Kamis, 12 November 2009

KETIDAKSEIMBANGAN SISTEM YANG MENGUNDANG KONFLIK DAN REAKSI PERLAWANAN SERTA MENIMBULKAN GEJALA KEHILANGAN LEGITIMASI DAN MOTIVASI DARI BENTUK-BENTUK INTEGRASI MASYARAKAT PASCA LIBERAL

(I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si)

Pada tingkat diferensiasi sistem lahirlah masyarakat modern, mula-mula masyarakat kapitalistis dan kemudian karena keterbatasan masyarakat kapitalistis, lahirlah masyarakat sosialis birokratis. Modernisasi dengan jalur perkembangan kapitalis mulai terbuka begitu sistem ekonomi mengembangkan dinamika pertumbuhannya sendiri. Disertai permasalahan yang muncul dalam modernisasi maka sebagai ujung tombaknya adalah modernisasi itu sendiri. Otonomi akan muncul bila otonomi tersebut mengenai pada tindakan administratif yang sama pada sistem ekonomi dengan landasan alat produksi yang diambil alih oleh negara secara besar-besaran dan dalam kekuasaan suatu partai dengan kelembagaannya.

Habermas memandang kapitalisme sebagai distorsi modernitas. Dengan perspektif itu, kita melihat hubungan negara-pasar. Dalam hubungan negara sebagai entitas politik, kapitalisme mendesak negara ke dalam fungsi-fungsi teknis dan instrumental ketimbang membawa fungsi-fungsi moral. Desakan kuat kapitalisme pasar menciptakan apa yang disebut Habermas kesadaran teknokratis. Kesadaran ini diikuti munculnya rasionalitas instrumental. Lembaga pemerintah modern (baca: negara) serta struktur kapitalisme industrial telah menciptakan kesadaran demikian, pada gilirannya mengonstruksi berbagai tindakan, kesadaran, dan struktur politik di bawah negara seperti partai politik. Bahkan tumbuhnya kelas kritis seperti LSM, lembaga watching, di hampir semua sektor pemerintahan sampai sejauh ini tidak mengurangi berbagai distorsi dalam pemerintahan. Bahkan tingkat korupsi di negara kita kian menyebar seiring penyebaran gerakan antikorupsi. (Wirasenjaya, A. M.,
http://www.kompas.com )

Adanya ketidakseimbangan sistem muncul sebagai krisis, jika prestasi ekonomi dan negara tetap berada di bawah tingkat tuntutan yang sudah mapan dan merugikan reproduksi simbolis dunia kehidupan dengan jalan mengundang konflik dan reaksi perlawanan. Konflik dan reaksi itu langsung menyentuh komponen-komponen masyarakat dunia kehidupan. Sebelum konflik semacam ini membahayakan daerah inti integrasi sosial, ia disingkirkan ke pinggiran, sebelum muncul situasi yang bersifat anomi, timbullah gejala kehilangan legitimasi serta motivasi. Namun jika ia berhasil mengatasi krisis pengendalian, yaitu gangguan yang terlihat pada reproduksi material, melalui pengambilalihan kembali sumber daya dunia kehidupan. Sumber daya kehidupan merupakan sumbangan bagi reproduksi budaya, integrasi sosial, dan sosialisasi.

Integrasi masyarakat yang terjadi setelah sistem liberal dunia kehidupan telah mengalami perubahan. Integrasi yang dimaskud tentang adanya perpaduan sistem-sistem dalam masyarakat yang berlangsung dalam masyarakat liberal dimana memandang segala sesuatu dengan sudut pandang kebebasan dan kapitalisme. Liberal terjadi karena semakin kokohnya pembentukan pribadi-pribadi yang individualistik dalam sistem masyarakat. Pengaruh aspek tuntutan persaingan global menghendaki adanya kompetisi yang berani dan cenderung tidak terkontrol dari setiap usaha masyarakat.

Keadaan sistem yang tidak seimbang terjadi karena adanya pergolakan sistem yang semakin kompleks dari tatanan kehidupan masyarakat. Terjadi saling ketidakharmonisan antara komponen-komponen masyarakat yang memungkinkan setiap aspeknya berbenturan satu sama lainnya. Di satu sisi menghendaki adanya faktor subjektik hakekat manusia dan di satu sisi mengarah kepada paham objektifistik. Ketidakseimbangan terjadi sebagai dampak kurang kuatnya tatanan dimensi masyarakat dalam menopang peradaban yang semakin berubah, sehingga akan terjadi kegoncangan-kegoncangan yang tidak stabil.

Sistem yang telah ada selama ini kurang mendukung pergerakan masyarakat yang semakin cepat berubah ke arah disorientasi sistem. Sistem terlalu lemah dalam keadaan terpecah belah ke dalam dimensi-dimensi ranah kehidupan individualistik, sebagai akibat adanya perbedaan perkembangan di berbagai belahan dunia. Dalam artian terjadi ketidak seimbangan antara perubahan berbagai negara di belahan barat dan juga timur. Hal ini banyak dipengaruhi karena gaya sistem yang kuat dan sistem yang lemah yang mengakibatkan terjadi penyimpangan paradaban, baik dalam perekonomian, politik, dan juga sistem yang diterapkan.

Kesadaran sosial masyarakat meningkat dengan kebebasan yang diharapkan dapat tercapai, sehingga masyarakat semakin kolaps karena identitas yang rancu dalam kaitannya dengan peran diri sosialnya. Sistem tak berdaya dalam mewujudkan kebebasan ini, dan secara perlahan menciptakan ketidakharmonisan tatanan masyarakat. Konflik akan terjadi sebagai dampak pencarian kebebasan identidas tersebut, karena ketidakjelasan yang tak berujung antara dimensi-dimensi perubahan status. Kebebasan yang dimaksud semestinya adalah kebebasan yang dapat diperdebatkan di hadapan publik (public debate), yang mengarah pada keterbukaan bersama, sehingga masing-masing komponen mengetahui sejauh mana nilai objektif yang terjadi. Tak dapat dipungkiri disini peran media yang begitu besar terhadap ruang kebebasan informasi disini, karena dengan media yang tanpa rekayasa akan muncul keterbukaan yang bisa diterima semua komponen sistem.

Kebudayaan dan kepribadian akan dirusak demi kepentingan stabilitas masyarakat yang dapat mengatasi krisis. Sebagai ganti gejala anomi (sebagai ganti hilangnya legitimasi dan motivasi untuk anomi) timbul gejala keterasingan dan ketidakpastian identitas kolektif. Gejala ini disebabkan oleh kolonialisasi dunia kehidupan dan dinamakan sebagai kongkretisasi kehidupan sehari-hari yang komunikatif.

Perbedaaan budaya dan kepribadian menyebabkan terjadinya perbedaan telaah persepsi dari masing-masing sistem masyarakat, sehingga perlu adanya penyatuan pandangan yang memungkinkan komponen masyarakat bersatu menghadapi tuntutan perubahan. Krisis terjadi karena keadaan moralitas yang anjlok, karena kekuatan yang tidak sebanding dengan harapan masyarakat yang bergerak cepat. Masa kolonialisme secara tak disadari telah menyisakan beban yang berat dalam pola pemikiran tentang tantangan kehidupan bermasyarakat dan negara. Masa kolonialisasi telah berdampak pada keadaan moral yang tertekan karena legitimasi yang serampangan.

Anomi terlihat sebagai dampak integrasi yang salah dalam memaknai kehidupan. Dan selanjutnya mengakibatkan adanya gangguan legitimasi, peran identitas tak lagi menjadi sebuah usaha yang harus terpenuhi karena setiap bangsa dan negara telah berbaur menjadi suatu peradaban yang baru. Kebebasan yang diinginkan seyogyanya berjalan sesuai perubahan sistem yang terjadi tanpa terbawa oleh perubahan sistem tersebut. Karena kebebasan yang terjadi malah akan membuat peran identitas menjadi takabur atau tidak jelas.

Gejala disintegrasi muncul sebagai cermin meningkatnya kesadaran politik warga. Mereka menuntut hak akan kebebasan, kesejahteraan, serta martabat kemanusiaan. Kesadaran yang dimaksud merupakan kesadaran yang alamiah yang berorientasi pada hak asasi manusia, yang pemaknaannya bagi masing-masing komponen masyarakat mungkin saja berbeda. Kesejahteraan juga diasumsikan sebagai hal yang tidak konsisten karena bagi setiap negara mempunyai persepsi yang berbeda dalam mendefinisikan kesejahteraan tersebut. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan martabat asasi manusia yang dapat dilihat dari berbagai dimensi kehidupan dan sesuai konteks keadaan sosialnya. Masyarakat yang mengalami disorientasi diri seakan terjebak dalam sistem yang lemah, dengan disharmonisasi yang tak berujung.

Sebagaimana dikatakan Habermas bahwa keadaan negara yang dinaungi oleh integrasi semu atau “kosmetik semu” tentang perekonomian yang impresif meski dari penglihatan asasi, progres tidak selalu berkorelasi dengan kebahagiaan, demokrasi, dan keadilan sosial (cf. Habermas 1994). Integrasi secara realitas hendaknya membawa perubahan masyarakat yang lebih teratur dan memungkinkan setiap anggota masyarakat menikmati kesejahteraan tetapi yang terjadi disini malah kesejahteraan yang semu yang hanya dinikmati oleh golongan tertentu saja. Perubahannya sangat jauh dari harapan ideologis masyarakat yang menghendaki keteraturan dan keadilan sosial.

Krisis sesungguhnya menurut Habermas, akan terjadi jika krisis itu dialami oleh para individu sebagai sesuatu yang mengancam identitas dan eksistensi sosial mereka dalam hubungannya dengan nilai-nilai, norma, dan makna-makna kultural. Dalam hubungan ini, Habermas mencoba melihat adanya krisis sistemik dan krisis yang dialami atau krisis identitas. Krisis yang sesungguhnya terjadi kalau krisis sistemik menjadi krisis identitas yang mengancam bukan hanya integrasi sistem, tapi terlebih integrasi sosial. Untuk itu dibutuhkan paradigma dunia kehidupan, bagaimana masyarakat modern ini menjaga kelangsungan hidup dan identitasnya, atau menurut istilah Habermas, melangsungkan "proses-proses reproduksi" dalam kehidupan.

Lebih lanjut, krisis legitimasi, bagi Habermas, lahir dari krisis ekonomi yang beruntun dialami kapitalisme dan pengaruhnya menyebar ke mana-mana, termasuk politik, sosial dan budaya. Krisis legitimasi, khususnya di bidang politik, akibat terjadinya konflik berkesinambungan di kalangan elite, yang mengubah struktur sistem tindakan dan kepribadian para pendukungnya sampai ke akar rumput. (Sudira, I M., http://www.balipost.co.id/)

Kalau kekuasaan berasal dari rakyat, dan kalau rakyat kemudian tunduk kepada penguasa yang telah menerima kekuasaan dari mereka, maka adalah kewajiban penguasa untuk membuktikan bahwa dia layak mendapat kepercayaan rakyatnya, dan bahwa ketundukan rakyat kepada kekuasaannya mempunyai alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Legitimasi adalah kelayakan sebuah orde politik untuk mendapatkan pengakuan dari rakyatnya, suatu Anerkennungswuerdigkeit einer politischen Ordnung, (Kleden, http://www.seasite.niu.edu/)

Legitimasi berarti terdapatnya keabsahan bagi sistem masyarakat dalam membuat tatanan peradaban yang lebih maju dan sesuai dengan tuntutan perubahan. Tetapi karena adanya penyimpangan dan ketidakseimbangan dalam sistem maka menimbulkan konflik dan reaksi perlawanan. Konflik tercetus karena ketidaksesuaian antara kebutuhan-kebutuhan hidup dalam masyarakat. Masing-masing aspek kehidupan menghendaki kebutuhan yang berbeda dalam sistem, sehingga cenderung berbenturan satu sama lain. Baik konflik horisontal maupun vertikal terjadi karena tidak berjalannya komunikasi yang efektif dalam sistem. Baik dari satu komponen terbelenggu dengan identitas diri sendiri sehingga kurang menyadari keberadaan komponen lain, yang semestinya terjadi perpaduan yang membangkitkan kekuatan baru dalam perubahan.

Reaksi perlawanan sebagai dampak dari ketidakpuasan penerapan sistem baru yang ada, karena miskomunikasi telah membuat komponen-komponen bungkam dalam informasi. Perlawanan vertikal tampak terlihat yang terjadi di masyarakat, dengan adanya permusuhan antara masyarakat terhadap pemerintahan, antara karyawan yang mengeluhkan gaji dan lain sebagainya. Perlawanan vertikal ini menandakan perlunya komunikasi yang interaktif antara yang diatas dengan bawahan. Sehingga apa yang namanya kekuasaan menjadi tidak mutlak yang sewaktu-waktu bisa terancam keberadaannya bila tidak sesuai dengan aspirasi perubahan. Akumulasi kekuasaan begitu lemahnya sehingga biasanya siapapun yang memegangnya memerlukan kekuatan yang lebih agar tak mudah tergilas dalam sistem yang menakutkan.

Habermas menyoroti bahwa segala bentuk kekuasaan seharusnya tidak hanya dilegitimasikan, tetapi juga bisa dirasionalisasikan. Dalam kekuasaan, rasionalisasi diejakan dengan model komunikasi antara subyek dan obyek. Dengan merasionalisasikan legitimasi diharapkan bahwa pengaruh-pengaruh perubahan dapat lebih kuat dan dapat mengahdapi tantangan yang lebih kompleks. Kekuasaan yang mempunyai nilai rasionalisasi akan berkembang sesuai dengan perubahanyang menyertainya, karena dasar pola pikirnya merupakan perosalan yang objektif, yang harus selalu terdapat pembuktian diri secara kongkret.

Dalam bahasa teori politik modern, nilai-nilai dikembangkan lebih lanjut dan bahkan mengamini bahwa legitimasi kepemimpinan akan mengalami krisis kalau nilai-nilai etis hilang dari pemimpin. (Habermas,1975). Inti pandangan ini mengetangahkan betapa pentingnya keteladanan kepemimpinan. Karena bagi sebuah negara yang mempunyai pemimpin yang bertalenta kuat dan mempunyai visi jauh kedepan dan bisa diterima di semua kalangan merupakan pemimpin yang mampu mempertahankan legitimasinya. Sejauh inipun legitimasi dalam sebuah negara cenderung jauh dari nilai-nilai yang diinginkan bersama, karena ada saling tarik menarik antara satu komponen sistem yang kadang menimbulkan gesekan fatal bagi legitimasi. Setidaknya bagi pemimpin suatu sistem mesti memberi ketaladanan yang kokoh dalam setiap kebijakannya, dan sistem yang kokoh adalah sistem yang bisa menyikapi segala permasalahan dari berbagai sudut pandang dan dimensi kehidupan.

Bagi Habermas, kerja sama sosial masyarakat pluralistik modern dapat stabil dan berkelanjtan hanya apabila kerja sama sosial itu didasari prinsip keadilan. Tapi ada banyak konsep keadilan sosial. Bukankah sosialisme/komunisme sebagaimana diklaim pendukungnya sudah merupakan ideologi keadilan karena menekankan prinsip kesamaan (equality) kontras dengan liberalisme yang menekankan prinsip kemerdekaan (liberty)? Bagi Rawls dan Habermas, keadilan sosial tidak lagi cukup dipahami sebagai hanya menekankan salah satu prinsip saja; keadilan sosial sekaligus. Keadilan sosial tidak hanya berarti kecukupan nasi, tapi juga kecukupan demokrasi.

Dengan adanya legitimasi yang tidak legitimit ada kecenderungan mematahkan motivasi yang mengancam pada sistem legitimasi itu sendiri. Kepemimpinan menjadi mudah goyah dan menjadi sangat rentan terhadap pergolakan dari arus bawah. Motivasi yang telah menyusut menimbulkan kurangnya aspirasi yang bersifat membangun pada kemajuan dunia baru, dan gagasan keadilanpun hanya akan menjadi sebuah khayalan belaka. Pemimpin yang legitimite dikehendaki mampu menciptakan suatu tatanan komunikasi yang efektif dalam informasi perubahan dalam konteks memotivasi semua aspek dan komponen secara komprehensif. Karena dengan motivasi yang sempurna tersebut sebagai awal dari kestabilan baik ekonomi, politik maupun dalam kehidupan sosial.


DAFTAR PUSTAKA
Evers, Hans Dieter. 1988. Teori Masyarakat; Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kleden, I., Oposisi dalam Politik Indonesia. Diakses tanggal 04 Februari 2006, dari: http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Kompas_perbandingan/opos4.htm
Sihotang, kasdin. Suara pembaharuan 25 September 2004, Keberanian Memutus Rantai Korupsi. Diakses tanggal 16 Februari 2006, dari: http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=1
Sudira, I M., Bali Post 3 November 2004, Ruang Publik Pembelajaran Politik. Diakses tanggal 04 februari 2006. http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/11/3/o2.htm
Wrasenjaya, A.M., Kompas 23 April 2004, Munculnya Elite Produksionis . diakses tanggal 04 Februari 2006, dari : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/23/opini/984576.htm

NB: Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh pendidikan pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar