Kamis, 12 November 2009

AKTUALITAS FILSAFAT ILMU DALAM PERKEMBANGAN
ILMU KOMUNIKASI
I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si
(Dosen Politeknik Negeri Bali)

Tulisan ini mengetengahkan pada topik tentang Aktualitas Filsafat Ilmu dalam perkembangan Ilmu Komunikasi. Hal ini didasarkan pada analisa pemahaman tentang landasan filosofi yang digunakan dalam perkembangan Keilmuan Komunikasi. Diawali dengan mengetengahkan tentang sejarah munculnya Ilmu Komunikasi, yang memang semenjak dunia diciptakan komunikasi juga sudah tercipta. Namun sebelum dinyatakan sebagai suatu Ilmu atau Sains, Komunikasi merupakan bagian dari ilmu filsafat. Walaupun demikian dalam perkembangannya, Ilmu Komuniakasi tetap tidak akan terlepas dari Filsafat.

Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yg menelaah secara sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual (Cornelius Benjamin).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh pemikiran filsafat Barat. Pada zaman Yunani Kuno, filsafat identik dengan ilmu pengetetahuan, artinya pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak dipisahkan. Semua hasil pemikiran manusia pada waktu itu disebut filsafat.

Dalam perkembangannya Ilmu Komunikasi berangkat dari beberapa ilmu, yang diantaranya adalah Psikologi, Psikologi Sosial, Sosiologi, Antropologi, Matematika dan Fisika, serta Biologi. Teori tersebut berperan besar dalam melahirkan Ilmu Komunikasi, sehingga Ilmu Komunikasi menjadi konprehensif dalam bentuk sains.

Adapun tokoh-tokoh sebagai perintis Ilmu Komunikasi seperti Harold Lasswel, Kurt Lewin, Paul Lazarsfeld, Carl Hovland, dan Wilbur Schramm. Sedangkan tokoh lainnya yang ikut berperan dalam Ilmu Komunikasi antara lain, Aristoteles, Shannon, Weaver, Sereno dan Mortensen dengan model-model Komunikasinya, Wilhelm Wundt dengan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig pada tahun 1879, Werner J. Severin dan W. Tankeard Jr. dalam bukunya Communication Theories: Origins Methods Uses, Suzuki, Griffiths, dan Lewontin pada tahun 1981 dengan penemuan kode genetik yang menentukan cirri-ciri organisme yang mempengaruhi proses pembelajaran seseorang.

Aktualitas filsafat ilmu dalam perkembangan Ilmu Komunikasi tidak dapat dipisahkan, setidaknya kita dapat mengambil benang merah yang sedikit menjelaskan bahwa Ilmu Komunikasi bertitik tolak pada Filsafat yang mendasar. Karena segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan tak akan terlepas dari yang namanya komunikasi, baik yang terjadi secara intra maupun antar subjek itu sendiri.

I. SEJARAH ILMU KOMUNIKASI
Pada abad ke 5 SM untuk pertama kali dikenal suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan antar manusia sebagai fenomena sosial. Ilmu ini dinyatakan dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di Yunani Purba, kemudian pada abad-abad berikutnya dikembangkan di Romawi dengan nama dalam bahasa Latin “rhetorika” (yang dalam bahasa Inggris “rhetoric” dan di bahasa Indonesiakan “retorika”.

Pada zaman Yunani, Negara yang mengembangkan retorika dipelopori oleh Georgias (480-370) yang dianggap sebagai guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang mempelajari dan menelaah proses pernyataan antar manusia.
Puncak peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh munculnya Demosthenes dan Aristoteles dua orang pakar yang teorinya hingga kini masih dijadikan bahan kuliah di berbagai belahan dunia. Demosthenes (384-322) di zaman Yunani termasyur karean kegigihannya mempertaruhkan kemerdekaan Athena dari ancaman raja Philipus dari Mecedonia. Saat itu sudah menjadi anggapan umum bahwa dimana terdapat system pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, disitu harus ada pemilihan berkala dari rakyat dan oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya. Dimana demokrasi menjadi system pemerintahan, disanalah masyarakat memerlukan orang-orang yang mahir berbicara di depan umum.

Sementara Aristoteles, seorang cendekiawan Yunani yang pada zamannya, yakni abad ke 4 SM, merupakan pemuka dalam berbagai disiplin ilmu, berbeda dengan tokoh lain yang memandang retorika sebagai seni, ia memasukannya sebagai bagian dari filsafat. Dengan mengatakan ”anda dalam retorika terutama menggelorakan emosi, itu memang baik, tetapi ucapan-ucapan anda tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan retorika yang sebenarnya adalah membuktikan maksud pembicaraan atau menampakan pembuktiannya. Ini terdapat pada logika. Retorika hanya menimbulkan perasaan seketika, meski lebih efektif daripada silogisme. Pernyataan pokok bagi logika dan bagi retorika akan benar apabila telah diuji oleh dasar-dasar logika”.

Demikian retorika di Yunani, ilmu pertama yang mempelajari dan mengkaji gejala pernyataan antar manusia. Dari Yunani retorika merambat ke Romawi, dan di negeri ini retorika dikembangkan oleh Marcus Tulius Cicero (106-43 SM) yang menjadi termasyur karena bukunya berjudul de Oratore dank arena penampilannya sebagai seorang orator. Cicero mempunyai suara yang bervolume berat dan berirama mengalun, pada suatu saat keras menggema, disaat lain halus memelas, dan kadang disertai cucuran air mata (Effendy, O.U, 2003:4).

Sampai abad satu Masehi, pernyataan antar manusia untuk jarak jauh masih dilakukan dengan menggunakan Papyrus atau daun lontar, kulit binatang, logam tipis, dan lain-lain. Sampai kemudian ditemukannya kertas oleh bangsa Cina bernama Ts’ai Lun pada tahun 105 M, dan kemudian ditemukannya mesin Cetak yang mampu melipat gandakan oleh Johannes Gutenberg (1400-1468).

Seperti halnya ilmu publisistik yang pada mulanya adalah ilmu persuratkabaran, Ilmu Komunikasi pun berasal dari aspek persuratkabaran, yakni “journalisme” atau jurnalistik atau jurnalisme, yaitu suatu pengetahuan tentang seluk beluk pemberitaan mulai dari peliputan bahan berita, melalui pengolahan sampai penyebaran berita. Selanjutnya proses tersebut disebut “mass media cmmunication” yang disingkat menjadi “mass communication” atau komunikasi massa.

Dalam proses komunikasi secara total, komunikasi melalui media massa hanya merupakan satu dimensi saja, ada dimensi-dimensi lainnya yang menjadi objek studi suatu ilmu. Karena ilmu menelitinya bukan sebagai Mass Communication Science tetapi Communication Science yang lebih luas yang menelaah mass communication, group communication dan sebagainya.

Sehingga dalam perkembangannya kemudian banyak cendekiawan yang menjadikan ilmu komunikasi sebagai sebuah ilmu atai sains, yang memiliki objek formal dan objek material, seperti yang dijadikan suatu persyaratan sebagai Ilmu pengetahuan oleh Filsafat. Ilmu komunikasi berkembang cukup pesat, dan tidak bisa dipungkiri perkembangannya banyak terjadi di keilmuwan benua Amerika, seperti tokoh-tokoh yang dikatakan sebagai pelopornya diantaranya adalah Charles Cooley dengan penedekatan sosiologinya; Walter Lippman dari Wartawan; Sapir sebagai antropolog; Whrof sebagai linguis; Wiener dan Shannon atas dasar sibernetika; Cantril, Newcomb, Bowner, Osgood, Lerner, Inkeles, Klapper, Kats dalam psikologi; Pool dan Deutsch sebagai ilmuwan politik; Boulding sebagai ekonom; Mott, Cassey, Natziger sebagai mahasiswa jurnalistik.

II. FILSAFAT ILMU DAN DIMENSI-DIMENSINYA
Filsafat Ilmu memiliki ruang lingkup sebagai berikut : 1) komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu, 2) sifat dasar ilmu pengetahuan, 3) metode ilmiah, 4) praanggapan-praanggapan ilmiah, 5) sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan (Mustansyir, 2001:49-50).

Filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofik untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoperasionalkan pengembangan konsep, tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing (Muhadjir, 1998:2).

Dimensi-dimensi utama filsafat ilmu, yaitu: ontology, epistemology, dan aksiologi. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tatacara untuk menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah). Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.

III. FILSAFAT ILMU DAN ALIRAN-ALIRAN YANG MELANDASI ILMU KOMUNIKASI
III.1. Psikologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Dalam sejarahnya, Ilmu Komunikasi dibagi dalam dua masa yaitu pada masa sebelum dan sesudah emnjadi ilmu psikologi. Kedua masa tersebut dibatasi dengan di dirikannya sebuah laboratorium psikologi oleh Wilhelm Wundt, yang pertama di Leipzig pada tahun 1879. Sebelum berdirinya laboratorium tersebut ilmu psikologi dianggap sebagai bagian dari ilmu filsafat atau faal karena psikologi masih dibicarakan oleh sarjana dan ilmuwan yang mempunyai minat pada ilmu jiwa.

Untuk selanjutnya setelah perkembangan ilmu psikologi semakin pesat, maka dirasakan betapa pentingnya pengaruh psikologi dalam mempelajari terjadinya komunikasi, baik yang berupa intra maupun antar individu. Dalam komunikasi intra individu, dimana para ilmuwan mempelajari manfaat dan menganalisa terjadinya proses interpretasi dari satu stimulus atau rangsangan dari luar, mulai dari sensasi, asosiasi, persepsi, memori sampai pada proses berpikir dalam ebntuk pengkodean (encoding maupun decoding) sehingga mempengaruhi individu dalam memberikan respond atau umpan balik kepada rangsangan luar tersebut. Sehingga dalam selanjutnya para psikolog seperti psikologi kognitif, psikologi analisis, aliran behaviorisme, humanistic dan eksistensialisme, sangat mempengaruhi telaah manusia sebagai komunikator maupun komunikan. (Syam, N.W. 2002:29).

III.2. Psikologi Sosial yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Kufmann (1973:6) seorang tokoh psikologi sosial, menyebutkan bahwa psikologi sosial merupakan suatu usaha untuk memahami, menjelaskan dan juga meramalkan bagaimana pikiran, perasaan dan tingkah laku individu yang dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai pikiran, perasaan dan tindakan orang lain yang keberadaannya bisa dirasakan dan di bayangkan oleh individu tersebut. Sebagai contoh, interaksi yang saling mempengaruhi dalam hal; proses belajar yang meliputi aspek kognitif dan afektif; proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang; dan termasuk mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, bermain peran, identifikasi, proyeksi serta agresi.
Dalam psikologi sosial, setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep-konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, memperoleh kebahagiaan, terhindar dari ketegangan serta tekanan, sehingga diperlukan adanya hubungan dengan orang lain dalam bentuk interaksi sosial. Dalam konteks hubungan sosial, seorang individu mendapatkan status sosial baik dari pembentukan konsep diri seperti kebutuhan rasa harga diri, kaasih sayang, mencintai serta sampai terjadinya eksistensi diri. (Mulyana, D. 2004:6).

III.3. Sosiologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Sosiologi merupakan ilmu yang membahas masalah tatanan atau susunan, sehingga dengan susunan tersebut orang akan mengetahui berbagai fenomena yang saling mempengaruhi dalam pola-pola kehidupan bermasyarakat. (Syam, N.W. 2002:26).

Sedangkan menurut Roucek & Warren, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok. Hal ini menjelaskan bahwa dalam ilmu sosiologi menekankan pada hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, baik antar manusia secara individu, kelompok maupun dengan kelompok individu yang lebih besar seperti masa dan masayarakat.

Sebagai konsep struktur sosial, sosiologi mendorong kita untuk memperhatikan pola-pola hubungan sosial dan budaya yang berfokus pada pembagian berbagai gagasan yang mendasari hubungan tersebut, dengan memberi makna, nilai, lambang dan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diprediksi pada pola-pola tersebut. Sehingga pola hubungan yang terjadi merupakan hubungan yang bersifat kompleks dan berkelanjutan. Pola hubungan ini yang nantinya akan menjadi sebuah identitas bagi individu yang terlibat di dalamnya.

Sebagai eksintensi identitas individu yang terjadi dalam kelompok maka komunikasi diperlukan, karena hanya dengan komunikasi sebuah pemahaman dan penyatuan rasa identitas akan terbentuk. Kemudian menimbulkan rasa memiliki dalam kelompok tersebut yang selanjutnya menjadi sebuah acuan bagi perilaku individu dalam berinteraksi dengan kelompok lainnya.

III.4. Antropologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Jika kita berbicara tentang antropologi maka pembicaraan kita tidak akan terlepas dari yang namanya budaya, yaitu aspek utama dalam ilmu antropologi selain fisik. Fokus terhadap manusia secara fisik dan fokus terhadap budaya sering membuat kita menjadi salah interpretasi terhadap pola perilaku manusia. Hal ini dikarenakan oleh pola pikir kita yang cenderung stereotype terhadap latar belakang budaya orang lain, sehingga metodologi penelitian mesti menyesuaikan dengan keberadaan budaya setempat sebagai objek penelitian.

Bagi seorang antropolog, melihat perilaku manusia dalam konteks yang menyeluruh yaitu, secara biologis, sosial, budaya dan ekologinya. Sehingga pendekatan penelitian dapat dikatakan menyeluruh atau komprehensif. Konsep budaya dalam antropologi yang sangat erat kaitannya dengan komunikasi yaitu berupa penggunaan simbol, bahasa, tata cara, dan juga pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut.

Menurut Linton (1945:32), menyatakan definisi budaya secara spesifik yaitu bahwa budaya merupakan konfigurasi dari perilaku manusia yang dipelajari dan budaya merupakan perilaku manusia dari elemen-elemen yang ditransformasikan oleh anggota masyarakat. Disini pengertian budaya telah dianggap sebagai milik manusia, dan digunakan sebagai alat komunikasi sosial, yang di dalamnya terdapat proses peniruan. Dimensi yang sangat penting dalam antropologi sosial adalah struktur sosial. Seperti contoh para ilmuwan amerika yang selama 30 tahun lebih berusaha membedakan antara struktur sosial dan budaya. Tetapi seperti anggapan par ilmuwan etnologi bahwa munculnya organisasi sosial berawal dari prinsip-prinsip sejarah budaya, seperti; usia, seks, pekerjaan, tingkat prestige dan kepentingan kelompok. (Syam, N.W, 2002:32).

Sehingga dalam mempelajari antropologi terutama dalam antropologi budaya penggunaan symbol dan proses pemaknaan yang terjadi dalam tatanan sosial akan dapat terkaji pada ilmu komunikasi. Pemakaian simbol-simbol dan bagaimana suatu kebudayaan memandang pemahaman dan pengertian bersama dalam lingkup sosial sangat menentukan keajegan budaya tersebut. Atau kalau boleh dibilang, penggunaan bahasa, tulisan, simbol-simbol yang kita pergunakan sekarang adalah merupakan hasil budaya. Sebagai contoh budaya Bali yang syarat dengan pemaknaan symbol baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks religius. Sehingga menjadikan budaya Bali begitu kental dengan symbol-simbol dan menjadikan salah satu daya tarik bagi wisatawan baik sekedar berkunjung maupun untuk mempelajarinya.

III.5. Matematika yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Berawal dari Teori Informasi yang disajikan dalam buku Cmmunication Theories: Origins Methods Uses, karya Werner J. Severin dan James W. Tankard Jr., terdapat pula Teori Informasi dari Claude Shannon dan Warren Weaver. Menurut Wilson Taylor dalam prosedur Cloze yang dikembangkannya, yaitu suatu prosedur untuk menghitung entropi atau redudansi pada suatu kalimat tertulis dari pendengar tertentu disebut dengan prosedur Cloze. Kemudian dalam buku ini juga, Severin dan James mengakhiri pembahasannya tentang teori informasi dengan menyimpulkan bahwa teori matematika Shannon tentang komunikasi merupakan sumbangan yang paling penting bagi bentuk-bentuk komunikasi yang digunakan pada masa sekarang. Karena model proses komunikasi dari Shannon telah dijadikan dasar bagi berbagai bentuk bagan komunikasi. (Syam, N.W., 2002:38).

Dalam buku tersebut Weaver juga menjelaskan istilah komunikasi digunakan di dalam pengertian yang sangat luas yeng meliputi semua prosedur-prosedur dengan mana pemikiran seseorang bisa mempengaruhi yang lain. Kemudian tujuan dari komunikasi adalah sebagai suatu usaha mempengaruhi perbuatan objek yang dituju.

Sedangkan menurut Schramm, komunikasi manusia terdiri atas sejumlah komponen yang digabungkan menjadi berkaitan. Dalam pengertian ini, suatu system komunikasi meliputi berbagai unsur, yaitu seperti sumber, pengirim, saluran, penerima, dan unsur yang dituju. Sistem komunikasi manusia adalah fungsional bukan struktural. Sebagai suatu sistem fungsional, teori informasi didasarkan pada probabilitas (kemungkinan) karena manusia mampu belajar, artinya atas dasar kemampuan belajar ini kemungkinan-kemungkinan perubahan informasi dapat terjadi. (Syam, N.W., 2002:38).

III.6. Fisika yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Claude Shannon menyatakan dalam teori informasinya, yaitu pada dasarnya teori informasi itu adalah teori perpindahan sinyal (transmisi). Teori tersebut telah memberikan suatu penjelasan secara fisika dimana informasi dinyatakan sebagai suatu sinyal yang dikirimkan dan yang diterima, sehingga apabila teori ini diterapkan secara langsung terhadap komunikasi manusia tidaklah lengkap, karena seperti yang dicontohkan oleh Severin dan James bahwa informasi yang diberikan terhadap operator telegram tidaklah terkait dengan pesan yang dikirimkan. Dalam komunikasi manusia, informasi itu mempunyai ikatan mata rantai yang panjang, misalnya seorang pemberita (reporter) sebelum menyampaikan informasi yang diterimanya kepada pendengar, ia dapat mengubah atau menyusunnya terlebih dahulu. (Syam, N.W., 2002:38).
Terlebih lagi di zaman ini, dimana teknologi semakin canggih yang memungkinkan hubungan telekomunikasi manusia semakin mudah dilakukan walaupun berada di belahan dunia yang jauh sekalipun. Perkembangan alat telekomunikasi seperti telepon seluler dan gelombang radio yang berbasil jaringan nirkabel dengan menggunakan sinyal gelombang elektromagnetik, akan semakin memudahkan setiap manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya dengan tidak terbatas pada ruang, tempat dan waktu. Penerapan ilmu fisika berperan dalam hal ini, karena basis jaringan satelit yang digunakan berawal dari hukum-hukum yang dikembangkan dalam ilmu fisika.

III.7. Biologi yang Melandasi Ilmu Komunikasi
Ilmu biologi merupakan ilmu faal yang mempelajari struktur tubuh manusia, yang antara lain berupa adanya genetic, neuron, jaringan otot dan lainnya. Kode Genetik menentukan ciri-ciri, seperti warna rambut, mata, warna kulit, penyakit, serta adanya keterlambatan mental yang mengganggu pembelajaran (Zusuki, Griffiths, dan Lewontin, 1981). Gen juga mempengaruhi skor IQ, ciri-ciri kepribadian tertentu dan juga beberapa penyakit mental seperti Schizophrenia. (Syam, N.W. 2002:39).
Keadaan emosi dalam interaksi dengan manusia lainnya juga mempengaruhi keadaan faal manusia, seperti ketika manusia marah dengan emosi yang kuat, maka detak jantung, tekanan darah, pernapasan, produksi adrenalin, akan meningkat. Pipa kapiler dalam otak dan otot-otot membesar untuk memperlancar sirkulasi darah. Dalam istilah fisiologis, gejala ini lazim disebut general adaptation syndrome atau GAS. (Rakhmat, J. 2000:41).
Keadaan biologis yang berlangsung dalam proses yang disebut fisiologis hanya dapat dipelajari dalam ilmu biologi. Sistem faal tubuh manusia menentukan kemampuan manusia dalam menentukan kepribadian, kemampuan belajar termasuk dalam berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk proses komunikasi. Ini memberikan gambaran bahwa susunan faali manusia mempunyai peran besar dalam berkomunikasi, yang sedikit banyak ditentukan oleh genetis serta perkembangan biologisnya.

IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas secara historis dapat dinyatakan bahwa ilmu yang tertua dalam tatanan keilmuan adalah ilmu filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya yang lahir dari ilmu filsafat merupakan bagian dari ilmu filsafat. Demikian juga ilmu komunikasi yang dalam perkembangannya banyak dilakukan oleh pemikir-pemikir filsafat dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang dari ilmu filsafat, seperti psikologi, psikologi sosial, sosiologi, matematika, fisika, antropologi, serta biologi.
Pada awalnya filsafat merupakan ilmu yang lahir dari pemikiran manusia yang mempunyai kecintaan pada kebijaksanaan, karena semua yang dinyatakan sebagai buah pikiran waktu itu disebut sebagai filsafat. Karena lama-kelamaan filsafat hanya mampu mengungkapkan konsep-konsep secara abstrak, maka ilmu-ilmu yang berorientasi lebih konkret memisahkan diri dari filsafat, termasuk Ilmu Komunikasi. Tetapi walaupun Ilmu Komunikasi pada akhirnya bisa berdiri sendiri, dan terlepas dari ilmu filsafat namun secara historis bahwa komunikasi tidak bisa putus hubungan begitu saja dengan ilmu filsafat, karena semua ilmu berawal dari filsafat, yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan umat manusia. Ilmu Komunikasi dapat di analisa dengan landasan filosofi dalam hal ontology, epistemology serta aksiology, sehingga sampai saat inipun filsafat ilmu masih diajarkan pada mata kuliah di perguruan tinggi. Dengan maksud agar pemikiran mahasiswa tentang ilmu komunikasi merupakan bagian dari telaah yang bersumber pada filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, O.U, 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung, Citra Aditya Bakti.
Muhadjir, Noeng. 1998. Filsafat Ilmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta, Rake Sarasin.
Mulyana, D. 2004. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung, Remaja Rosdakarya
Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset.
Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung, Remaja Rosdakarya
Syam, N. W. 2002. Rekonstruksi Ilmu Komunikasi Perspektif Pohon Komunikasi. Bandung, Universitas Padjadjaran Bandung.
NB: Tulisan ini merupakan salah satu tugas sewaktu penulis menempuh pendidikan pascasarjana di Unpad Bandung 2005-2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar