Kamis, 12 November 2009

PENDEKATAN POST MODERNISME
DALAM ILMU-ILMU SOSIAL SELALU DIKAITKAN DENGAN
POSITIVISME DAN ANTI POSITIVISME

(I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si.)

A. SEKELUMIT TENTANG POST MODERNISME
Sains dalam masa modern mengklaim diri sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid dan melegitimasi dirinya dengan merujuk pada dua narasi besar: emansipasi manusia dan dialektika Roh. Narasi besar ini menjadi meta-narasi yang berfungsi menjamin adanya satu kebenaran tunggal yang berlaku universal. Dalam kondisi postmodern metanarasi semacam itu tak dapat dipercaya lagi. Sains dengan bahasa denotatifnya hanyalah sebuah permainan bahasa di tengah aneka permainan bahasa; satu jenis pengetahuan di antara pelbagai jenis pengetahuan. Tak ada determinisme universal; yang ada adalah determinisme lokal. Oleh karena itu sistem pemikiran yang belaku—dan dapat menciptakan keadilan—bukan homologi, melainkan paralogi.

Memasuki wacana filosofis postmodernisme, sebuah nama yang tak bisa tidak harus disebut adalah Jean-François Lyotard. Filsuf Prancis kontemporer (1924-1998) inilah yang dianggap untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “postmodern” ke dalam dunia filsafat. Sebelumnya istilah “postmodern” lebih banyak digunakan dalam bidang seni dan arsitektur. Lyotard membawa masuk istilah tersebut ke dalam filsafat lewat bukunya, La Condition postmoderne: rapport sur savoir (1979). Karyanya ini disusul dengan Le DiffĂ©rend (1983), sebuah buku yang menunjukkan upaya Lyotard untuk memberi pendasaran filosofis atas La Condition postmoderne yang sering dianggap lebih bersifat sosiologis. Berkat kedua buku ini nama J.F. Lyotard makin berkibar sebagai seorang postmodernis.

Postmodernisme, dalam ranah pengetahuan (knowledge), dimengerti oleh Lyotard sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi (metanarrative) atau narasi besar (grand narrative). Selama ini (dalam abad modern) ilmu pengetahuan ilmiah atau sains, sebagai salah satu wacana (discourse), mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid. Namun sains tak dapat melegitimasi klaimnya tersebut oleh karena ternyata aturan main sains bersifat inheren serta ditentukan oleh konsensus para ahli (ilmuwan) dalam lingkungan sains itu sendiri. Sains kemudian melegitimasi dirinya dengan merujuk pada suatu meta-wacana (meta-discourse); secara konkrit sains melegitimasi dirinya dengan bantuan beberapa narasi besar seperti dialektika Roh, hermeneutika makna, emansipasi subyek yang rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia.

Lyotard menyatakan yang menjadi obyek studi adalah kondisi pengetahuan dalam masyarakat yang terkomputerisasi, khususnya pengetahuan ilmiah atau sains. Perkembangan teknologi informasi membawa dampak yang serius bagi pengetahuan. Sekarang ini pengembangan sains (melalui riset) dan transmisinya mengandaikan bahwa pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa komputer menjadi sejumlah informasi (quantities of information). Akibatnya, pengetahuan sudah tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan sekarang menjadi komoditas untuk diperdagangkan. Cara lama untuk memperoleh pengetahuan, yakni dengan melatih pikiran (Bildung), juga telah menjadi usang. Relasi antara penyuplai dan pengguna pengetahuan terhadap pengetahuan itu sendiri cenderung menjadi mirip seperti relasi antara produsen dan konsumen terhadap komoditas.

Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001: 95-97).

Lyotard berhipotesis bahwa status pengetahuan dalam masyarakat informatika telah berubah. Perubahan ini menimbulkan problem serius, yakni masalah legitimasi ilmu pengetahuan ilmiah atau sains. Dalam konteks hukum sipil legitimasi adalah proses di mana legislator yang memiliki otoritas menetapkan hukum-hukum tertentu sebagai norma. Dalam konteks pengetahuan ilmiah, agar sebuah pernyataan (tesis atau teori) diterima sebagai sebuah pengetahuan yang “ilmiah” pernyataan tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Dalam hal ini legislator menentukan sejumlah persyaratan (biasanya konsistensi internal/kelogisan serta verifikasi atas suatu pernyataan) dan yang bertindak sebagai legislator adalah komunitas ilmiah. Dengan demikian menjadi terang bahwa persoalan legitimasi ini selalu terkait erat dengan persoalan kekuasaan (power).

Lyotard mengatakan bahwa hak untuk menentukan apa yang “benar” tidak terlepas dari hak untuk menentukan apa yang “adil”. Ada kaitan erat antara bahasa sains dengan bahasa etika dan politik, sebagaimana perubahan pengetahuan itu juga berimbas pada kekuasaan publik (publik power) dan institusi-intitusi sipil. Pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi dari sebuah pertanyaan yang sama: who decides what knowledge is, and who knows what needs to be decided? Dalam abad komputer ini pertanyaan mengenai pengetahuan, lebih daripada sebelumnya, merupakan pertanyaan mengenai pemerintahan (kekuasaan).

Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity). Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri” (Giddens, 1990: 45-53, 150-173).

Bambang Sugiharto dalam tulisannya mengatakan bahwa “postmodernisme” memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa....suatu istilah yang “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya, bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti “filsafat”, “rasionalitas”, dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara radikal. Problem postmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat fungsi transformatifnya. Muncullah metafor mula-mula diperkenalkan oleh Ricoeur yang dapat menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan yang diajukan oleh postmodernisme. Metafor tidak menunjukkan suatu kebenaran absolut, melainkan suatu “kebenaran yang bertegangan” (tensional truth) (Bambang Sugiharto, 1996: 16-18).

Selama ini terdapat pembedaan yang tegas antara pengetahuan ilmiah dan narasi. Dalam pandangan modern yang dapat disebut pengetahuan hanyalah yang ilmiah (sains). Narasi dianggap sebagai sesuatu yang primitif, tradisional, terbelakang, penuh prasangka, dsb. Pembedaan semacam ini sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu pengetahuan ilmiah adalah sebuah permainan bahasa yang memiliki aturannya sendiri sehingga tidak dapat memvonis narasi sebagai dongeng, legenda, atau mitos yang “bukan pengetahuan”. Narasi adalah sebuah permainan bahasa lain yang memiliki aturan mainnya sendiri. Ilmu pengetahuan ilmiah tidak dapat menilai negatif narasi yang berada di luar kompetensinya.

Berbeda dengan narasi, pengetahuan ilmiah sangat berkepentingan dengan masalah legitimasi. Seorang sender yang mengeluarkan penyataan harus dapat menyodorkan bukti (proof) bahwa pernyataannya itu benar serta harus bisa menentang pernyataan lain yang menyanggah pernyataannya. Addressee yang memiliki otoritas untuk menyetujui atau menolak sebuah penyataan ilmiah haruslah orang yang memiliki kapabilitas dalam bidang ilmiah. Kebenaran sebuah pernyataan dan kompetensi seorang sender ditentukan oleh komunitas ilmiah, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan ilmiah setara.

Yang terjadi dalam abad modern adalah bahwa sains hendak melegitimasi kebenaran pernyataan-pernyataannya namun tidak memiliki sumber-sumber legitimasi pada dirinya sendiri sehingga mereka justru meminta bantuan narasi untuk melegitimasi dirinya. Digunakannya permainan narasi dalam legitimasi pengetahuan sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Plato. Plato, misalnya saja, melegitimasi pengetahuan yang sempurna (episteme) dengan narasi tentang Gua. Kemudian Aristoteles mencari legitimasi sains dalam wacana mengenai Ada (metafisika). Saran Aristoteles yang lebih “modern” adalah bahwa pengetahuan yang ilmiah, termasuk pretensinya untuk mengungkapkan “ada” dari referent, terdiri dari argumentasi dan bukti suatu dialektika.

Pergulatan sains modern dengan masalah legitimasi ini memunculkan dua kisah. Yang pertama, sains berusaha meninggalkan pencarian metafisis untuk mendapatkan bukti pertama (first proof) atau otoritas transendental (transendental authority) ketika ia dihadapkan pada pertanyaan: “Bagaimana kamu (sains) membuktikan buktimu?” atau “Siapa yang memutuskan syarat-syarat kebenaran?”. Rupanya telah disadari bahwa syarat-syarat kebenaran itu yaitu aturan main dalam sains (imanen) di dalam permainan sains sendiri. Maksudnya, aturan-aturan main itu ditetapkan dalam suatu debat (diskursus) ilmiah para ilmuwan dan tidak ada bukti lain bahwa aturan-aturan itu memang baik kecuali konsensus atau kesepakatan para ilmuwan sendiri. Yang kedua, mengiringi kecenderungan modern untuk menentukan aturan main suatu wacana (discourse) dengan dan di dalam suatu diskursus, makin menguatlah kultur naratif. Menurut Lyotard, fenomena ini terlihat dalam Humanisme Renaissance, Abad Pencerahan, Idealisme Jerman, dan sekolah sejarah di Prancis. Ia mengatakan: narration is no longer an involuntary lapse in the legitimation process. Dengan lebih tegas dapat dikatakan bahwa sains secara eksplisit meminta bantuan narasi dalam proses legitimasinya.

Berdasarkan pandangan bahwa legitimasi sains tidak dapat dicapai dengan suatu homologi yang hendak mencari satu ide pokok yang terarah pada kemajuan (progress) melainkan dengan paralogi, kita dapat melihat bahwa postmodernisme bagi Lyotard rupa-rupanya bukan sekedar sebuah periode setelah modernisme melainkan suatu cara yang sebagai kemungkinan sudah terdapat dalam modernisme, yaitu modernisme pada saat kelahirannya. Postmodernisme adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus. Postmodernisme adalah suatu tugas yang harus kita kerjakan sekarang. Lyotard mengatakan: Let us wage a war on totality; let us be witness tho the unpresentable; let us activate the differences and save the honor of the name. Pengetahuan postmodern bukan hanya sekedar alat di tangan penguasa; pengetahuan postmodern meghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap yang tak terukur (the incommensurable).

B. SEPINTAS TENTANG POSITIVISME DAN ANTI POSITIVISME
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (sekitar 1825). Filsafat ini berangkat dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif (empiris). Apa yang kita ketahui secara positif adalah segala hal tampak dari gejala. Oleh karena itu metafisika ditolak. Demikianlah positisme membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan adalah segala fakta yang menyajikan diri sebagai penampakan atau gejala. Pendekatan positivisme selalu memandang keabsahan sebuah teori, setelah melalui serangkaian proses pengujian ilmiah. Faktor subjektif dari individu tidak jadi pertimbangan, penilaian lebih besar pada faktor objektif yang kelihatan. Inilah karakteristik aliran positivisme yang cenderung bersifat empiris. Positivistik, dalam teorinya menekankan pada pemakaian konsep-konsep ilmiah secara tegas dalam setiap pembahasan ilmu sosial. Dalam melihat suatu fenomena, aliran ini melihat berdasarkan fenomena yang kelihatan itu sendiri. Sesuatu yang bisa dikatakan ilmiah adalah sesuatu yang bisa diuraikan dan dijelaskan secara nyata, dan teruji secara empiris, melalui serangkaian pengujian hipotesis dengan analisis statistika yang ketat. Karena keterikatannya dengan perhitungan matematis, kerap juga aliran ini disebut sebagai aliran objektif. (Muhadjir 2001:69)

Kajian positivistic menggambarkan dua sumber filosofi Western. Dari filosofi idealistic kemudian mengembangkan pemikiran konservatifnya dalam memandang masyarakat. Melalui empirisme, isu naturalization menjadi isu sentral dan tonggak paham ini, dan kemudian sebagai kajian analisis ilmiahnya adalah the society. Empirisme merupakan asas filsafat yang dikembangkan oleh Bacon (1561-1626) dan Hume (1711-1776). Asumsi pokok yang mendasari aliran pemikiran ini adalah bahwa pengalaman atau panca indera merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, dimana panca indera itu sendiri tidak mungkin berbohong. Jika ada kesalahan dalam pengetahuan, demikian keyakinan empirisme, maka kesalahan itu bukan terletak pada pengetahuannya, tetapi pada interupsi manusia. Ini berarti, bahwa pengetahuan yang dimaksud oleh empirisme adalah pengalaman langsung dari panca indera. Umumnya teori ini lebih banyak dipakai dalam pendekatan ilmu-ilmu eksakta. Positivisme berkeyakinan bahwa masyarakat bisa dimajukan dan diselamatkan selama mau tunduk pada hukum dan metodologi ilmu pengetahuan alam. Konsekwensinya, subjektifitas, kepentingan dan kehendak manusia harus dipisahkan atau dilepaskan dari objek pengamatan. Dalam artian fakta dipisahkan dari nilai demi menuju pada pemahaman objektifitas atau realitas.

Seorang Filosof, Berkeley yang menyatakan bahwa realitas sebagai buah dari pengalaman seseorang dalam mengenai kenyataan, melalui pemikiran keIlahian (God) dijelaskan bagaimana struktur subjektif individu mengenali apa itu kenyataan objektif. Hegel mamandang realitas sebagai representasi dari proses histori dan perkembangan masyarakat. Kemudian, masuklah pandangan dari Nietzsche dan Schopenhauer yang menekankan kekuatan hukum gravitasi sebagai kajian idealisme irasional dan an idealism of the will . Di sini terjadi perpaduan antara filsafat idealisme subjektif Berkeley dan Idealisme transenden Hegel. Dari sinilah muncul positivisme sebagai sebuah gerakan pemikiran. Kemudian menjadi kaidah dari prosedur norma keilmuan yang efektif. Novum Organum (1602) dan berbagai pemikiran FrancisBacon menjadi awal positivisme modern. Spirit positivisme empiris kemudian mendapat tambahan tenaga dari para empiris British (Locke, Berkeley, dan Hume), dan para utilatiraian Perancis dan Inggris (Condilac, Helvetius, Voltaire, Bentham dan John Stuart Mill).

Selanjutnya pemikiran positivisme banyak mewarnai penelitian-penelitian komunikasi, yang ditandai dengan munculnya model-model linear dan sangat mekanistis. Perkembangan model ini masih terus berlanjut sampai sekarang. Hal yang hendak dicari oleh paradigma positivisme adalah hukum-hukum itu manusia dapat memanfaatkan alam demi kebutuhannya. Dengan demikian dalam menjalankan penelitian dan merumuskan teori-teori sosial seorang ilmuwan sosial sesungguhnya sudah diarahkan oleh kepentingan teknis untuk mencapai efisiensi, efektifitas dan produktivitas.

Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, 'fixed law' atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap 'appropriate' untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode "scientific". Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial. Habermas, seorang penganut teori Kritik melakukan kritik terjadap positivisme dengan menjelaskan berbagai katagori pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai 'instrumental knowledge' atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap obyeknya. Kedua, 'hermeneutic knowledge' atau interpretative knowledge, dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah 'critical knowledge' atau 'emancipatory knowledge' yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalys untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik.

Paham anti positivisme atau post positivisme merupakan aliran yang lahir dari untuk memperbaiki kelamahan-kelamahan yang ada pada positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan penagamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologyaliran ini bersifat critical realism, yang memandang sama bahwa realitas memang ada dalam kenyataan bahwa sesuai dengan hukum alam. Akan tetapi suatu hal yang tidak mungkin bila realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia. Pada penelitian ilmiah secara epistimologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan pada aliran positivisme. Positivisme menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Karena itu, hubungan antara peneliti dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal.

C. KETERKAITAN POSTMODERNISME DENGAN POSITIVISME DAN ANTI POSITIVISME
Setelah memahami beberapa pembahasan dari filosof-filosof diatas, maka saya dapat menyimpulkan mengapa post modernisme selalu dikaitkan dengan aliran positivisme dan post positivisme. Bangkitnya pendekatan post modernisme ditengah-tengah perhelatan pemikiran-pemikiran masa modern dianggap sudah tidak relevan lagi, sehingga diperlukan suatu pemahaman lebih konfrehensif mengenai tatanan pola pemikiran yang mengetengahkan tentang sejauh mana realitas dapat dijadikan objek sains. Pemikiran ini muncul dikarenakan bahwa semua gejala alam tidak semuanya dapat dipetakan dalam ukuran-ukuran yang eksakta, atau objektif semata, tetapi perlu pengkajian yang lebih mendalam dan subjektif. Pemikiran tersebut terbentuk seiring semakin berkembangnya pemahaman manusia tentang ranah kehidupan yang semakin kompleks dan hanya bisa dijangkau dengan alat pikir yang namanya logika dan melibatkan segenap ranah rasa yang ada pada pada pola pikir manusia. Manusia semakin dapat menjelaskan bahwasannya gejala alam yang ditemukan sebagai bentuk pengalaman yang bisa saja menurut sebagian peradaban manusia terdahulu sangat berbeda pemahamannya. Sehingga untuk peradaban selanjutnyapun akan memerlukan pergeseran pemikiran yang berbeda pula.

Bentuk kristalisasi pengalaman subjektifitas tersebut yang sudah menjadi objektif dalam aliran positivistik. Hal ini diperjelas lagi oleh Lyotard, Derida dan Jameson bahwa pemikiran modern tak berarti lebih benar daripada post modernisme atau sebaliknya. Demikian pula pula kondisi ini diilustrasikan kembali oleh Millis (1959) dalam Antonio and Kelner, Smart 1993, dengan pengungkapan yang sangat bijak “ Kita berada di penghujung dari apa yang disebut abad modern digantikan oleh post modern”. Dipahami atau tidak bahwa post modernisme sangat memberikan peluang bermacam-macam teori, dengan demikian tidak memandang adanya hegomoni/penguasaan cultural tertentu.

Dalam catatan Bambang Sugiharto ”Foucault dan Posmodernisme” ada beberapa kecenderungan dasar umum posmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya:
1. Kecenderungan menganggap segala klaim tentang "realitas" ( diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis;
2. Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi" objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);
3. Realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem (pluralisme);
4. Paham tentang "sistem" sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan "jaringan", "relasionalitas" ataupun "proses" yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis;
5. Dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah "postmodernisme" sendiri pun mesti dimengerti dalam interrelasinya dengan "modernisme", alih-alih melihatnya sebagai oposisi);
6. Melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb.; serta
7. Menghargai segala hal "lain" (otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (mis. kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).


DAFTAR REFERENSI
Anderson, P. 2004, Asal-Usul Post Modernisme, Insight Reference, Jogyakarta
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001.
Fakih, M & Rahardjo, T. 2005, Pendidikan Yang Membebaskan. Diakses tanggal 30 November 2005, dari :
www.filsafatkita.f2g.net
Lyotard, J.F. 2004, Post Modernisme, Krisis dan Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Cetakan Pertama, Teraju, 2004
Mudhafir, Ali. Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Bambang Sugiharto, I., Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
NB; Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh pendidikan pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar