negatif yang diberikan kepada pendukung atau suporter sepak bola pada periode pertandingan semi final dan final sepak bola liga Indonesia pada sekitar tahun 1997-an, yang berasal dari kesebelasan Jawa Timur. Bonek dianggap orang liar yang mesti dijauhi, ditangkap dan kalo perlu digebuki oleh pihak berwajib. Bagi orang awam yang mendengar kata-kata bonek pasti mengidentikkan dengan segerombolan anak muda yang berpenampilan urakan, kasar, suka merampas barang orang lain, makan minum tanpa membayar, pembuat kerusuhan, suka berkelahi, dan merusak fasilitas umum. Tapi, menurut salah seorang suporter Ilham, pendukung Persebaya asal Gresik, “sebutan bonek memang sangat merendahkan kami, sebab tidak semuanya adalah orang yang bermodal nekad saja. Kami punya uang, bahkan untuk beli karcis sekalipun”, (Republika, 29 Juli 1997).
Penjulukan yang lebih ngetrend di tahun 2000-an ini yaitu teroris. Penjulukan ini ditujukan bagi sekelompok orang yang suka melakukan teror dan kekhawatiran bagi orang lain. Misalnya kalau kita mencermati peristiwa pemboman yang beruntun di beberapa daerah Indonesia sejak tahun 2000, seperti: bom Bali, bom Hotel Mariot dan bom mobil yang meledak di depan kedubes Australia. Beberapa laporan intelejen menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang sangat kuat bahwa peristiwa tersebut berhubungan dengan Islam Garis Keras, yang terhimpun dalam Jamaah Islamiyah. Dengan mengatasnamakan jihad mereka melakukan beberapa keresahan dengan melakukan aksi pemboman, yang nota bene dilakukan secara terorganisir. Penyelidikan pihak berwajib secara nyata telah menemukan adanya kaitan antara peristiwa tersebut berkaitan dengan jaringan yang bersifat internasional. Seperti tertangkapnya Amrozy cs, yang secara lugu dan berani mengakui kegiatan mereka dengan alasan Jihad, yang mungkin bagi sebagian besar umat Muslim menyatakan bahwa pemaknaan jihad yang mereka lakukan adalah keliru. Dan lucunya, penjulukan teroris yang dikenakan kepada mereka malah dibalas dengan ungkapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka melawan teroris dunia. Maka jadilah teroris melawan teroris (pen).
Dari berbagai peristiwa yang terjadi tersebut muncullah berbagai sebutan dan interpretasi atas realitas yang seolah-olah menunjukan keadaan sebenarnya atas keterlibatan kelompok-kelompok Islam di Indonesia dengan jaringan terorisme internasional. Realitas itu dikonstruksi oleh berbagai pihak untuk dikenakan kepada pihak tertentu, seperti Islam Garis Keras, Islam Radikal, Islam Jalanan, Islam Mapan, Komando Jihad, Kaum Kafir, Veteran Afganistan dan lainnya. Setidaknya dengan penjulukan seperti ini semakin membuat resah masyarakat, setidaknya cukup membuat masyarakat saling waspada terhadap satu sama lainnya, dan malah semakin membuat masyarakat saling curiga terhadap orang lain, jangan-jangan tetangganya, temannya atau saudaranya termasuk yang dijuluki tersebut dan bisa mengancam ketenteraman masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai orang tua yang menyebut anaknya. "Nakal". Tidak jarang sebutan itu dilontarkan demikian saja, tanpa alasan yang jelas (kadang-kadang hanya untuk menunjukkan bahwa orang tua tidak memanjakan anaknya). Akibatnya adalah bahwa anak yang awalnya tidak bermasalah bisa sungguh-sungguh menjadi masalah karena selalu diberi stigma nakal. (dalam McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 348-349).
Sehingga ada peribahasa yang bijaksana, mengatakan “jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika ia dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri. Begitupun dengan anak yang dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri, dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri, dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Serta jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan”. (Rosani : 17 April 2006).
Kritik terhadap Labelling Theory
Kemampuan untuk menentang pemberian label terasa sangat penting daripada membahas permasalahan kriminalitas (penyimpangan di masyarakat). Masyarakat berusaha untuk tidak memberikan lebel secara gegabah kepada orang lain atau suatu kelompok tertentu, karena berdampak sangat panjang pada kehidupan seseorang atau kelompok yang di berikan label tersebut. Peranan budaya sangat penting karena sebagai tempat yang memiliki banyak norma-norma sosial yang berlaku. Terdapat beberapa kritikan terhadap teori labelling ini (Gove W (ed), 17 April 2006), seperti:
- Persoalan teoritikal bukan sangat eksplisit, karena Labelling Theory mengikuti teori interaksi simbolik dalam menerapkan studi deskripitif (memberikan informasi yang menjelaskan tentang budaya minoritas).
- Pemberian label menjadi variabel mandiri atau dependent, dengan kata lain, adalah suatu penjelasan dalam keejahatan atau menjelaskan kebutuhan golongan tertentu. Terkadang, nampak sebagai suatu variabel dependent, yaitu hasil hubungan kekuasaan dengan tingkatan toleransi yang berbeda, dan jarak sosial antara pemberi label dan penerima label. Perbedaan status nampak seperti sifat variabel yang menjelaskan paling utama, dan Gove mengusulkan pengujian ini dengan membandingkan ukuran sosial kecil dengan tingkat penyimpangan yang nyata, karena menjadi kelompok kecil lebih mungkin untuk diberikan label menyimpang.
- Mekanisme pemberian label perlu untuk diterangkan secara lebih detail. Khususnya, dalam suatu dugaan dari penyimpangan yang terkandung. Jika tindakan dari pelanggar atau penyimpang dapat dipisahkan secara analitis dari pemberi label yang pemberiannya sangat tergantung kepada penerima label, apakah bisa diterima ataukan tidak. Seperti dikatakan Gove yang mencurigai bahwa penyimpangan perilaku atau aktifitas sendiri merupakan suatu faktor aktif sedangkan dalam proses pemberiannya sangat relatif bagi orang lain. Karena sebagai contoh bagi penerima label, jika menentang semakin keras maka proses pemberi label akan semakin menekankan label tersebut, dan penyimpangan akan semakin kuat, karena ada faktor untuk memenuhi label tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, Labelling-Theory, Diakses tanggal 17 April 2006 www.goldenesays.com/free_essays/4/sociology/labelling-theory.shtml/
Becker, Howard., Overview of Labelling Theories. Diakses tanggal 17 April 2006. www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/soc/crime/labelling/
Glossary of Sociological Terms, Labelling theory. Diakses tanggal 17 April 2006. www.soci.canterbury.ac.nz/resource/glossary/index.shtml/
Gove W (ed)., BRIEF NOTES ON: Gove W (ed) The Labelling of Deviane. Diakses tanggal 17 April 2006. http://www.arasite.org/gove.html
Mulyana, Deddy., Komunikasi Populer, Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Pustaka Bany Quraisy, Bandung; 2005
Rosani T., Hak Anak. Diakses tanggal 17 April 2006. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239232&kat_id=3
Sarlito W. S. Pengaruh Opini Publik terhadap Teori, Diagnosis dan Terapi Gangguan Jiwa. Diakses tanggal 17 April 2006.
http://www.psikologiums.net/modules.php?name= News&file=print&sid=36
University of Leicester. Labelling Theory. Diakses tanggal 17 April 2006. http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/labelling.htm
Latar belakang Labelling Theory
Sebagai mahkluk sosial tentunya manusia tidak akan terlepas dari keberadaan manusia lainya. Interaksi yang terjadi antara manusia sangat kompleks dan berkelanjutan. Dengan interaksi inilah, setiap manusia selalu tergantung kepada orang lain baik dalam hal kebutuhan hidup maupun kebutuhan sebagai identitas pribadinya sebagai manusia. Karena tanpa adanya manusia lainnya maka tidak ada sebuatan kita sebagai manusia. Termasukpun yang memberikan manusia sebuah nama atau penjulukan, seperti nama identitas di KTP, sebutan sopan dalam kebiasaan perilaku tertentu, tingkat kemampuan belajar dalam sebutan pintar atau bodoh ataupun sebutan untuk suatu perilaku yang menyimpang.
Lahirnya Teori Penjulukan atau yang lebih dikenal dalam bahasa keren Labelling Theory, diinspirasi oleh perspektif Interaksi Simbolik dari Herbert Mead dan telah berkembang dengan kajian-kajian dan riset-risetnya dalam bidang kriminolog, Mental Health dan juga dalam pendidikan. Teori penjulukan dari studi tentang penyimpangan di akhir tahun 1950 dan awal 1960 yang merupakan penolakan terhadap Teori Konsensus atau Fungsionalisme Struktural.
Pada awalnya, Teori Struktural Deviasi atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Deviasi adalah bentuk dari perilaku. Namun Labelling Theory menolak pendekatan itu, deviasi hanya merupakan nama yang diberikan atau penandaan (nominalism). Tegasnya, Labelling Theory rejected this approach and claimed that deviance is not away of behaving, but is a name put on something: a label.... Deviance is not something inherent in the behavior, but is an outcome of how individuals or their behavior are labelled. (Socioglossary, September 26th, 1997).
Howard S. Becker, salah satu ahli teori interaksi yang lebih awal, mengklaim bahwa, “kelompok sosial menciptakan penyimpangan (deviance) dengan pembuatan aturan mendasar dengan menerapkan aturan itu kepada orang-orang tertentu dan memberikan label mereka sebagai orang luar”. Menurut Becker, setelah individu berlabel menyimpang mereka akan terus menyimpang dan menjadi sulit untuk melepaskan label tersebut karena orang lain melihatnya dengan status individu menunjuk orang luar (Outsiders): “Study Sociology of Deviance” 1963. ini menunjukkan, bahwa ketika kita mempelajari orang penyimpang, seseorang tidak harus menerima penyimpangan mereka sebagaimana adanya karena seseorang menganggap orang-orang tersebut benar telah melakukan penyimpangan atau melanggar beberapa aturan, karena proses teori penjulukan tidak sempurna. Penjulukan penyimpang tidak perlu berarti bahwa individu telah melakukan penyimpangan di masa lalu.
Becker juga menyatakan bahwa Labelling Theory, memusatkan kajian terhadap reaksi orang lain (di luar dirinya) dan pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat untuk kemudian menghasilkan penyimpangan. Ketika seseorang mengetahui dirinya diperlakukan secara berbeda, individu tersebut terpisah dari lingkungan yang memberikan label padanya, seperti seoarang pencuri, sampah masyarakat, pelacur, berpenyakit, pemabuk dan lain-lain.
Teori Penjulukan berupaya menekankan pada pentingnya melihat penyimpangan dari sudut pandang individu yang deviant. Seseorang yang dikatakan menyimpang dan dia mendapatkan perilaku tersebut, maka sedikit banyak akan mengalami stigma, dan jika dilakukan terus menerus, dirinya akan menerima atau terbiasa dengan sebutan tersebut.
Becker menguatkan bahwa penyimpangan bukanlah suatu property yang melekat pada bentuk tingkah laku tertentu, tetapi property yang digunakan oleh individu. Penyimpangan menurut teori penjulukan oleh Becker, diperlukan pada stabilitas masyarakat dibandingkan tanggung jawab pada kerusakannya. Karena individu yang menyimpang bertindak sebagai parameter perbedaan antara baik dan buruk, benar dan salah.
Asumsi (Essensi) Labelling Theory
Teori labelling pada prinsipnya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, menyimpang atau tidak menyimpang, tergantung pada bagaimana orang-orang lain (orang tua, keluarga, dan masyarakat) menilainya. Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh masyarakat (dinamakan: Residual) otomatis akan dianggap menyimpang. Karena itulah orang biasa dianggap sakit jiwa hanya karena berbaju atau bertindak aneh pada suatu tempat atau situasi tertentu. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
Yang menjadi permasalahan bahwa yang terkena pengaruh labelling ini bukan hanya awam (khususnya pasien atau subjek), melainkan juga ilmuwan (termasuk para dokter dan psikolog sendiri). Sebagai contoh, pada anggota kongres AS yang terkemuka, Barry Goldwater, misalnya pernah didiagnosis sebagai “schizophrenia paranoid”; presiden AS dan pemenang Nobel Woodrow Wilson, pernah didiagnosis sebagai “sangat mirip psikosis”; dan semua politisi Uni Sovyet yang menjalani pemeriksaan psikiatrik didiagnosis sebagai “kepribadian psikopat”, “cenderung paranoid” atau “schizophrenia” dengan simptom-simptom: “idea reformis, perilaku bizarre, emosi datar, emosi tak adequat, tidak kritis pada situasi, mau benar sendiri, bereaksi tidak sesuai dengan situasi dan kecenderungan untuk memoralisasi segala sesuatu” (McCaghy, Capron dan Jamieson, 2002:356).
Dua proporsi dalam Teori Penjulukan, yaitu pertama, perilaku menyimpang bukan merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan atau dijuluki menyimpang. Deviasi atau penyimpangan tidak inheren dalam tindakan itu sendiri tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam bertindak, penyimpangan dikatakan ada dalam “mata yang melihat”. Kedua, penjulukan itu sendiri menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan citra diri atau definisi diri (self-image or self definition) sebagai seseorang yang secara permanen “terkunci” dengan peran orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial.
Dua konsep lain yang menarik dalam Teori Penjulukan, yaitu pertama, Master Status, dalam Teori Penjulukan label dominan seringkali lebih mengarah pada suatu keadaan yang disebut sebagai Master Status.
Once someone has been successfully labelled as criminal or deviant, the label attached may become the dominant label or 'master status' which is seen as more important than all the other aspects of the person. He or she becomes a 'hooligan' or 'thief' rather than a father, mother or friend. Each label carries with it prejudices and images and this may lead to others interpreting the behavior of the labelled person in a particular way.
(http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/labelling.html: 17 April 2006).
Master Status adalah label yang “dicantelkan” yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yang lebih atau paling penting atau menonjol dari pada aspek lainnya pada orang yang bersangkutan (Becker, 17 April 2006). Bagi sebagian orang julukan penyimpangan telah diterapkan atau yang biasa dikenal dengan konsep diri, mereka menerima dirinya sebagai menyimpang, dan akan membuat keterbatasan bagi perilaku para penyimpang selanjutnya dimana mereka bertindak.
Bagi para penyimpang sebutan tersebut menjadi menyulitkan, mereka akan mulai bertindak selaras dengan sebutan tersebut. Dampaknya mungkin keluarga, teman, atau lingkungannya tidak mau bergabung dengan yang bersangkutan. Dengan perkataan lain bahwa orang emngalami stigma sebagai penyimpang dengan berbagai konsekwensinya, dan akan dikeluarkan dari kontak hubungan-hubungan sosial yang ada. Kondisi seperti ini akan sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk menata identitasnya dari seseorang yang bukan menyimpang. Sehingga berakibat bahwa dia akan melihat dirinya secara mendasar sebagaimana julukan yang dia dapatkan.
Kedua, Deviant Career, konsep diri deviant career mengacu pada sebuah tahapan ketika si pelanggar aturan memasuki atau telah menjadi devian secara penuh. Kai T. Erikson dalam Becker (17 April 2006) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk perilaku yang inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahuinya dan menyaksikan tindakan mereka secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga dapat disimpulkan dari teori penjulukan atau labelling theory dari Becker menempatkan pihak yang dominan sering mendefinisikan realitas kehidupan berdasarkan perspektif mereka dan membiarkan bahkan mengharapkan pihak yang lemah mendefinisikan realitas tersebut dengan cara yang sama.
Aplikasi Labelling Theory
Penjulukan sesungguhnya merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik. Ketika seseorang atau kelompok menjuluki orang lain atau pihak lain, yang katakanlah dengan sebutan bonek, ninja, kaum kafir ataupun yang lebih ekstrem sebagai golongan teroris, maka julukan tersebut akan tersosialisasi dengan intens dan pandangan masyarakat terhadap pihak yang dijuluki akan menjadi sangat negatif, tidak peduli apakah penjulukan tersebut memiliki landasan argumen yang kuat atau tidak terhadap keselarasan norma kemanusiaan, bersifat benar atau hanya mengada-ada belaka dalam tirani golongan tertentu. Sehinga, pada keadaan tertentu, orang yang terkena julukan tersebut kemudian tidak akan mampu membendung arus negatif yang menerpa mereka, dari berbagai cacian, kecaman, hujatan, dan sanksipun seolah-olah merupakan suatu harga yang harus mereka bayar.
Teori penjulukan (Labelling Theory) menyatakan bahwa proses penjulukan dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan ataupun keyakinan mereka sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang diberikan orang lain. Dampak penjulukan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan kebenaran penjulukan tersebut, terutama bagi mereka yang dalam posisi lemah, minoritas dan rakyat jelata misalnya.
Persoalannya yang adalah bagaimana sekiranya orang atau pihak yang mendapat julukan tersebut keberatan dan sama sekali tidak menerima penjulukan tersebut, yang katakanlah dipandang sebagai sesuatu yang “ngawur” dan sekehendak sendiri??. Disinilah terjadinya dilematik dan sekaligus problematik dari penjulukan tersebut. Ketika seseorang atau pihak tertentu yang dijuluki tersebut membantah dan memprotes keras penjulukan yang dimaksud, maka protes dan bantahannya dipandang mengkonfirmasikan julukan tersebut. Sebaliknya, jika pihak yang dijuluki berdiam diri atau bersikap pasif dan pasrah saja, maka itu sama halnya dengan membenarkan apa yang dijulukkannya. Jadi, ya serba salah gitu!!? Dan karena juga, sekali penjulukan telah menimpa seseorang, maka sulit sekali bagi yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari julukan tersebut.
Sebagai contoh aplikasi, tentang bonek atau kalo dipanjangkan berarti bondo nekad merupakan julukan negatif yang diberikan kepada pendukung atau suporter sepak bola pada periode pertandingan semi final dan final sepak bola liga Indonesia pada sekitar tahun 1997-an, yang berasal dari kesebelasan Jawa Timur. Bonek dianggap orang liar yang mesti dijauhi, ditangkap dan kalo perlu digebuki oleh pihak berwajib. Bagi orang awam yang mendengar kata-kata bonek pasti mengidentikkan dengan segerombolan anak muda yang berpenampilan urakan, kasar, suka merampas barang orang lain, makan minum tanpa membayar, pembuat kerusuhan, suka berkelahi, dan merusak fasilitas umum. Tapi, menurut salah seorang suporter Ilham, pendukung Persebaya asal Gresik, “sebutan bonek memang sangat merendahkan kami, sebab tidak semuanya adalah orang yang bermodal nekad saja. Kami punya uang, bahkan untuk beli karcis sekalipun”, (Republika, 29 Juli 1997).
Penjulukan yang lebih ngetrend di tahun 2000-an ini yaitu teroris. Penjulukan ini ditujukan bagi sekelompok orang yang suka melakukan teror dan kekhawatiran bagi orang lain. Misalnya kalau kita mencermati peristiwa pemboman yang beruntun di beberapa daerah Indonesia sejak tahun 2000, seperti: bom Bali, bom Hotel Mariot dan bom mobil yang meledak di depan kedubes Australia. Beberapa laporan intelejen menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang sangat kuat bahwa peristiwa tersebut berhubungan dengan Islam Garis Keras, yang terhimpun dalam Jamaah Islamiyah. Dengan mengatasnamakan jihad mereka melakukan beberapa keresahan dengan melakukan aksi pemboman, yang nota bene dilakukan secara terorganisir. Penyelidikan pihak berwajib secara nyata telah menemukan adanya kaitan antara peristiwa tersebut berkaitan dengan jaringan yang bersifat internasional. Seperti tertangkapnya Amrozy cs, yang secara lugu dan berani mengakui kegiatan mereka dengan alasan Jihad, yang mungkin bagi sebagian besar umat Muslim menyatakan bahwa pemaknaan jihad yang mereka lakukan adalah keliru. Dan lucunya, penjulukan teroris yang dikenakan kepada mereka malah dibalas dengan ungkapan bahwa apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka melawan teroris dunia. Maka jadilah teroris melawan teroris (pen).
Dari berbagai peristiwa yang terjadi tersebut muncullah berbagai sebutan dan interpretasi atas realitas yang seolah-olah menunjukan keadaan sebenarnya atas keterlibatan kelompok-kelompok Islam di Indonesia dengan jaringan terorisme internasional. Realitas itu dikonstruksi oleh berbagai pihak untuk dikenakan kepada pihak tertentu, seperti Islam Garis Keras, Islam Radikal, Islam Jalanan, Islam Mapan, Komando Jihad, Kaum Kafir, Veteran Afganistan dan lainnya. Setidaknya dengan penjulukan seperti ini semakin membuat resah masyarakat, setidaknya cukup membuat masyarakat saling waspada terhadap satu sama lainnya, dan malah semakin membuat masyarakat saling curiga terhadap orang lain, jangan-jangan tetangganya, temannya atau saudaranya termasuk yang dijuluki tersebut dan bisa mengancam ketenteraman masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai orang tua yang menyebut anaknya. "Nakal". Tidak jarang sebutan itu dilontarkan demikian saja, tanpa alasan yang jelas (kadang-kadang hanya untuk menunjukkan bahwa orang tua tidak memanjakan anaknya). Akibatnya adalah bahwa anak yang awalnya tidak bermasalah bisa sungguh-sungguh menjadi masalah karena selalu diberi stigma nakal. (dalam McCaghy, Capron & Jamieson, 2002: 348-349).
Sehingga ada peribahasa yang bijaksana, mengatakan “jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika ia dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri. Begitupun dengan anak yang dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri, dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri, dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Serta jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan”. (Rosani : 17 April 2006).
Kritik terhadap Labelling Theory
Kemampuan untuk menentang pemberian label terasa sangat penting daripada membahas permasalahan kriminalitas (penyimpangan di masyarakat). Masyarakat berusaha untuk tidak memberikan lebel secara gegabah kepada orang lain atau suatu kelompok tertentu, karena berdampak sangat panjang pada kehidupan seseorang atau kelompok yang di berikan label tersebut. Peranan budaya sangat penting karena sebagai tempat yang memiliki banyak norma-norma sosial yang berlaku. Terdapat beberapa kritikan terhadap teori labelling ini (Gove W (ed), 17 April 2006), seperti:
- Persoalan teoritikal bukan sangat eksplisit, karena Labelling Theory mengikuti teori interaksi simbolik dalam menerapkan studi deskripitif (memberikan informasi yang menjelaskan tentang budaya minoritas).
- Pemberian label menjadi variabel mandiri atau dependent, dengan kata lain, adalah suatu penjelasan dalam keejahatan atau menjelaskan kebutuhan golongan tertentu. Terkadang, nampak sebagai suatu variabel dependent, yaitu hasil hubungan kekuasaan dengan tingkatan toleransi yang berbeda, dan jarak sosial antara pemberi label dan penerima label. Perbedaan status nampak seperti sifat variabel yang menjelaskan paling utama, dan Gove mengusulkan pengujian ini dengan membandingkan ukuran sosial kecil dengan tingkat penyimpangan yang nyata, karena menjadi kelompok kecil lebih mungkin untuk diberikan label menyimpang.
- Mekanisme pemberian label perlu untuk diterangkan secara lebih detail. Khususnya, dalam suatu dugaan dari penyimpangan yang terkandung. Jika tindakan dari pelanggar atau penyimpang dapat dipisahkan secara analitis dari pemberi label yang pemberiannya sangat tergantung kepada penerima label, apakah bisa diterima ataukan tidak. Seperti dikatakan Gove yang mencurigai bahwa penyimpangan perilaku atau aktifitas sendiri merupakan suatu faktor aktif sedangkan dalam proses pemberiannya sangat relatif bagi orang lain. Karena sebagai contoh bagi penerima label, jika menentang semakin keras maka proses pemberi label akan semakin menekankan label tersebut, dan penyimpangan akan semakin kuat, karena ada faktor untuk memenuhi label tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, Labelling-Theory, Diakses tanggal 17 April 2006 www.goldenesays.com/free_essays/4/sociology/labelling-theory.shtml/
Becker, Howard., Overview of Labelling Theories. Diakses tanggal 17 April 2006. www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/soc/crime/labelling/
Glossary of Sociological Terms, Labelling theory. Diakses tanggal 17 April 2006. www.soci.canterbury.ac.nz/resource/glossary/index.shtml/
Gove W (ed)., BRIEF NOTES ON: Gove W (ed) The Labelling of Deviane. Diakses tanggal 17 April 2006. http://www.arasite.org/gove.html
Mulyana, Deddy., Komunikasi Populer, Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Pustaka Bany Quraisy, Bandung; 2005
Rosani T., Hak Anak. Diakses tanggal 17 April 2006. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239232&kat_id=3
Sarlito W. S. Pengaruh Opini Publik terhadap Teori, Diagnosis dan Terapi Gangguan Jiwa. Diakses tanggal 17 April 2006.
http://www.psikologiums.net/modules.php?name= News&file=print&sid=36
University of Leicester. Labelling Theory. Diakses tanggal 17 April 2006. http://www.le.ac.uk/education/resources/SocSci/labelling.htm
NB: Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh program pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar