“MENJADI MAHASISWA YANG CERDAS
SECARA EMOSIONAL”
Oleh: I Made Widiantara, S.Psi.,M.Si*
Lingkungan kampus selalu identik sebagai tempat terjadinya proses belajar mengajar, di dalamnya ada beberapa komponen civitas akademika yaitu mahasiswa, dosen dan staff administrasi sebagai pendukungnya. Menjadi mahasiswa bukanlah status yang gampang diperoleh bagi sebagian masyarakat, karena benyak faktor yang menentukan seperti salah satunya adalah faktor ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Status mahasiswa terkadang menjadi salah satu lebel gengsi bagi beberapa kalangan, entah karena dengan punya status mahasiswa berarti mereka merupakan seseorang yang dianggap mampu dan mapan secara ekonomi ataukah mereka dianggap sebagai masyarakat intelektual. Tetapi ada juga yang sudah mendapatkan status mahasiswa ini malah tidak menghargai statusnya sebagai mahasiswa, baik dari gaya berpikir dan sikapnya terhadap lingkungan didalam kampus maupun di luar kampus.
Menjadi mahasiswa di zaman sekarang ini, memang suatu fenomena bagi dunia pendidikan. Dengan interaksi yang terjadi antara tuntutan dan kebutuhan terhadap segala bentuk mutu pendidikan, terkadang sering terjadi tumpang tindih terhadap tugas dan peran masing-masing komponen di dunia pendidikan ini. Salah satu hal yang perlu dikaji, seperti bagaimana peran sebagai seorang dosen yang semestinya mampu menjadi panutan dan juga tauladan bagi mahasiswa yang diasuhnya tetapi malah memberikan contoh yang kurang baik. Begitu juga sebaliknya sebagai mahasiswa seharusnya mampu memerankan diri menjadi seorang yang haus akan ilmu pengetahuan dan wawasan dari para dosennya, tetapi mahasiswa sering tidak sadar akan peran tersebut.
Mahasiswa bersikap di dalam kampus tentu ada etikanya, karena keberadaanya sebagai mahasiswa tentu memiliki batasan yang patut diikuti oleh seorang mahasiswa. Salah satunya seperti adanya ketentuan waktu, yaitu jam berapa seorang mahasiswa harus mengikuti jam perkuliahan di kelas, bagaimana mahasiswa berpakaian yang wajar, dan bagaimana mahasiswa bersikap disaat berada di dalam kelas sewaktu dosen menjelaskan materi kuliah. Segala perilaku dan sikap mahasiswa yang dilakukan di lingkungan kampus semestinya mempunyai etika dan etiket yang sesuai dengan norma yang berlaku.
Terkadang masih banyak kita temui bagaimana perilaku mahasiswa dalam mematuhi peraturan kampus, seperti bagaimana mahasiswa yang seharusnya memakai pakaian seragam sesuai dengan pakaian seragam yang sudah ditentukan, tetapi mahasiswa malah dengan cueknya tidak mengenakan pakaian seragan tersebut. Hemat saya, ini yang perlu pengawasan dosen secara tegas! Saya mempunyai pengalaman ketika mengajar di salah satu kelas, karena kebetulan juga saya mengajar mata kuliah etika dan pengembangan keribadian. Disaat pertama memasuki kelas, ternyata ada beberapa mahasiswa yang tidak mengenakan dasi seragam sesuai dengan ketentuan pakaian seragam yang telah ditentukan di Jurusan saya. Jadi penulis berikan peringatan agar di pertemuan selanjutnya tidak ada lagi mahasiswa yang tidak memakai dasi seragam, terkecuali bersedia tidak mengikuti mata kuliah saya. Yang terjadi minggu depannya, mahasiswa tidak memakai dasi minggu lalu tersebut sudah memakai dasi seragam, tetapi yang lucu adalah dasinya didapatkan dengan meminjam pada teman di kelas lainnya, jadi di satu kelas bisa didisiplinkan tetapi di kelas lain yang tidak disiplin. Apakah ini seorang mahasiswa yang cerdas atau cerdik?
Cerdas secara emosi dapat diartikan juga bahwa individu tersebut memiliki kemampuan yang lebih dalam mengelola emosinya. Kata cerdas sendiri merupakan kata yang bersinonim dengan kemampuan individu yang sadar secara emosional terhadap keberadaannya dalam berinteraksi dengan orang lain serta sadar akan adanya individu lain di lingkungannya yang mempunyai peran tertentu. Goleman (1997:45-48) menuliskan pendapat Richard Herrnstein dan Charles Murray dalam bukunya The Bell Curve yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Sementara, Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri, bertahan menghadapi frustrasi, mengontrol desakan hati, menahan kepuasan dan kegembiraan, mengatur suasana hati, berempati terhadap lingkungan dan bekerja sama dengan orang lain.
Berdasarkan tahap perkembangan manusia, yang dikatakan mahasiswa adalah seseorang yang sedang berada pada tahap perkembangan masa remaja akhir menuju dewasa awal, yang rentang usianya dari usia 17 sampai dengan 22 tahun. Dengan segala fenomena yang terjadi pada masa remaja akhir ini, seperti misalnya bagaimana seseorang memperluas pergaulan, maupun mencari teman-teman yang mempunyai hobi dan kegemaran yang sama. Selain itu pada masa ini juga terjadi seperti bagaimana seseorang pada tahap ini meng-identitas-kan diri sebagai salah satu anggota masyarakat kampus atau yang lebih khusus menjadi anggota komunitas tertentu.
Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan pada masa perkembangan remaja akhir ini. Sehingga seseorang yang berada pada masa perkembangan remaja akhir ini memang harus banyak melakukan aktifitas baik dalam bentuk tugas-tugas rutin kuliah maupun sebagai kreatifitas kegiatan ekstra kurikuler atau UKM kampus. Sebagai salah satu aspek penting pada masa remaja akhir dalam kaitannya dengan akhtifitas mahasiswa di kampus adalah masih murninya idealisme mereka dalam setiap melakukan kegiatan. Ini dapat kita perhatikan ketika beberapa tahun terakhir ini yang terjadi di negara kita, yaitu banyaknya mahasiswa yang melakukan demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan khalayak umum. Ini salah satu hal yang membuktikan bahwa idealisme mahasiswa perlu kita perhatikan “perkecualian pada mahasiswa yang melakukan demostrasi dengan anarki”.
Lebih jauh membahas masalah cerdas secara emosional, perlu saya ungkapkan bahwa EQ atau yang lebih dikenal dengan kecerdasan emosional diperkenalkan untuk pertama kali sekitar tahun 1990 oleh Peter Salovey (dalam Shapiro, 1999:5) dari Harvard University sedangkan John Mayer dari University of New Hamsphire kemudian menerangkan kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan yang meliputi: empati, mengungkap dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan masalah secara pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, kemarahan, dan sikap hormat. Secara teoritis bahwa tingkat emosional seseorang dapat kita uangkapkan dalam konsep yang dinamakan kecerdasan emosional. Peran kecerdasan emosional ini sangat besar di dalam kehidupan seseorang, karena dengan kemampuan emosional yang baik, seseorang dapat melakukan segala aktifitas kehidupannya dengan lebih stabil dan sukses.
Kemudian seperti dikutip menurut pendapat Goleman (1997:7) yang menyatakan peran IQ dalam keberhasilan di dunia kerja hanya menempati posisi kedua sesudah kecerdasan emosi dalam menentukan prestasi puncak dalam pekerjaan. Dikatakan juga dari kesepakatan para ahli psikologi yang berpendapat bahwa IQ hanya mendukung 20 persen faktor-faktor yang menentukan suatu keberhasilan, 80 persen sisanya berasal dari faktor lain, termasuk kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional dilihat dari sudut civitas akademika, lebih khusus yang perlu diterapkan oleh seorang mahasiswa dapat dijelaskan dengan mengacu dari aspek-aspek yang menjadi unsur kecerdasan emosional itu sendiri, seperti dikutip dari pendapatnya Mayer, Salovey, Goleman, Ostell dkk (www.eiconsortium.org/wpq_ei.htm), yaitu inovasi, kesadaran diri, intuisi, emosi, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Ketujuh unsur kecerdasan emosional ini mencerminkan gambaran emosional mahasiswa secara umum. Lebih lanjut akan saya jabarkan sebagai berikut:
a. Inovasi.
Kata inovasi memberikan kita pengertian yaitu memahami bentuk kreativitas yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membangkitkan respon-respon kreatif pada permasalahan yang berhubungan dengan orang lain. Inovasi merupakan bentuk kreatifitas mahasiswa dalam melakukan perannya sebagai seorang yang sedang menuntut ilmu dan meningkatkan kemampuan dirinya dalam lingkungan akademis. Mahasiswa yang kreatif memungkinkan bahwa mereka mampu melakukan hal-hal yang baru dan bermanfaat bagi diri prbadi dan keilmuannya.
Mahasiswa dikatakan kreatif adalah mahasiswa yang mampu mengerjakan tugasnya dengan cara lebih baik dan mampu membuat tugas kuliahnya mempunyai nilai plus. Sebagai misal; ketika seorang dosen memberikan tugas untuk membuat paper dengan batasan minimal sepuluh lembar, ternyata mahasiswa tersebut mampu membuat tugasnya menjadi lima belas lembar atau lebih dengan kualitas isi yang lebih baik. Atau ketika seorang dosen dalam perkuliahan di kelas menjelaskan suatu teori yang mungkin sudah agak lama (sedikit usang dalam kajian materi tersebut), ada salah satu mahasiswa yang mampu memberikan kajian teori yang lebih baru dengan dasar pemikiran yang lebih bagus. Nah... inilah salah satu contoh mahasiwa yang dibilang inovatif dan kreatif.
b. Kesadaran diri
Memahami kelebihan-kelebihan dan kelemahan yang ada yang berhubungan dengan dorongan untuk memperbaiki kemampuannya. Menyadari peran sebagai mahasiswa merupakan hal mutlak yang perlu bagi mahasiswa. Kenapa demikian, karena terkadang sering ditemukan bahwa mahasiswa tidak sadar bahwa peran dan posisinya di dalam lingkungan kampus adalah sebagai seorang mahasiswa. Tugas mahasiswa adalah menuntut ilmu dan menaati segala peraturan kampus dalam ruang lingkup menambah wawasan dan kemampuan akademiknya. Tugas ini sesuai dengan cita-cita dan keinginan mahasiswa tersesbut memilih jurusan yang dijalaninya sekarang.
Kelebihan mahasiswa dalam proses belajar mengajar yaitu mempunyai hak untuk mendapatkan semua macam ilmu sesuai dengan program studi pilihannya. Ini merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh mahasiswa, karena jika mahasiswa tidak mendapatkan materi kuliah sesuai dengan studi pilihannya, maka mahasiswa dapat menuntut kepada kampus. Inilah salah satu kelebihan yang harus disadari oleh mahasiswa, selain adanya keadilan untuk mendapat beasiswa, menggunakan segala fasilitas yang disediakan kampus serta mendapat nilai sesuai dengan tingkat kemampuan dan kepandaiannya. Tentunya tidak hanya kelebihan tersebut yang dimiliki oleh mahasiswa, tetapi kelemahannya juga menyertai seperti; mahasiswa harus taat pada peraturan yang telah ditetapkan kampus, segala peraturan dan tata tertib baik yang menyangkut disiplin maupun sikap perilaku harus dipatuhi. Sebagai contoh: jika mahasiswa melanggar peraturan kampus maka wajar secara otmatis mahasiswa tersebut mendapat hukuman, baik secara lisan maupun tertulis.
Berperilaku sopan juga perlu dijaga oleh seorang mahasiswa, seperti bagaimana jika berhubungan dengan para dosen atau staff akademika di kampus. Mahasiswa yang sopan dan mempunyai etika baik tentu harus menyapa dosen yang ditemuinya dengan sikap tubuh yang wajar dan nada suara yang tidak tinggi. Atau sekedar mengucapkan salam selamat pagi atau selamat siang jika berpapasan dengan dosen di jalan (NB: memungkinkan untuk saling menyapa). Dari isi pembicaraan juga penting untuk diperhatikan oleh mahasiswa, seperti misalnya; bagaimana mahasiswa yang melaksanakan bimbingan tugas akhir, ya tentu yang menjadi topik pembicaraan adalah seputar topik yang menjadi tugas akhir mahasiswa tersebut, bukannya tentang tawaran agar tugas akhirnya cepet selesai terus merayu dosen untuk “hal-hal lain”.
c. Intuisi
Kemampuan yang berhubungan dengan menggunakan instink, prasangka dan perasaan yang sesuai dengan fakta dan informasi dalam memutuskan sesuatu. Unsur dari kecerdasan emosional ini bersifat sangat individual dan menyangkut kebiasaan sehari-hari. Di dalamnya ada kaitannya dengan karakter dan kepribadian seorang mahasiswa. Instink tak lain merupakan kemampuan lebih individu dalam hal merasakan bagaimana pemikiran secara abstrak kemudian dikaitkan dengan kenyataan yang ada saat ini juga. Intuisi benyak berperan dalam membuat keputusan-keputusan. Bagaimana seorang mahasiswa mempu memutuskan tentang kegiatan rutinitas atau bagaimana memutuskan untuk membuat tugas kuliah atau lebih cenderung bermain-main saja disaat tugas kuliah dirasakan banyak menumpuk dan harus dikumpul beberapa jam kemudian.
Secara lebih konkret unsur kecerdasan emosional ini dapat dilihat pada saat mahasiswa sedang menghadapi ujian, misalnya ujian akhir semester. Seorang mahasiswa yang cerdas secara emosi, tentu akan merasa tenang-tenang saja disaat akan menghadapi ujian akhir tersebut, karena mereka sudah siap untuk menghadapi kemungkinan soal yang akan keluar. Mahasiswa yang cerdas secara emosional, mempunyai anggapan bahwa ujian yang akan dihadapi merupakan hal biasa, dan sekedar mengulang dari yang sudah didapatkan di kelas selama satu semseter. Jadi dengan kemampuan penyerapan materi yang sudah dipelajarinya selama satu semester tentu akan sangat mudah dalam menjawab setiap pertanyaan ujian. Mahasiswa mampu membayangkan soal yang mungkin akan keluar pada saat ujian nantinya, serta mahasiswa tidak berusaha membebani pikirannya dengan kegagalan studi jika tidak mampu mengerjakan soal ujian.
d. Emosi
Kemampuan mengenali dan memahami perasaan-perasaan dan emosi dan mengaturnya agar tidak menyinggung orang lain. Takaran emosi setiap orang tentunya berbeda dengan yang lainnya, hal ini jelas tergantung dari struktur tubuh organisme termasuk keberadaan hormon-hormon dalam tubuh setiap orang. Emosi memberikan gambaran secara umum tentang luapan perasaan dan juga kemampuan alami manusia dalam menilai sesuatu dengan hati. Merasakan kesedihan, kegemberiaan, ketidaksenangan bahkan rasa marah atau jengkel terhadap orang lain merupakan bagian dari aspek emosi. Perasaan ini mengatur sebagian besar fluktuasi kehidupan seseorang. Rasa tidak senang terhadap seorang dosen misalnya merupakan salah satu contoh takaran emosi mahasiswa yang berlebihan. Secara hubungan timbal balik, seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tentu tidak akan terlepas dari keberadaan para dosennya. Hal ini memberikan suatu acuan, bahwa rasa hormat dan taat kepada para dosen wajib dimiliki mahasiswa. Karena terlepas dari kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing dosen secara individual, sepatutnya dosen adalah seorang guru yang harus dihormati.
Mahasiswa yang cerdas secara emosional dalam hal ini, seharusnya bisa menjaga suasana emosi terhadap keberadaan orang lain di lingkungan kampus, terutama kepada para dosen yang merupakan fasilitator dalam memperluas pengetahuan dan menambah wawasan mahasiswa. Bagaimana bersikap jika para dosen terasa membosankan atau cara ngajarnya tidak jelas? Nah, ini sering terjadi pada beberapa dosen yang mungkin bagi sebagian mahasiswa belum menyesuaikan diri dengan cara dan gaya mengajar dosen tersebut. Sebagai pemecahannya, adalah dengan cara seksama mempelajari tentang kebiasaan cara ngajar dan gaya dosen tersebut memberikan materi. Seperti misalnya, bagaimana sistematis penyampaian materinya, bagaimana penekanan isi materi yang perlu dipahami lebih dalam, dan bagaimana sistem tugas yang diberikan. Dengan melihat secara umum aspek tersebut, kemungkinan lebih memudahkan mahasiswa untuk menangkap isi materi yang diajarkan, bukan malah memberikan label bahwa dosen tersebut membosankan atau tidak bisa mengajar. Karena dengan rasa tidak suka atau merasa tidak cocok dengan gaya mengajar dosen merupakan salah satu bomerang nantinya, karena akan ada semacam penolakan psikologis dari isi materi dari dosen tersebut sekaligus. Maksudnya, dengan merasa tidak suka atau berpikir negatif terhadap dosen, memungkinkan terbentuknya imun atau kekebalan dalam pikiran kita untuk menolak segala hal termasuk tentang materi yang disampaikan dosen tersebut untuk masuk dalam pikiran mahasiswa.
Sebaliknya mencoba menyenangi dan menikmati bagaimana beragam gaya dan cara mengajar para dosen, tentu akan memberikan dampak positif terhadap pola pikir mahasiswa, baik itu dari perspektif dari berbagai sisi ataukah dengan membandingkan dari sudut mana persepsi tentang materi tersebut dipandang. Banyak contoh, ketika ada seorang mahasiswa merasa tidak cocok atau bahkan tidak senang akan keberadaan dosen mengajar di kelasnya, sehingga dampaknya akan merugikan mahasiswa itu sendiri, karena rasa tidak suka tersebut membuatnya selalu tidak paham akan apa yang dijelaskan oleh dosen tersebut ketika berada di kelas. Nah kalau sudah begini, tentu mahasiswa yang rugi karena tidak mendapatkan pengetahuan dari dosen tersebut.
Selain itu perlu juga bagi mahasiswa untuk mengalihkan rasa jengkel atau marah karena mungkin ada dosen yang memberikannya nilai C atau bahkan D pada salah satu mata kuliah yang diajarkan. Kalau ini yang jadi masalah, harusnya mahasiswa lebih pada usaha instrospeksi diri; dimana kekurangan saya, apa yang saya lakukan sehingga nilai indeks prestasi menurun misalnya. Ataukah karena sikap saya yang kurang sopan saat berhadapan atau berinteraksi setiap hari di kampus dengan para dosen atau staff lainnya. Coba direnungkan kembali, jangan malah menyalahkan bahwa dosen A ini sentimen atau tidak suka sama saya!? Tentunya cara instrospeksi yang salah. Karena baik langsung maupun tidak langsung, selain sikap dan kemampuan mahasiswa di kelas, saat di luar kelaspun terkadang sangat berpengaruh bagi penilaian dosen. Sebagai contoh, ketika ada dosen sedang mengajar dengan semangat di kelas dan dengan persiapan yang susah payah untuk bisa menjelaskan materi yang seharusnya diberikan kepada mahasiswa, ternyata ada salah satu mahasiswa yang berkeluyuran atau bahkan santai-santai nongkrong di luar kelas. Apakah mahasiswa tersebut patut diberikan nilai yang bagus? Coba anda renungkan!
e. Motivasi
Unsur kecerdasan emosional ini berhubungan dengan usaha untuk meraih prestasi, kekuatan, inisiatif dan ketekunan. Motif merupakan kata dasar dari motivasi, yang berarti tujuan kenapa kegiatan atau usaha tersebut dilakukan. Tujuan memberikan panduan kepada seseorang sebagai target tindakannya. Seseorang dengan target atau tujuan yang jelas akan lebih bersemangat untuk melakukan tindakan tertentu.
Motivasi berkaitan erat dengan usaha keras seseorang dalam mewujudkan keinginannya, baik dalam bentuk cita-cita ataukah keinginan berupa target nilai akhir sebagai tugas kuliah sebagai mahasiswa. Ada motivasi dalam bentuk paksaan karena memang wajib harus dilakukan yang sering disebut dengan motivasi eksternal, ada juga motivasi yang bersifat internal yaitu karena memang atas dasar keinginan atau dorongannya berasal dari dalam diri. Biasanya kedua motivasi ini saling mengisi dalam setiap tindakan seseorang, dimana dengan dorongan yang datang dari luar untuk bertindak dan sekaligus karena keinginan sendiri untuk memperoleh kepuasan pribadi. Sebagai contoh: seorang calon mahasiswa sangat ingin menjadi seorang sekretaris, nantinya saat memasuki dunia kerja ia ingin menjadi seorang sekretaris yang profesional, dan jurusan yang dipilihnya pasti adalah jurusan sekretaris. Secara otomatis mahasiswa tersebut akan sangat menyukai materi kuliah yang berhubungan dengan dunia kesekretarisan, dan sebagai efeknya maka mahasiswa tersebut akan dengan sangat sungguh-sungguh mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen yang mengajarnya. Nah, ini sebagai bentuk motivasi yang sejalan dan seimbang antara keinginan pribadi dengan dorongan eksternal, saya yakin nilai-nilai mata kuliahnya akan sangat bagus.
Salah satu kiat sebagai mahasiswa adalah jika jurusan yang dipilihnya saat ini sudah sesuai dengan cita-cita sendiri, maka selanjutnya adalah bagaimana agar berusaha menyenangi mata kuliah yang diberikan para dosen kepadanya. Tetapi bagaimana kalau jurusan yang ditempuh sekarang bukan sebagai pilihan sendiri, bagaimana menyiasatinya? Tentu banyak mahasiswa yang mengalaminya, dan tentu juga karena banyak faktor yang menyebabkannya. Salah satu tipsnya adalah berusaha menyukai dan menyenangi apa yang sedang dilakukan, setidaknya perlu berpikir bahwa kembali ke awal memulai jurusan yang lain akan memerlukan biaya yang tidak sedikit (NB; instrospeksi pada kemampuan diri atau keluarga dalam membiayai kuliah). Kalau dicermati, banyak orang yang menjadi pekerja profesional dan sukses dengan latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan pekerjaannya. Sehingga cukup memberikan pertimbangan bahwa karier sukses tidak hanya karena latar belakang pendidikan yang sesuai dengan pekerjaan. Jadi sebagai acuan, adalah bagaimana menyenangi apa yang sedang dikerjakan sekarang, entah itu berhubungan dengan pilihan jurusan kuliah, tugas mata kuliah ataukah dengan pilihan hidup. Maksudnya sebagai mahasiswa seyogyanya berusaha menyukai dan menikmati rutinitasnya dengan rasa senang dan semangat, karena pikiran yang positif ini akan memberi efek positif dalam membangun kepribadian yang positif dan tentunya akan berdampak positif pula pada prestasi akademik.
f. Empati
Kemampuan untuk memahami sesuatu yang menarik pada orang, mendengarkan pandangannya, permasalahannya dan keprihatinannya. Berempati juga berarti mengambil posisi orang lain dan merasakan apa yang dirasakan pada posisi orang lain tersebut. Kata empati kalau dalam bahasa sansekerta juga disebut tatwam asi, yang artinya engkau adalah dia, dan dia adalah aku. Jadi bagaimana seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain terhadap berbagai permasalahannya dari sudut pandang orang lain tersebut. Ini memberikan makna, bahwa penting untuk ikut merasakan apa yang orang lain rasakan. Sebagai mahasiswa tentu tidak akan terlepas dari yang namanya pergaulan dengan teman sebaya atau teman-teman sesama dalam satu kampus. Ini memungkinkan adanya ikatan yang kuat dalam segala hal, terutama menyangkut masalah tugas dan kewajiban untuk mengikuti perkuliahan. Banyak ditemui karena terlalu akrabnya, sampai tugaspun dikerjakan oleh teman akrabnya, padaah hal itu sangat merugikan diri sendiri. Nah, ini terkadang membawa dampak yang kurang bagus dalam konteks mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan, karena cenderung mengedepankan hasil bukan proses. Semestinya seberat apapun tugas yng diberikan dosen dalam bentuk tugas, seorang mahasiswa tersebut harus berusaha keras untuk mengerjakannya, walaupun hasilnya tidak sebagus teman yang lebih pintar secara intelek, inilah proses pendidikan.
Dalam lingkungan pergaulan di kampus, mahasiswa boleh-boleh saja mempunyai teman akrab sebanyak-banyaknya apalagi pergaulan tersebut dengan dasar tujuan positif, seperti karena sama-sama bergabung pada kegiatan ekstrakurikuler, atau unit kegiatan mahasiswa lainnya. Dengan interaksi semacam ini memungkinkan suasana kampus menjadi lebih hidup, karena disamping kegiatan yang membutuhkan kemampuan intelektual murni di kelas, juga mengasah kemampuan mahasiswa dalam berorganisasi. Bisanya dengan kegiatan dan jadwal waktu yang baik, kegiatan rutin perkuliahan akan terasa tidak begitu berat bagi mahasiswa yang mengikuti kegiatan di luar kelas ini. Dengan menitik beratkan pada adanya kerjasama tim dalam UKM misalnya, mahasiswa akan lebih terpacu dalam membentuk kepribadian yang positif.
Dalam setiap interaksi setiap mahasiswa akan merasakan bagaimana pandangan mahasiswa lainnya dalam menyikapi masalah, khususnya terhadap permasalahan pendidikannya, baik tentang tugas maupun motivasi kuliah di jurusan yang sedang dijalaninya sekarang. Kemampuan merasakan bagaimana cara pandang mahasiswa lainnya, akan membantu membentuk pribadi yang lebih solid dalam tim ketika sudah memasuki dunia kerja nantinya.
g. Keterampilan sosial
Kemampuan dalam membangun hubungan dan komunikasi dengan orang lain. Kemampuan ini secara langsung merupakan ciri dari keberadaan manusia sebagai mahluk sosial, disamping sebagai mahluk biologis-psikologis. Interaksi sudah jelas melibatkan orang kain di sekeliling manusia, dan sebagai medianya setiap individu dibekali dengan alat komunikasi seperti anggota tubuh dan panca indera.
Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, kemampuan keterampilan sosial seorang mahasiswa ini akan sangat tampak pada interaksinya di dalam lingkungan kampus, baik itu dengan teman sebaya, para dosen pengajar, maupun dengan staff administratif lainnya. Seorang mahasiswa yang cerdas secara emosional adalah mahasiswa yang mampu memerankan diri sebagai mahasiswa. Mengikuti teori bermain peran atau yang biasa disebut role play mahasiswa harus bisa memerankan diri menurut posisinya. Maksudnya ketika mahasiswa bergaul dengan mahasiswa lainnya, maka dia memerankan diri dengan bentuk hubungan yang sejajar dan ada fungsi peran untuk saling mengisi, berbagi dan memberi.
Ketika seorang mahasiswa berada pada lingkungan kampus, terutama saat berada di kelas maka dia harus memerankan diri sebagai seseorang yang siap menerima limpahan materi mata kuliah yang diajarkan dan dia berhak mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan mata kuliah tersebut. Disini merupakan peran mahasiswa yang utama disamping peran lainnya, karena sebagaimana diketahui bahwa mahasiswa di kampus untuk menuntut ilmu dan pengetahuan. Semestinya mahasiswa mampu memerankan peran ini dengan sebaik-baiknya. Sedangkan di lain waktu, ketika mahasiswa memerlukan pelayanan administratif maka dia adalah seorang yang dilayani kebutuhannya. Karena sesuai dengan posisinya, mahasiswa wajib mendapat pelayanan akademis dalam bentuk administratif kampus; apakah itu menyangkut pembayaran biaya kuliah, biaya wisuda atau bahkan dalam mengurus surat-surat untuk keperluan di luar kampus dalam kaitan statusnya sebagai mahasiswa.
Dari uraian tentang unsur-unsur dari kecerdasan emosional di atas, maka jelaslah bahwa menjadi mahasiswa yang cerdas secara emosional tidaklah sulit, cukup dengan melakukan hal-hal yang sederhana sesuai dengan posisi dan peran sebagai mahasiswa atau anggota masyarakat akademis. Dengan memerankan diri sesuai dengan posisi sebagai mahasiswa, saya yakin seorang mahasiswa tidak akan menemui kesulitan dalam menempuh pendidikannya. Ada satu ungkapan yang mewakili keberadaan mahasiswa tersebut; “anggaplah dirimu sebagai gelas yang kosong, sehingga bukalah mata dan telingamu untuk melihat dan mendengar bermacam-macam ilmu dan pengetahuan, dan tampunglah sampai semua itu kau rasa cukup untuk membantumu berjuang untuk hidup selanjutnya”.
* Penulis adalah salah satu Staff Pengajar di Jur. Administrasi Niaga Politeknik Negeri Bali.