Kamis, 12 November 2009

MENUJU ERA GLOBALISASI
I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si
(Dosen Politeknik Negeri Bali)

Ketika kita mendengar kata globalisasi, tentulah yang tergambar pada pikiran kita tentang hubungan ruang dan waktu yang semakin sempit dan memungkinkan bagi setiap manusia, setiap bangsa atau setiap kemunitas melakukan hubungan yang tanpa batas dalam konteks kempetisi objektif semua aspek kehidupan.
Permasalahan yang muncul, kenapa kita mempersalahkan globalisasi dewasa ini, yang disadari atau tidak telah terasa sejak akhir abad ke-20, ada beberapa hal yang perlu kita renungkan bersama dalam menanamkan makna globalisasi peradaban dunia saat ini. Pertama, sejak berakhirnya abad ke- 20 kita memasuki era milinium ke III, yang merupakan awal didengungkannya globalisasi atau era kesejagatan. Kedua, kita menyadari bahwa globalisasi merupakan faktor utama yang telah mengguncang hampir segala sendi kehidupan manusia, bangsa, negara dan masyarakat khususnya Indonesia. Globalisasi masuk ke Indonesia lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan kita untuk dapat menerima dan mengolahnya bagi kemajuan kita, satu dan lain hal karena selama ini ketahanan nasional kita diletakkan kepada kekuatan-kekuatan yang sifatnya semu.
Globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Semangat pencerahan Eropa di abad pertengahan yang mendorong pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi industri dan transportasi di abad ke-18 juga merupakan pendorong tren globalisasi. Yang membedakan dengan arus globalisasi yang terjadi setidaknya dua-tiga dekade belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. (Ari A. Perdana, http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?)

Sejarah Lahirnya Istilah Globalisasi
Versi yang paling lama adalah ketika pusat dunia ada di Timur Tengah. Sekitar tahun 700-an sampai 1200-an. Itu dianggap semacam globalisasi pertama karena banyak sekali sumber daya dunia disedot ke sana. Kemudian, ada ahli yang berpendapat bahwa globalisasi mulainya kira-kira tahun 1492 dengan Colombus. Sejak itu sampai hari ini terjadilah yang disebut globalisasi. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa globalisasi tidak hanya menyangkut seperti yang terjadi sekarang seperti di bidang ekonomi dan politik, melainkan juga soal agama. Karena itu, Kristianitas atau Islam adalah agama yang mengglobal saat itu. Berdasarkan data statistik tentang gejala-gejala, baik agama, ekonomi, politik maupun kultural, lebih menunjuk globalisasi yang sekarang baru terjadi kurang lebih sekitar awal dekade 80-an. Dari seluruh interaksi, ada di data interaksi global, jelas sekali terjadi lompatan atau semacam ledakan bahkan. Entah interaksi finansial, ekonomi politik maupun kultural.
Bagaimana wajah globalisasi itu? Wajah globalisasi sehari-hari, pertama, misalnya bagaimana tabungan kita yang ada di bank bukan hanya ditentukan oleh pemerintah. Entah itu pemerintahannya SBY, Megawati, Soeharto, Gus Dur atau Habibie. Melainkan juga sangat tergantung pada apa yang terjadi dengan bursa saham di New York, Tokyo, London, atau Frankurt. Kedua, banyak sekali kebutuhan-kebutuhan hidup kita, mungkin Anda tidak sadar, tetapi film-film yang Anda tonton di bioskop adalah hasil penguasan sekitar enam-tujuh perusahaan film di dunia saja. Mereka amat sangat menentukan apa yang kita tonton. Dalam banyak hal juga menentukan pembentukan selerea kultural kita. Itu bukan terjadi di film saja, tetapi dalam musik juga. Selera kultural secara keseluruhan amat sangat ditentukan oleh kinerja globalisasi dewasa ini. Jadi bukan hanya film atau musik, tetapi juga bungkus kultural secara keseluruhan. Termasuk pengadaan barang kita sehari-hari seperti sandang dan pangan.

Hakekat Globalisasi
Globalization is a complex phenomenon, fraught with contrasts. It promises to brim fully into active Patti, Potion in the world economy two billion women and men in the fast growing countries. But hundreds of millions of other individuals fear that the same forces threaten to shut them out from the promise of prosperity they are unemployed or low wage earners in sectors of industry, economies that had been lagging behind in the process of change. They are too the poor and jobless of many developing countries that depend on few commodities barely touched by globalization. (John H. Dunning and K/ia/il A. Hamdani)
Bagi sementara orang globalisasi dipandang sebagai bagian dan proses integrasi umat manusia, namun bagi yang lainnya globalisasi justru dirasakan sebagai ancaman disintegrasi dan marginalisasi kemanusiaan secara total dan semesta. Ada yang mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the intensification of the world consciousnes of the world as a whole” (Robertson). Ada yang memandang globalisasi sebagai proses perubahan yang bergerak cepat, saling kait mengkait, dan bercakupan semesta. Ada yang melihat faktor ekonomi, teknologi dan pengetahuan sebagai faktor utamanya. Ada yang memandang globalisasi sebagai kebangkitan baru kesadaran kemanusiaan semesta.
Dalam bukunya, Ideologies of Globalization: Contending visions of a New World Order, Mark Rupert menulis satu bab berjudul The Hegemonic Project of Liberal Globalization. Ia mencatat bahwa globalisasi adalah proyek politik dari kekuatan sosial dominan dan akan selalu problematis dan mendapat tentangan: "There is no reason to believe that liberal globalization is ineluctable? it has been the political project of an identifiable constellation of dominant social forces and it has been, and continues to be, politically problematic and contestable."

Ciri-ciri Globalisasi
Tidak mudah untuk membuat definisi mengenai globalisasi secara lengkap dan komprehensif. Mungkin lebih baik kita berusaha mengenali ciri-cirinya dan kemudian mencoba membuat gambaran yang agak utuh (Seminar DPA RI, 24 Maret 2004).

1. Globalisasi Sebagai Kelanjutan dari Modernisasi.
Globalisasi sesungguhnya tidaklah datang secara mendadak. Ada masukan­-masukan dari masa lampau yang kemudian berakumulasi dan bermuara kepada apa yang terjadi dewasa ini. Dalam hal ini globalisasi perlu diselami sebagai kejadian yang mempunyai latar belakang sejarah Barat dan Eropa. Globalisasi merupakan gelombang lanjutan dan runtuhnya abad pertengahan Eropa yang serba keagamaan melahirkan jaman modern, di mana manusia berusaha mewujudkan sistem alternatif non-keagamaan yang sifatnya kokoh dan semesta. Humanisme dan Renaisance dan kemudian gelombang Aufklarung merupakan awal dan kebangkitan modern tersebut. Faktor-faktor dominan yang menggerakkan adalah ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, hasrat akan kemerdekaan dan kehausan akan kekuasaan. Perubahan tersebut menjadi awal dan gerak evolusi dan bahkan koevolusi yang bergerak terus yang sifatnya menjadi ekspansif dan akumulatif diberbagai bidang kehidupan manusia, yang kemudian pada saat ini bermuara menjadi perubahan besar yang dinamakan globalisasi tersebut.

2. Ciri-Ciri Bidang Ekonomi.
Sebetulnya faktor terpenting di dalam terjadinya modernisasi itu adalah faktor ekonomi. Lahirnya jaman modern meruntuhkan tata ekonomi feodal digantikan dengan tata ekonomi kota. Tata ekonomi kota lebih lanjut tumbuh dan melahirkan tata ekonomi nasional dalam arti ekonomi negara (nation states). Interaksi balik yang bersifat konfliktif maupun asosiatif dan ekonomi nasional (ekonomi negara) ini lebih lanjut melahirkan sistem ekonomi internasional. Proses evolusi dan koevolusi dan suasana ekonomi internasional ini berakumulasi dan melahirkan tahap ekonomi transnasional yang merupakan salah satu ciri utama dari apa yang dinamakan globalisasi tersebut. Di dalam fase ini maka ekonomi telah bergerak melintasi batas-­batas nasional sementara negara bangsa tidak lagi menjadi faktor utama yang menentukan.

3. Ciri-ciri Bidang Kemasyarakatan
Sebagai reaksi terhadap golongan bangsawan yang disebut sebagai “ferste stand’ dan golongan agama sebagai “tweede stand’ maka jaman modern melahirkan apa yang disebut sebagai “derde stand” yang juga disebut sebagai “bargerl” (civil). Faktor ekonomi memang telah menjadi pemicu lahirnya golongan ketiga. Munculnya golongan ketiga ini mungkin dapat dipandang sebagai konsep civil society generasi pertama. Sifatnya masih reaktioner opositif terhadap golongan lawannya. Di dalam perkembangannya maka lahirlah konsepsi-konsepsi sistem kemasyarakat-an non keagamaan, antara lain di dalam konsep hak-hak asasi, kemerdekaan, nasionalisme, demokrasi, republik, hukum, namun juga berbagai sistem kekuasaan baik ideologi, politik maupun ekonomi. Inilah konsep civil society generasi kedua yang intinya adalah upaya membangun sistem alternatif non keagamaan yang sifatnya semesta, baik idiil maupun operasionalnya. Lahirlah misalnya konsep sistem liberal, sistem kapitalis, sistem sosialis, komunis dan lain sebagainya. Pada fase ini kekuasaan merupakan titik berat perhatian, di mana negara bangsa dipandang sebagai institusi alternatif non keagamaan yang sifatnya ideal. Sejalan dengan perkembangan ekonomi yang bengerak dan fase internasional kepada fase transnasional, maka terjadi pula pergeseran dari fase civil society generasi kedua kepada fase civil society generasi ketiga. Dalam fase ini manusia melihat bahwa essensi dan pemberontakan modern adalah melawan kekuasaan yang ada pada abad pentengahan tersebut. Maka itu essensi dan alternatif yang dicita-citakan adalah membebaskan manusia dan segala apa yang dinamakan kekuasaan. Negara, institusi, struktur, baik politik, ekonomi, hukum maupun militer, dipandang sebagai wujud dari apa yang dinamakan kekuasaan yang bagaimanapun akan selalu membawa manusia kedalam jurang dehumanisasi. Itulah sebabnya maka konsep civil sosiety generasi ketiga cenderung melepaskan manusia dan masyarakat dan segala bentuk institusi kekuasaan maupun struktur itu. Seperti halnya di dalam konsep generasi kedua terjadi sikap memisahkan agama dari dunia dan manusia sampai kepada memusuhi agama dan bahkan memusuhi dan membuang Tuhan (sekularisasi, sekularisme dan atheisme), maka pada generasi ketiga ini ada berbagai variasi sikap dari yang memisahkan negara dan masyarakat sampai kepada sikap yang memandang perlunya negara dan segala institusi kekuasaan dimana struktur itu dihancunkan dan dibinasakan (Eksistensialisme, strukturalisme, neomarxisme, post modernisme). Dalam fase akhir ini kelanjutan dan evolusi modernisasi nampak menggejala di dalam gerak anti modernisasi itu sendiri, apabila hakikat modernisasi adalah kekuatan dan kekuasaan.

4. Ciri-ciri Bidang Ilmu dan Teknologi
Humanisme dan renaisance memacu terjadinya kemajuan ilmu pengetahuan khususnya yang empiris dan mengenai alam kosmika. Di dalam perkembangannya pada jaman Aufklarung maka tumbuh perkembangan ilmu menjadi makin kuat. Evolusi ilmu dan teknologi menunjukkan betapa pada awalnya kedua hal ini tidak langsung berkaitan dengan perkembangan ekonomi akan tetapi kemudian ilmu, teknologi dan ekonomi menjadi suatu koevolusi yang makin manunggal. Revolusi industri pertama melahirkan masyarakat industri modern awal, didukung oleh peradaban industri yang terdiri dari ilmu pengetahuan positif modern dan teknologi.
Revolusi industri kedua melahirkan apa yang disebut sebagai mechanisation society (mass production) didukung oleh lahirnya science controlled technology. Dan fase controlled technology ini, manusia mengembangkan lebih lanjut automatisasi (automatic controlled technology) yang bermuara kepada sibernetika. Sibernetika inilah mendorong tenjadinya automation society. Sibernetika dan fase automation society inilah yang kemudian melahirkan revolusi industri ketiga yang amat besar pengaruhnya terhadap informasi, komunikasi, transportasi, dan penguasaan sumber-sumber energi. Terjadinya revolusi industri ketiga di dalam suasana automation society yang didukung oleh kekuatan sibernetika dan penguasaan sumber-sumber energi itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan dan fase internasional kepada fase transnasional serta lahinnya konsep civil society generasi ketiga. Ekonomi menjadi bersifat transnasional ketika sibernetikanya enengi ekonomi yaitu sistem moneter juga masuk ke dalam roda automation society ini. Ilmu dan tehnologi yang pada awalnya hanya menjamah alam di luar manusia telah pula menembus alam di dalam diri manusia sendiri. Ilmu biologi telah membawa manusia memasuki bio-technology, dan bahkan bergabung dengan psikologi dan telah mulai memasuki medan psycho bio technology, yang mungkin akan menjadi medan utama untuk penkembangan umat manusia di masa yang akan datang.

5. Dimensi Kekuatan dan Kekuasaan
Zaman modern merupakan zaman yang menyadarkan bahwa manusia memiliki kekuatan dan kekuasaan yang ada di dalam dirinya sendiri (tidak di dalam kebangsawanan ataupun di dalam keagamaan). Karena itulah manusia ingin membangun sistem altennatif kekuasaan yang basisnya bukan kebangsawanan bukan pula keagamaan. Zaman modern menyadarkan manusia betapa ekonomi merupakan faktor basis bagi kekuasaan dan kekuatan, terutama ketika ekonomi kota tumbuh menjadi ekonomi nasional dengan negara dan bangsa sebagai institusi kekuasaan atau pelaku utamanya. Kekuasaan negara ditentukan oleh kekuatan ekonominya, baik kekuatan itu berupa massa manusia ataupun kekuatan itu menjadi sistem kekuatan yang terorganisasi. Pada awalnya orang menyadari betapa kekuatan kekuasaan haruslah didukung oleh massa dan kemampuan kekerasan fisiknya (violence). Namun untuk inipun ekonomilah yang harus mendukungnya, terutama uang. Maka perhatian kekuasaan tentulah kepada membangun basis ekonomi negara. Dalam kaitan ini maka dapat difahami terjadinya gerakan kolonialisme baik yang kuno maupun sampai kepada imperialisme modern dan neoimperialisme dewasa ini. Inti kekuasaan tidak terletak di dalam “violence” akan tetapi pada faktor “wealth’ apalagi ketika ekonomi makin manunggal dengan ilmu dan tekhnologi. Kekuasaan didukung oleh ekonomi yang dapat menyediakan mesin-mesin pemaksa dan mesin­-mesin penakluk yang terjadi sampai sekarang. Ekonomi menjadi makin menyatu dengan politik dan militer. Semua mi merupakan bagian nyata dari revolusi industri kedua. Telah terjadi perang dunia I, penang dunia II, dan kemudian dunia yang berada di dalam suasana konflik bipolar. Perkembangan internasional kedalam fase transnasional nampaknya telah pula mengubah situasi: Suasana bipolar menjadi suasana multipolar, namun yang lebih penting dari itu maka kekuatan kekuasaan akan amat ditentukan oleh yang memilki basis revolusi industni kedua, yang diperkuat dengan basis revolusi industni ketiga serta penguasaan ekonomi transnasional dalam ilmu dan tekhnologi yang serba sibernetika. Semua ini akan mengubah gaya maupun metoda perebutan kekuasaan dan adu kekuatan dari suasana lama kepada suasana baru. Konsep pertahanan, konsep keamanan, konsep perang, konsep militer mungkin akan mengalami perubahan mendasar. Konsep kompetisi yang banyak dibicarakan sebagai ciri globalisasi tidak terlepas dari dimensi kekuatan dan kekuasaan ini.

6. Globalisasi Sebagai konflik antara Kekuatan, Kekuasaan dan Nilai
Mengamati ciri-ciri globalisasi sebagaimana tersebut di atas maka di dalam perkembangannya globalisasi tidak hanya akan membawa masalah dilema antara yang maju dan yang tertinggal, yang kaya dan yang miskin, namun secara fundamental globalisasi akan membawa dilema antara mereka yang bergerak pada jalur cita-cita dan nilai, terutama cita-cita kemanusiaan (humanisasi). Ekonomi, ilmu dan tekhnologi sebagai basis kekuatan dan kekuasaan akan selalu memberikan kemungkinan kepada kekuatan-kekuatan dunia untuk bengerak atas dasar kemauan dan kekuatan kekuasaannya semata-mata, apakah itu kekuatan politik, ekonomi, militer, bahkan terorisme yang berskala internasional dapat menjadi transnasional pula. Di dalam konteks inilah maka globalisasi masih menghadapkan umat manusia kepada masalah dapatkah umat manusia mewujudkan tata dunia baru, tata ekonomi baru, tata politik dunia baru di mana kekuatan dan kekuasaan yang didukung oleh ekonomi, ilmu dan tehnologi akan dapat menjadi kekuatan dan kekuasaan yang berwatak kemanusiaan yang luhur secara semesta, berbasis moralitas serta terbuka kepada dimensi vertikal eksistensi manusia (religius).

7. Globalisasi Sebagai Kebangkitan Kemanusiaan Semesta
Globaliasi sebagai muara gelombang modernisasi membawa gelagat kepada terjadinya kebangkitan kemanusiaan semesta. Hal ini, satu dan lain hal disebabkan karena pemberontakan modern melawan abad pertengahan maupun pemberontakan posmodernisme terhadap modernisasi itu sendiri pada hakekatnya adalah pemberontakan pembebasan manusia dan kemanusiaan terhadap segala bentuk represi dan eksploitasi. Oleh kanena itu manusia dan kemanusiaan semakin tampil sebagai titik konvergensi dan akumulasinya koevolusi budaya dan peradaban modern dewasa ini. Hal ini semakin diperkuat dengan terjadinya transpontasi dan komunikasi serta kecenderungan yang sifatnya transnasional. Dibalik nasionalisme modern yang kemudian melahirkan internasionalisme, dibalik tumbuhnya regionalisme dan terjadinya fase transnasional di dalam perkembangan sejarah, yang sesungguhnya terjadi tidak lain adalah evolusi dan koevolusi manusia dan kemanusiaan yang makin menjadi semesta pula, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat bathin.

8. Globalisasi Sebagai Kebangkitan Kesadaran Religius
Modernisme, internasionalisme, transnasionalisme serta globalisme pada hakekatnya berawal dari keinginan manusia membangun sistem semesta non-keagamaan. Oleh kanena itu di dalam perkembangannya apa yang dihasilkan oleh modernisme mempunyai sifat non-keagamaan, bahkan sementara ada yang menjadi anti keagamaan, dan lebih jauh lagi lalu bersifat non­-Ketuhanan sampai kepada yang menolak kepercayaan kepada adanya Tuhan itu sendini. Sekularisasi (yang sifatnya minimal non-keagamaan atau indifienentisme keagamaan) berkembang menjadi sekularisme yang sifatnya lebih doktriner melawan agama dan membuang Tuhan (Atheisme). Di dalam kondisi seperti ini maka makna, peran, dan posisi agama menjadi proses dimana manusia mendewakan perangkat-perangkat kekuatan dan kekuasaan serta memutlakkan dirinya. Di dalam situasi seperti itu tentulah ada upaya lingkungan keagamaan untuk mempertahankan diri. Ada tumbuh konsepsi mengenai agama sebagai organisasi kekuasaan yang harus berebut kekuasaan dengan sistem non-keagamaan. Ada yang melihat betapa agama­-agama harus menerima dan mengikuti perkembangan sekularisasi dan sekularisme bahkan atheisme itu sendiri. Ada pula yang berusaha untuk membangun titik temu antara dunia dan agama, sehingga memandang agama tidak sebagai organisasi kekuasaan melainkan sebagai kekuatan iman, taqwa dan kekuatan moral senta spiritual dan sejarah sebagai koevolusi kebudayaan dan peradaban. Pergumulan antara agama dengan dunia, antara agama dengan kekuatan dan kekuasaan manusia, masih terus berlangsung sampai pada hari ini.

9. Globalisasi Dalam Arti Luas dan Arti Sempit
Sebagai tambahan terhadap upaya memahami globalisasi itu kiranya ada baiknya dibuat pembedaan antana globalisasi dalam arti luas dan globalisasi dalam arti sempit. Dalam anti sempit globalisasi khususnya berkaitan dengan perubahan-perubahan semesta yang sedang terjadi dewasa ini yang faktor dominannya adalah ekonomi (termasuk uang sebagai sibernetikanya), ilmu dan teknologi, khususnya teknologi informasi, dan teknologi penguasaan energi. Dalam arti luas globalisasi berkaitan dengan segala apa yang mempunyai sifat transnasional, yang mungkin tidak hanya sekarang ini saja, bahkan mungkin sudah sejak zaman dahulu. Misalnya saja agama-agama yang kiranya sejak dahulu sudah memiliki lingkup dan cakupan tnansnasional (bahkan dahulu ada istilah supranasional) ilmu pengetahuan serta kesenian (musik misalnya).

Implikasi Bagi Individu dan Kehidupan Sosial
Individu sebagai pelaku dan objek dari perubahan globalisasi tentunya pengaruhnya sangat besar, karena jika individu atau manusia tidak siap dengan perubahan globalisasi tersebut maka akan menjadi korban globalisasi itu sendiri. Manusia dengan segala aspek ke-individualan-nya akan mengalami apa yang dinamakan kegoncangan mental dan distress, sebagai akibat inadequatnya kemampuan individu dalam mengahadapi perubahan globalisasi. Terlebih bagi individu yang tidak mampu melakukan selektif terhadap gejala perubahan yang terjadi, seperti persaingan ekonomi yang semakin kompetitif dan tak terkendali, pergolakan moralitas, dan juga penciptaan tatanan nilai yang tidak stabil.
Kecenderungan manusia mengalami peningkatan batas ambang stress dan kelemahan mental yang berakibat pada gangguan kepribadian secara kompleks. Kelemahan mental disini mungkin berupa rasa keterasingan terhadap lingkungan sosial ataupun menjadi sikap apatis dan individualistik terhadap lingkungan sosialnya. Hubungan antar manusia akan menjadi hubungan bertujuan saja, karena pengaruh kapitalisme dan objektif materil, yang hanya menekankan pada faktor objek materi.
Pengaruhnya pada kehidupan sosial, dimana hubungan sosial merupakan hubungan yang memungkinkan terjadinya interaksi yang sangat kompleks dan beragam. Imbas kemajuan teknologi yang begitu pesat dan diluar kemampuan alamiah manusia tentunya akan mengakibatkan hubungan antar manusia akan semakin mudah dalam artian yang berorientasi pada tujuan tertentu. Sebagai contoh kemajuan fungsi peralatan telekomunikasi komputer (internet) yang membuat hubungan manusia semakin mudah dilakukan, dimana dengan kotak kaca ajaib tersebut akan menghubungkan antar manusia dengan manusia lainnya secara cepat dan tanpa batas. Dengan menggunakan panca indera, sekiranya dua dari panca indera kita dapat berperan dalam komunikasi internet ini, kecuali indera perabaan, penciuman dan pengecap. Sebagai indera penglihatan (mata) kita bisa menyaksikan semua hal yang kita inginkan yang berada pada tempat berbeda dengan hanya mengarahkan mouse pada ikon yang diinginkan, terlebih lagi jika dilengkapi dengan webcam. Indera pendengaran, dengan fasilitas voice tentunya kita dapat melakukan percakapan dengan orang dimanapun berada di belahan dunia ini. Sehingga hubungan ini akan semakin membuat ruang dan waktu yang semakin tanpa batas, dalam artian dengan kecanggihan teknologi ini memungkinkan manusia akan semakin cepat melakukan kontak dengan manusia lainnya.

Kesimpulan
Individu sebagai unsur utama, dalam artian bahwa individu sebagai pelaku dan sekaligus objek terjadinya globalisasi, dimana segala perubahan akan sangat ditentukan oleh kreatifitas manusia dalam interaksinya dengan manusia lain serta objek material sebagai dimensi proses interaksi manusia itu sendiri. Sehingga individu perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi segala tantangan arus deras era globalisasi, baik dengan mempersiapkan mental dan kekuatan spiritual maupun kemampuan dalam bentuk fisik, yang tentunya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Sebagai manusia yang ingin bertahan dalam era globalisasi dan yang akan mampu bertahan dalam proses terjadinya perubahan globalisasi, maka manusia diharapkan lebih mengoptimalkan segala aspek kemampuan alamiahnya sebagai manusia yaitu baik dalam kemampuan keterampilan maupun dalam bentuk pola pemikiran yang jauh ke depan. Kemampuan ilmu dan teknologi yang matang dan terutama sebagai alat komunikasi yaitu bahasa, tentunya menjadi menentu utama dalam terus menerobos perubahan. Tanpa mengenyampingkan unsur manusia sebagai makhluk holistik yaitu sebagai makhluk yang terdiri dari unsur bio-psiko-sosio-spiritual, manusia tentunya dapat mengendalikan diri dan bisa berdiri di atas arus perubahan globalisasi tersebut.

Daftar Pustaka
Seminar DPA RI, 24 Maret 2000, “Globalisasi Sebagai Tantangan Terhadap Masyarakat Indonesia yang Dicita-citakan”
www.bogor.net/idkf/idkf-2/diskusi-menuju-era-globalisasi-dpa-03-2000.rtf
Artikel tanpa identitas penulis, Sihir Idol, diakses tgl 01 Februari 2006, http://www.alirsyad.or.id/more.php?id
Perdana, Arie A. 2002. Researcher, Department of Economics, Media Indonesia. Diakses tgl 01 Februari 2006, http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?
NB: Tulisan ini ditulis sewaktu penulis menempuh pendidikan pascasarjana di Unpad Bandung (2005-2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar